Postpartum Blues
Pengertian Postpartum Blues
Post partum adalah masa sesudah persalinan
dapat juga disebut masa nifas (puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang
diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu sejak
bayi lahir sampai organ-organ reproduksi sampai kembali ke keadaan normal
sebelum hamil (Setyo,2011).
Postpartum blues adalah perasaan sedih yang
dialami oleh ibu setelah melahirkan, hal ini berkaitan dengan bayinya
(Herawati, 2011).
Postpartum blues sering disebut juga dengan maternity blues atau
baby syndrome, yaitu kondisi yang sering terjadi dalam 14 hari pertama
setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk pada hari ketiga dan keempat
(Suririnah, 2008).
Postpartum blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung
selama 3-6 hari pasca melahirkan (Ade, 2011).
Dapat juga diartikan keadaan depresi secara
fisik maupun psikis pada ibu yang dapat terjadi setelah beberapa hari kelahiran
sampai kira-kira sebulan kemudian (Sjahruddin, 2006).
Berdasarkan pengertian dari beberapa sumber tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postpartum blues adalah suasana
hati yang dirasakan oleh wanita setelah melahirkan yang berlangsung selama 3-6
hari dalam 14 hari pertama pasca melahirkan, dimana perasaan ini berkaitan
dengan bayinya (Herawati, 2011).
Tahapan Masa Nifas
Menurut teori Rubin, adaptasi psikologis
pada masa postpartum dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah:
1. Periode Taking-In. Periode ini berlangsung selama satu sampai dua
hari pasca melahirkan. Ibu dalam kondisi pasif terhadap lingkungan. Oleh karena
itu, perlu menjaga komunikasi yang baik dengan ibu yang melahirkan. Ibu sangat
tergantung pada orang lain, mengharapkan segala sesuatu kebutuhan dengan
mengandalkan orang lain. Perhatiannya tergantung pada kondisi fisiknya pasca
melahirkan. Ibu akan menceritakan proses kelahiran anaknya secara
berulang-ulang. Diperlukan lingkungan atau tempat kondusif agar ibu dapat
beristirahat dengan tenang dan kembali seperti sediakala. Nafsu makan ibu akan
meningkat itu menandakan bahwa nutrisinya meningkat. Kurangnya nafsu makan
menyebabkan ketidaknormalan proses pemulihan.
2. Periode Taking Hold. Periode ini berlangsung tiga sampai sepuluh
hari pasca melahirkan. Pada fase ini, ibu merasa khawatir akan
ketidakmampuannya dalam merawat bayi. Ibu menjadi sangat sensitif, sehingga
mudah tersinggung. Oleh karena itu ibu membutuhkan dukungan dari orang
terdekat. Saat ini adalah saat terbaik untuk ibumendapatkan penyuluhan dalam
mengurus bayi dan dirinya. Dengan begitu ibu dapat meningkatkan kembali rasa
percaya dirinya. Pada periode ini ibu akan berkonsentrasi pada pengontrolan
fungsi tubuhnya. Misalnya, buang air kecil atau air besar, mulai belajar untuk
mengubah posisi seperti duduk dan jalan, serta belajar tentang perawatan diri
dan bayinya.
3. Periode Letting Go. Periode ini berlangsung sepuluh hari setelah ibu
melahirkan. Secara umum, fase ini telah terjadi setelah ibu kembali ke rumah.
Ibu menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri dengan
ketegantungan bayinya. Keinginan untuk merawat bayi meningkat. Ada kalanya ibu
mengalami sedih yang berkaitan dengan bayinya. Keadaan ibu sering disebut
dengan baby blues.
Gejala Klinis
Gejala-gejala yang tampak sebagai sindroma gangguan efek ringan
yaitu:
1.
Cemas tanpa sebab
2.
Menangis tanpa sebab
3.
Tidak sabar
4.
Tidak percaya diri
5.
Sensitive
6.
Mudah tersinggung
7.
Merasa kurang menyayangi
bayinya
8.
Persaan negative terhadap bayi
9.
Sulit tidur
10. Perubahan dramatis berat badan
11. Lelah dan lesu
12. Ada perasaan membenci diri sendiri, perasaan bersalah, individu
merasa dirinya tidak berguna.
13. Tidak bisa berkonsentrasi
14. Menarik diri dari lingkungan,
kehilangan terhadap minat sosial
15. Mudah marah, mudah terhasut dan kegelisahan secara mendalam.
16. Kehilangan gairah terhadap sesuatu hal (aktivitas).
Etiologis
Faktor-faktor yang penyebabnya timbul
postpartum blues adalah:
1. Faktor hormonal
Berupa perubahan kadar estrogen,
progesteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan. Ternyata estrogen
memiliki efek suspensi terhadap aktivitas enzim monoamine oksidase, yaitu suatu
enzim otak yang bekerja menginaktivikasi, baik nonadrenalin maupun serotonin
yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi.
2. Faktor demografik
Yaitu umur dan paritas. Umur yang terlalu
muda untuk melahirkan, sehingga dia memikirkan tanggung jawabnya sebagai
seorang ibu untuk mengurus anaknya. Sedangkan pospartum blues banyak
terjadi pada ibu primipara, mengingat dia baru memasuki perannya sebagai serang
ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang pernah
melahirkan, yaitu jika mempunyai riwayat postpartum blues sebelumnya.
3.
Pengalaman dalam proses kehamilan dan
persalinan.
Kesulitan-kesulitas yang dialami ibu selama
kehamilannya akan turut memperburuk kondisi ibu pasca melahirkan. Sedangkan
pada persalinan, hal-hal yang tidak menyenangkan bagi ibu mencakup lamanya
persalinan serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan,
seperti ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar (sectio caesarea) akan
dapat menimbulkan perasaan takut terhadap peralatan operasi dan jarum. Ada
dugaan bahwa semakin besar trauma fisik yang terjadi selama proses persalinan,
akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul.
4.
Latar belakang psikososial
wanita yang bersangkutan.
Seperti tingkat pendidikan, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan
sebelumnya, status sosial ekonomi, serta keadekuatan dukungan sosial ekonomi,
serta keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya(suami, keluarga, dan
teman). Apakah suami menginginkan kehamilan ini? Apakah suami, keluaraga dan
teman dapat memberikan dukungan moril (misalnya dengan membantu dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau berperan sebagai tempat ibu
mengadu/berkeluh kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya.
5.
Fisik
Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh
bayi, menyusui, memandikan, mengganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan
tak jarang di malam buta sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada
bantuan dari suami atau anggota keluarga yang lain.
6.
Faktor hormonal
Berupa perubahan kadar estrogen, progestron,
prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar estrogen turun secara bermakna
setelah melahirkan ternyata estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim
nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian
depresi.
7.
Ketidaknyamanan fisik yang
dialami wanita menimbulkan gangguan pada emosional seperti payudara begkak,
nyeri jahitan dan rasa mules.
8.
Ketidakmampuan beradaptasi
terhadap perubahan fisik dan emosional yang kompleks.
9.
Faktor umur dan paritas (jumlah anak).
10. Pengalaman dalam proses
kehamilan dan persalinan.
11. Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan seperti tingkat
pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat
gangguan kejiwaan sebelumnya.
12. Kecukupan dukungan dari
lingkungannya (suami, keluarga, dan teman).
13. Kelelahan pasca persalinan.
14. Perubahan peran yang dialami ibu.
15. Rasa memiliki bayi yang terlalu dalam sehingga timbul rasa takut
yang berlebihan akan kehilangan bayinya.
16. Problem anak, setelah melahirkan bayi, kemungkinan timbul rasa
cemburu dari anak sebelumnya sehingga hal tersebut cukup mengganggu emosional
ibu.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk “pospartum blues” menurut Marshall
(2004), antara lain:
a.
Membicarakan rasa tertekan
dengan orang yang memiliki keterampilan mendengar (sahabat).
b.
Meluangkan waktu berbicara dengan pasangan.
Diskusikan perubahan-perubahan yang terjadi, dukungan suami memang paling
penting.
c.
Membiarkan taman dan keluarga
membantu merawat anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
d.
Mencari waktu melakukan hobi,
misalnya, membaca, membuat kerajinan tangan, berendam dalam air hangat,
meditasi atau hal lain yang membuat rileks dan nikmat.
e.
Untuk mengatasi kelelahan dan
depresi, perlu cukup istirahat, sebaiknya bisa tidur 8 jam sehari, usahakan
tidur saat bayi terlelap.
f.
Menggerakkan badan, jalan kaki
keliling sekitar rumah pun sudah cukup. Peningkatan metabolisme dan pergantian
suasana dapat membuat perasaan letih nyaman.
g.
Mengkonsumsi makanan seimbang
yang bergizi dan berserat seperti gandum, beras merah atau jagung, buah,
sayuran sertakan daging atau ikan. Jauhi kopi, alkohol dan gula.
h.
Mengungkapkan perasaan di buku
harian. Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan emosi.
i.
Memiliki bayi adalah perubahan besar dalam
hidup, menghapapi dengan waktu penyesuaian terhadap perubahan akan dapat
dilalui.
Penatalaksanaan dapat dibagi untuk ibunya, hubungan Ibu-anak dan
anaknya. Misalnya: relaksasi, berupa latihan relaksasi sederhana atau berbagai
ragam bentuk relaksasi, seperti rekreasi, olahraga, renang, senam dan
sebagainya. Menghilangkan pikiran-pikiran negative yang mempengaruhi, pemecahan
masalah atau problem solving yaitu mengarahkan atau memberi alternatif
pemecahan terhadap masalah yang tengah dialami, komunikasi dengan suami dan
anggota keluarga yang lain.
Humor, bila cocok akan membuat ibu lebih
nyaman. Untuk memperbaiki hubungan ibu-anak dapat dilakukan berbagai upaya,
misal menganjurkan ibu untuk sesering mungkin merawat bayinya (selama 2 atau 3
jam hanya berdua dengan bayi ditempat yang nyaman dan sunyi di sertai iringan
alunan musik atau bagi yang muslim bisa menggunakan murottal Al Qur’an.
Di usahakan sesering mungkin terjadi kontak mata antara ibu dengan bayinya
sambil menyusui ataupun memberikan susu dari botol. Menyediakan tempat
istirahat yang nyaman bagi bayi dan dirinya sendiri, karena bayi istirahat. Ibu
bisa memeluk bayi dan berbicara dengannya dengan lembut, kontak antara kulit
bayi dan ibu dapat menurunkan tingkat ketegangan atau kecemasan pada ibu maupun
pada bayi. Demikian elusan dan pijatan ringan oleh ibu akan membantu
memperbaiki emosional ibu, agar gangguan ini tidak terjadi.
Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam
merawat bayi, misal nenek atau mertua bila ada. Ajak bayi keluar rumah untuk
menghirup udara segar. Udara yang bersih dan segar untuk memperbaiki moodnya.
Bila timbul perasaan negatif seperti kesepian, marah, frustasi atau
lelah, ibu bisa meninggalkan bayi untuk sementara waktu, minta orang lain yang
dipercaya untuk menjaga sementara waktu. Bergabung dengan ibu-ibu baru untuk
bertukar pengalaman dan menambah pengetahuan bisa juga menjadi cara untuk Ibu
yang mengalami postpartum blues.
Cara mengatasi postpartum blues:
1. Komunikasikan segala permasalahan atau hal lain yang ingin
diungkapkan.
2. Bicarakan rasa cemas yang dialami.
3. Bersikap tulus ikhlas dalam menerima aktivitasdan peran baru
setelah melahirkan.
4. Bersikap fleksibel dan tidak terlalu prefeksionis dalam mengurus
bayi atau rumah tangga.
5. Belajar tenang dengan menarik nafas panjang meditasi.
6. Kebutuhan istirahat harus cukup, tidurlah ketika bayi tidur.
7. Berolahraga ringan.
8. Bergabung kelompok ibu-ibu baru.
9. Dukungan tenaga kesehatan.
10. Dukungan suami, keluarga, teman dan teman sesama ibu.
11. Konsultasi dengan dokter atau orang profesional.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Postpartum Blues
1. Umur
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat
yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20-30
tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi
oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan
persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk
menjadi seorang ibu.
2. Riwayat Persalinan Yang Lalu
Lamanya persalinan
dan intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan berperan pada
terjadinya depresi postpartum. Diduga semakin besar trauma fisik yang
ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis
yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi
postpartum.
Beberapa penelitian diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Paykel dan Inwood mengatakan bahwa depresi pasca
melahirkan ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa
peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi
yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres.
3. Paritas
Menurut (Fatma, 2012) wanita yang baru
pertama kali melahirkan lebih umum menderita depresi karena setelah melahirkan
wanita tersebut berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri
sendiri, begitu bayi lahir jika ibu tidak paham peran barunya, dia akan menjadi
bingung sementara bayinya harus tetap dirawat. Sedangkan ibu yang sudah pernah
beberapa kali melahirkan secara psikologis lebih siap menghadapi kelahiran
bayinya dibandingkan dengan ibu yang baru pertama kali.
Sesudah melahirkan biasanya wanita mengalami
keadaan lemah fisik dan mental. Bersamaan dengan keadaan tersebut terjadi
perubahan-perubahan yang dramatis mengenai masalah fisiologis, psikologis dan
perubahan lingkungannya, yang dapat merupakan faktor penyebab untuk terjadinya
postpartum blues.
Wanita yang tidak berhasil menyesuaikan diri
dengan peran dan aktivitas barunya tersebut dapat mengalami gangguan-gangguan
psikologis atau postpartumblues (Fatma, 2012). Untuk itu perlu diberikan
pendidikan kesehatan tentang cara-cara perawatan bayi agar ibu dapat
beradaptasi dengan peran barunya.
4. Dukungan Suami
Sebagai makhluk sosial seseorang selalu
membutuhkan keberadaan orang lain dimanapun berada, keberadaan orang lain
tersebut akan sangat dirasakan ketika seseorang mengalami kesulitan atau suatu
masalah, kehadiran orang lain bagi seseorang yang mengalami kesulitan
diharapkan dapat memberikan dukungan sehingga dapat mengurangi beban yang
dirasakan.
Dukungan sosial merupakan salah satu faktor
yang turut berperan terhadap kejadian postpartum blues. Setelah melahirkan
biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental sehingga membutuhkan
dukungan bantuan dan perhatian yang lebih dari lingkungannya, baik itu dari
suami, keluarga maupun teman. Kurangnya dukungan sosial dapat mempengaruhi
muncul dan berkembangnya kondisi postpartum blues.
Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu
bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi
dan menerima bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan
individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan
dapat memberikan cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada
keluarga maupun pasangan.
Setiap manusia ditakdirkan untuk
berpasangan, dalam hal ini dapat menjalani kehidupan seorang istri sangat
membutuhkan dukungan keberadaan maupun peran serta seorang suami, dukungan dari
keluarga atau orang terdekat (suami) akan memberikan cinta dan perasaan
berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan
perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai keadaan.
Dukungan suami dapat melemahkan dampak
streess atau tekanan disebut efek penyangga dan secara langsung memperkokoh
kesehatan mental individu dan keluarga disebut efek langsung. Dukungan suami
merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai
preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya, maka dukungan
suami sangat dibutuhkan perempuan setelah mengalami persalinan.
Dukungan memberi pengaruh dalam mengurangi
depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita yang merasa dihargai,
diperhatikan dan dicintai oleh suami dan keluarganya tentunya tidak akan merasa
diri kurang berharga. Sehingga salah satu ciri dari seseorang menderita depresi
dapat dihambat. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial tentunya akan lebih
mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh suami maupun
keluarga, sehingga wanita yang kurang mendapat dukungan sosial pada masa
postpartum lebih mudah untuk mengalami depresi (Urbayatun, 2012). Oleh karena
itu diperlukan dukungan yang adekuat dari lingkungan yang dapat diperoleh dari
berbagai sumber yaitu suami, keluarga dan teman. Dengan dukungan dan bantuan
seluruh anggota keluarga terhadap ibu dapat memperbaiki gangguan perasaan yang
dialaminya.
Selama masa
postpartum, sekitar 80% wanita akan mengalami berbagai gangguan, dan postpartum
blues,
depresi pasca melahirkan hingga
psikosis pasca melahirkan. Postpartum
blues adalah bentuk gangguan karena perasaan menyesuaikan diri dengan kelahiran
bayi, yang muncul pada hari pertama sampai hari keempat belas setelah proses persalinan.
Proporsi ibu postpartum yang
mengalami postpartum blues di
Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta sebanyak 46%, faktor-faktor risiko
mempunyai pengaruh terhadap kejadian postpartum
blues pada ibu postpartum di
Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta, faktor risiko yang paling berpengaruh
terhadap kejadian postpartum blues pada
ibu postpartum di Puskesmas wilayah
kerja Kota Yogyakarta adalah faktor risiko usia
ibu, faktor risiko usia ibu, faktor paritas dan faktor dukungan sosial suami
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum
di Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta, faktor risiko pendidikan, faktor status pekerjaan ibu, faktor jenis
persalinan, faktor kehamilan tidak diinginkan/direncanakan dan faktor status
ekonomi keluarga tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di Puskesmas wilayah kerja
Kota Yogyakarta, hasil wawancara mendalam menunjukkan gambaran gejala postpartum blues lebih banyak terjadi
adalah timbulnya kecemasan, kekhawatiran dan kesedihan pada ibu postpartum.
Tujuan
dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
blues postpartum di wilayah kerja puskesmas kota Yogyakarta.
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian cross
sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Subjek dalam penelitian
di Yogyakarta berjumlah 80 responden pada
teknik sampling Januari-Maret 2014 dengan accidental sampling. Pengumpulan data
menggunakan kuisioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), kuesioner
dukungan sosial suami dan wawancara mendalam. Data dianalisis dengan uji
statistik chi-square dan regresi logistik.
Hasil:
Proporsi blues postpartum di pusat kota pusat kota Yogyakarta adalah 46%.
Faktor risiko untuk usia ibu (p = 0.000, RP = 3,41), faktor paritas (p = 0,007,
RP = 1,94) dan faktor pendukung sosial suami (p = 0.000, RP = 2,44) berpengaruh
signifikan terhadap kejadian blues postpartum. Faktor risiko pendidikan (p =
0,138), faktor status ketenagakerjaan ibu (p = 0,282), jenis faktor
ketenagakerjaan, faktor kehamilan tidak terencana (p = 0,908) dan faktor status
ekonomi keluarga (p = 0,342) tidak berpengaruh signifikan terhadap Kejadian
blues postpartum. Hasil multivariat menunjukkan faktor usia ibu adalah faktor
risiko paling kuat yang mempengaruhi kejadian blues postpartum.
Kesimpulan: Faktor risiko untuk usia ibu, paritas dan
dukungan sosial suami memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian blues
postpartum. Usia ibu merupakan faktor risiko terkuat terhadap kejadian blues
postpartum.
Sumber :
Bobak.,
Lowdermilk., Jensen. (2005). Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Cox, J.L. & Holden, J.M.
(2003). Perinatal Mental Health: A Guide
to The Edinburgh Postnatal Depressive Scale (EPDS). The Royal College of
Psychiatrists.
Cury, A.F., Menezes, P.R., Tedesco,
J.J. (2008). Maternity Blues: Prevalence and Risk Factor. The Spanish Journal of Psychology, 11(2): 593-599.
Gonidakis, F., Rabavilas, A.D.,
Varsou, E., Kreatsas, G., Christodoulou, G.N. (2007). Maternity Blues in
Athens, Greece: A Study During the First 3 Days after Delivery. Journal of Affective Disorders, 99:
107-115.
Gonidakis, F., Rabavilas, A.D., Varsou,
E., Kreatsas, G., Christodoulou, G.N. (2008). A 6-Month Study of Postpartum
Depression and related factors in Athens Greece. Comprehensive Psychiatry, 49: 275– 282.
Handerson, C. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta:
EGC.
Heaney, C.A. & Israel, B.A.
(2008). Social Network and Social Support. In: Glanz, K., Rimer , B.K. &
Viswanath, K.F. Health behavior and
health education: Theory, research and practice. 4th ed.
San Francisco: Jossey-bass
Ishikawa, N., Goto, S., Murase, S.,
Kanai, A., Masuda, T., Aleksic, B., Usui, H., Ozaki, N. (2011). Prospective
Study of Maternal Depressive Symtomatology Among Japanese Woman. Journal of Psychosomatic Research, 71:
264 – 269.
Jardri, R., Pelta, J., Maron, M.,
Thomas, P., Delion, P., Codaccioni, X., Goudemand, M. (2006). Predictive
Validation Study of The Edinburg Postnatal Depression Scale in The First Week
after Delivery and Risk Analysis for Postnatal Depression. Journal of Affective Disorders, 93: 69 – 176.
Larson, C., Sydsjo, G &
Josefsson. (2004). Health, Sociodemografi Data and Pregnancy Outcome in Women
With Antepartum Depressive Symptoms. Journal
Obstetrics & Gynecology. 104: 459-466.
Marmi. (2012). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas “Puerperium Care”. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
No comments:
Post a Comment