Thursday 28 June 2018

POSTPARTUM BLUES PADA IBU NIFAS



Postpartum Blues
Pengertian Postpartum Blues
Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa nifas (puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Setyo,2011).
Postpartum blues adalah perasaan sedih yang dialami oleh ibu setelah melahirkan, hal ini berkaitan dengan bayinya (Herawati, 2011).
Postpartum blues sering disebut juga dengan maternity blues atau baby syndrome, yaitu kondisi yang sering terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk pada hari ketiga dan keempat (Suririnah, 2008).
Postpartum blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan (Ade, 2011).
Dapat juga diartikan keadaan depresi secara fisik maupun psikis pada ibu yang dapat terjadi setelah beberapa hari kelahiran sampai kira-kira sebulan kemudian (Sjahruddin, 2006).
Berdasarkan pengertian dari beberapa sumber tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postpartum blues adalah suasana hati yang dirasakan oleh wanita setelah melahirkan yang berlangsung selama 3-6 hari dalam 14 hari pertama pasca melahirkan, dimana perasaan ini berkaitan dengan bayinya (Herawati, 2011).
Tahapan Masa Nifas
Menurut teori Rubin, adaptasi psikologis pada masa postpartum dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah:
1. Periode Taking-In. Periode ini berlangsung selama satu sampai dua hari pasca melahirkan. Ibu dalam kondisi pasif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlu menjaga komunikasi yang baik dengan ibu yang melahirkan. Ibu sangat tergantung pada orang lain, mengharapkan segala sesuatu kebutuhan dengan mengandalkan orang lain. Perhatiannya tergantung pada kondisi fisiknya pasca melahirkan. Ibu akan menceritakan proses kelahiran anaknya secara berulang-ulang. Diperlukan lingkungan atau tempat kondusif agar ibu dapat beristirahat dengan tenang dan kembali seperti sediakala. Nafsu makan ibu akan meningkat itu menandakan bahwa nutrisinya meningkat. Kurangnya nafsu makan menyebabkan ketidaknormalan proses pemulihan.
2. Periode Taking Hold. Periode ini berlangsung tiga sampai sepuluh hari pasca melahirkan. Pada fase ini, ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dalam merawat bayi. Ibu menjadi sangat sensitif, sehingga mudah tersinggung. Oleh karena itu ibu membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Saat ini adalah saat terbaik untuk ibumendapatkan penyuluhan dalam mengurus bayi dan dirinya. Dengan begitu ibu dapat meningkatkan kembali rasa percaya dirinya. Pada periode ini ibu akan berkonsentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya. Misalnya, buang air kecil atau air besar, mulai belajar untuk mengubah posisi seperti duduk dan jalan, serta belajar tentang perawatan diri dan bayinya.
3. Periode Letting Go. Periode ini berlangsung sepuluh hari setelah ibu melahirkan. Secara umum, fase ini telah terjadi setelah ibu kembali ke rumah. Ibu menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri dengan ketegantungan bayinya. Keinginan untuk merawat bayi meningkat. Ada kalanya ibu mengalami sedih yang berkaitan dengan bayinya. Keadaan ibu sering disebut dengan baby blues.
Gejala Klinis
Gejala-gejala yang tampak sebagai sindroma gangguan efek ringan yaitu:
1.      Cemas tanpa sebab
2.       Menangis tanpa sebab
3.      Tidak sabar
4.      Tidak percaya diri
5.      Sensitive
6.      Mudah tersinggung
7.      Merasa kurang menyayangi bayinya
8.      Persaan negative terhadap bayi
9.      Sulit tidur
10.  Perubahan dramatis berat badan
11.  Lelah dan lesu
12.  Ada perasaan membenci diri sendiri, perasaan bersalah, individu merasa dirinya tidak berguna.
13.  Tidak bisa berkonsentrasi
14.   Menarik diri dari lingkungan, kehilangan terhadap minat sosial
15.  Mudah marah, mudah terhasut dan kegelisahan secara mendalam.
16.  Kehilangan gairah terhadap sesuatu hal (aktivitas).
Etiologis
Faktor-faktor yang penyebabnya timbul postpartum blues adalah:
1. Faktor hormonal
Berupa perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan. Ternyata estrogen memiliki efek suspensi terhadap aktivitas enzim monoamine oksidase, yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktivikasi, baik nonadrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi.
2.  Faktor demografik
Yaitu umur dan paritas. Umur yang terlalu muda untuk melahirkan, sehingga dia memikirkan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu untuk mengurus anaknya. Sedangkan pospartum blues banyak terjadi pada ibu primipara, mengingat dia baru memasuki perannya sebagai serang ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang pernah melahirkan, yaitu jika mempunyai riwayat postpartum blues sebelumnya.
3.    Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
Kesulitan-kesulitas yang dialami ibu selama kehamilannya akan turut memperburuk kondisi ibu pasca melahirkan. Sedangkan pada persalinan, hal-hal yang tidak menyenangkan bagi ibu mencakup lamanya persalinan serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan, seperti ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar (sectio caesarea) akan dapat menimbulkan perasaan takut terhadap peralatan operasi dan jarum. Ada dugaan bahwa semakin besar trauma fisik yang terjadi selama proses persalinan, akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul.
4.      Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan.
Seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, status sosial ekonomi, serta keadekuatan dukungan sosial ekonomi, serta keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya(suami, keluarga, dan teman). Apakah suami menginginkan kehamilan ini? Apakah suami, keluaraga dan teman dapat memberikan dukungan moril (misalnya dengan membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau berperan sebagai tempat ibu mengadu/berkeluh kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya.
5.      Fisik
Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan, mengganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada bantuan dari suami atau anggota keluarga yang lain.
6.       Faktor hormonal
Berupa perubahan kadar estrogen, progestron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan ternyata estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi.
7.      Ketidaknyamanan fisik yang dialami wanita menimbulkan gangguan pada emosional seperti payudara begkak, nyeri jahitan dan rasa mules.
8.      Ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan fisik dan emosional yang kompleks.
9.       Faktor umur dan paritas (jumlah anak).
10.   Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
11.  Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya.
12.   Kecukupan dukungan dari lingkungannya (suami, keluarga, dan teman).
13.   Kelelahan pasca persalinan.
14.  Perubahan peran yang dialami ibu.
15.  Rasa memiliki bayi yang terlalu dalam sehingga timbul rasa takut yang berlebihan akan kehilangan bayinya.
16.  Problem anak, setelah melahirkan bayi, kemungkinan timbul rasa cemburu dari anak sebelumnya sehingga hal tersebut cukup mengganggu emosional ibu.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk “pospartum blues” menurut Marshall (2004), antara lain:
a.       Membicarakan rasa tertekan dengan orang yang memiliki keterampilan mendengar (sahabat).
b.       Meluangkan waktu berbicara dengan pasangan. Diskusikan perubahan-perubahan yang terjadi, dukungan suami memang paling penting.
c.       Membiarkan taman dan keluarga membantu merawat anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
d.      Mencari waktu melakukan hobi, misalnya, membaca, membuat kerajinan tangan, berendam dalam air hangat, meditasi atau hal lain yang membuat rileks dan nikmat.
e.       Untuk mengatasi kelelahan dan depresi, perlu cukup istirahat, sebaiknya bisa tidur 8 jam sehari, usahakan tidur saat bayi terlelap.
f.       Menggerakkan badan, jalan kaki keliling sekitar rumah pun sudah cukup. Peningkatan metabolisme dan pergantian suasana dapat membuat perasaan letih nyaman.
g.      Mengkonsumsi makanan seimbang yang bergizi dan berserat seperti gandum, beras merah atau jagung, buah, sayuran sertakan daging atau ikan. Jauhi kopi, alkohol dan gula.
h.      Mengungkapkan perasaan di buku harian. Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan emosi.
i.         Memiliki bayi adalah perubahan besar dalam hidup, menghapapi dengan waktu penyesuaian terhadap perubahan akan dapat dilalui.
Penatalaksanaan dapat dibagi untuk ibunya, hubungan Ibu-anak dan anaknya. Misalnya: relaksasi, berupa latihan relaksasi sederhana atau berbagai ragam bentuk relaksasi, seperti rekreasi, olahraga, renang, senam dan sebagainya. Menghilangkan pikiran-pikiran negative yang mempengaruhi, pemecahan masalah atau problem solving yaitu mengarahkan atau memberi alternatif pemecahan terhadap masalah yang tengah dialami, komunikasi dengan suami dan anggota keluarga yang lain.

Humor, bila cocok akan membuat ibu lebih nyaman. Untuk memperbaiki hubungan ibu-anak dapat dilakukan berbagai upaya, misal menganjurkan ibu untuk sesering mungkin merawat bayinya (selama 2 atau 3 jam hanya berdua dengan bayi ditempat yang nyaman dan sunyi di sertai iringan alunan musik atau bagi yang muslim bisa menggunakan murottal Al Qur’an. Di usahakan sesering mungkin terjadi kontak mata antara ibu dengan bayinya sambil menyusui ataupun memberikan susu dari botol. Menyediakan tempat istirahat yang nyaman bagi bayi dan dirinya sendiri, karena bayi istirahat. Ibu bisa memeluk bayi dan berbicara dengannya dengan lembut, kontak antara kulit bayi dan ibu dapat menurunkan tingkat ketegangan atau kecemasan pada ibu maupun pada bayi. Demikian elusan dan pijatan ringan oleh ibu akan membantu memperbaiki emosional ibu, agar gangguan ini tidak terjadi.
Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi, misal nenek atau mertua bila ada. Ajak bayi keluar rumah untuk menghirup udara segar. Udara yang bersih dan segar untuk memperbaiki moodnya. Bila timbul perasaan negatif seperti kesepian, marah, frustasi atau lelah, ibu bisa meninggalkan bayi untuk sementara waktu, minta orang lain yang dipercaya untuk menjaga sementara waktu. Bergabung dengan ibu-ibu baru untuk bertukar pengalaman dan menambah pengetahuan bisa juga menjadi cara untuk Ibu yang mengalami postpartum blues.
Cara mengatasi postpartum blues:
1. Komunikasikan segala permasalahan atau hal lain yang ingin diungkapkan.
2. Bicarakan rasa cemas yang dialami.
3. Bersikap tulus ikhlas dalam menerima aktivitasdan peran baru setelah melahirkan.
4. Bersikap fleksibel dan tidak terlalu prefeksionis dalam mengurus bayi atau rumah   tangga.
5. Belajar tenang dengan menarik nafas panjang meditasi.
6. Kebutuhan istirahat harus cukup, tidurlah ketika bayi tidur.
7. Berolahraga ringan.
8. Bergabung kelompok ibu-ibu baru.
9. Dukungan tenaga kesehatan.
10. Dukungan suami, keluarga, teman dan teman sesama ibu.
11. Konsultasi dengan dokter atau orang profesional.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Postpartum Blues
1. Umur
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20-30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
2. Riwayat Persalinan Yang Lalu
Lamanya persalinan dan intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan berperan pada terjadinya depresi postpartum. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi postpartum.
Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Paykel dan Inwood mengatakan bahwa depresi pasca melahirkan ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres.
3. Paritas
Menurut (Fatma, 2012) wanita yang baru pertama kali melahirkan lebih umum menderita depresi karena setelah melahirkan wanita tersebut berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri, begitu bayi lahir jika ibu tidak paham peran barunya, dia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat. Sedangkan ibu yang sudah pernah beberapa kali melahirkan secara psikologis lebih siap menghadapi kelahiran bayinya dibandingkan dengan ibu yang baru pertama kali.
Sesudah melahirkan biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental. Bersamaan dengan keadaan tersebut terjadi perubahan-perubahan yang dramatis mengenai masalah fisiologis, psikologis dan perubahan lingkungannya, yang dapat merupakan faktor penyebab untuk terjadinya postpartum blues.
Wanita yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan peran dan aktivitas barunya tersebut dapat mengalami gangguan-gangguan psikologis atau postpartumblues (Fatma, 2012). Untuk itu perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang cara-cara perawatan bayi agar ibu dapat beradaptasi dengan peran barunya.
4. Dukungan Suami
Sebagai makhluk sosial seseorang selalu membutuhkan keberadaan orang lain dimanapun berada, keberadaan orang lain tersebut akan sangat dirasakan ketika seseorang mengalami kesulitan atau suatu masalah, kehadiran orang lain bagi seseorang yang mengalami kesulitan diharapkan dapat memberikan dukungan sehingga dapat mengurangi beban yang dirasakan.
Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang turut berperan terhadap kejadian postpartum blues. Setelah melahirkan biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental sehingga membutuhkan dukungan bantuan dan perhatian yang lebih dari lingkungannya, baik itu dari suami, keluarga maupun teman. Kurangnya dukungan sosial dapat mempengaruhi muncul dan berkembangnya kondisi postpartum blues.
Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga maupun pasangan.
Setiap manusia ditakdirkan untuk berpasangan, dalam hal ini dapat menjalani kehidupan seorang istri sangat membutuhkan dukungan keberadaan maupun peran serta seorang suami, dukungan dari keluarga atau orang terdekat (suami) akan memberikan cinta dan perasaan berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai keadaan.
Dukungan suami dapat melemahkan dampak streess atau tekanan disebut efek penyangga dan secara langsung memperkokoh kesehatan mental individu dan keluarga disebut efek langsung. Dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya, maka dukungan suami sangat dibutuhkan perempuan setelah mengalami persalinan.
Dukungan memberi pengaruh dalam mengurangi depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh suami dan keluarganya tentunya tidak akan merasa diri kurang berharga. Sehingga salah satu ciri dari seseorang menderita depresi dapat dihambat. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial tentunya akan lebih mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh suami maupun keluarga, sehingga wanita yang kurang mendapat dukungan sosial pada masa postpartum lebih mudah untuk mengalami depresi (Urbayatun, 2012). Oleh karena itu diperlukan dukungan yang adekuat dari lingkungan yang dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu suami, keluarga dan teman. Dengan dukungan dan bantuan seluruh anggota keluarga terhadap ibu dapat memperbaiki gangguan perasaan yang dialaminya.
Selama masa postpartum, sekitar 80% wanita akan mengalami berbagai gangguan, dan postpartum  blues, depresi pasca melahirkan hingga psikosis pasca melahirkan. Postpartum blues adalah bentuk gangguan karena perasaan menyesuaikan diri dengan kelahiran bayi, yang muncul pada hari pertama sampai hari keempat belas setelah proses persalinan. Proporsi ibu postpartum yang mengalami postpartum blues di Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta sebanyak 46%, faktor-faktor risiko mempunyai pengaruh terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta, faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta adalah faktor risiko usia ibu, faktor risiko usia ibu, faktor paritas dan faktor dukungan sosial suami mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta, faktor risiko pendidikan, faktor status pekerjaan ibu, faktor jenis persalinan, faktor kehamilan tidak diinginkan/direncanakan dan faktor status ekonomi keluarga tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di Puskesmas wilayah kerja Kota Yogyakarta, hasil wawancara mendalam menunjukkan gambaran gejala postpartum blues lebih banyak terjadi adalah timbulnya kecemasan, kekhawatiran dan kesedihan pada ibu postpartum.
               Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi kejadian blues postpartum di wilayah kerja puskesmas kota Yogyakarta.
               Metode yang digunakan dalam penelitian  ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Subjek dalam penelitian di Yogyakarta berjumlah 80 responden  pada teknik sampling Januari-Maret 2014 dengan accidental sampling. Pengumpulan data menggunakan kuisioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), kuesioner dukungan sosial suami dan wawancara mendalam. Data dianalisis dengan uji statistik chi-square dan regresi logistik.
               Hasil: Proporsi blues postpartum di pusat kota pusat kota Yogyakarta adalah 46%. Faktor risiko untuk usia ibu (p = 0.000, RP = 3,41), faktor paritas (p = 0,007, RP = 1,94) dan faktor pendukung sosial suami (p = 0.000, RP = 2,44) berpengaruh signifikan terhadap kejadian blues postpartum. Faktor risiko pendidikan (p = 0,138), faktor status ketenagakerjaan ibu (p = 0,282), jenis faktor ketenagakerjaan, faktor kehamilan tidak terencana (p = 0,908) dan faktor status ekonomi keluarga (p = 0,342) tidak berpengaruh signifikan terhadap Kejadian blues postpartum. Hasil multivariat menunjukkan faktor usia ibu adalah faktor risiko paling kuat yang mempengaruhi kejadian blues postpartum.
            Kesimpulan: Faktor risiko untuk usia ibu, paritas dan dukungan sosial suami memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian blues postpartum. Usia ibu merupakan faktor risiko terkuat terhadap kejadian blues postpartum.
Sumber :
Bobak., Lowdermilk., Jensen. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Cox, J.L. & Holden, J.M. (2003). Perinatal Mental Health: A Guide to The Edinburgh Postnatal Depressive Scale (EPDS). The Royal College of Psychiatrists.
Cury, A.F., Menezes, P.R., Tedesco, J.J. (2008). Maternity Blues: Prevalence and Risk Factor. The Spanish Journal of Psychology, 11(2): 593-599.
Gonidakis, F., Rabavilas, A.D., Varsou, E., Kreatsas, G., Christodoulou, G.N. (2007). Maternity Blues in Athens, Greece: A Study During the First 3 Days after Delivery. Journal of Affective Disorders, 99: 107-115.
Gonidakis, F., Rabavilas, A.D., Varsou, E., Kreatsas, G., Christodoulou, G.N. (2008). A 6-Month Study of Postpartum Depression and related factors in Athens Greece. Comprehensive Psychiatry, 49: 275– 282.
Handerson, C. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC.
Heaney, C.A. & Israel, B.A. (2008). Social Network and Social Support. In: Glanz, K., Rimer , B.K. & Viswanath, K.F. Health behavior and health education: Theory, research and practice. 4th ed. San Francisco: Jossey-bass
Ishikawa, N., Goto, S., Murase, S., Kanai, A., Masuda, T., Aleksic, B., Usui, H., Ozaki, N. (2011). Prospective Study of Maternal Depressive Symtomatology Among Japanese Woman. Journal of Psychosomatic Research, 71: 264 – 269.
Jardri, R., Pelta, J., Maron, M., Thomas, P., Delion, P., Codaccioni, X., Goudemand, M. (2006). Predictive Validation Study of The Edinburg Postnatal Depression Scale in The First Week after Delivery and Risk Analysis for Postnatal Depression. Journal of Affective Disorders, 93: 69 – 176.
Larson, C., Sydsjo, G & Josefsson. (2004). Health, Sociodemografi Data and Pregnancy Outcome in Women With Antepartum Depressive Symptoms. Journal Obstetrics & Gynecology. 104: 459-466.
Marmi. (2012). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas “Puerperium Care”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

No comments:

Post a Comment