Thursday 28 June 2018

PENANGANAN PERDARAHAN POST PARTUM (HAEMORHAGI POST PARTUM, HPP)



Analisis Jurnal
Definisi Atonia uteri adalah kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hypovolemik.
Faktor –faktor predisposisi terjadinya atonia uteri:
1. Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB > 4000 gram) dan polihidramnion;
2. Kehamilan lewat waktu;
3. Partus lama;
4. Grande multipara;
5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat);
6. Infeksi uterus (chorioamnionitis,endomyometritis, septicemia );
7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta);
8. Riwayat perdarahan postpartum;
9. Obesitas;
10. Umur > 35 tahun;
11. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam.
Pencegahan Atonia Uteri yaitu Atonia uteri dapat dicegah dengan Manajemen aktif kala III, yaitu:
1. Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir;
2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali;
3. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi.
Manajemen Atonia Uteri dibagi menjadi 2 yaitu
1. Manajemen standar; masase uterus, KBI, pemberian uterotonika seperti oksitosin, misoprostol atau metil ergometrin.
2. Manajemen Bedah; Tampon Uterus Internal, Pelvic Pressure Pack, Embolisasi, Jahitan Kompresi, Ligasi Arteri Iliaka Interna, Histerektomi Peripartum.
Pendapat Penulis Terkait Permasalahan Jurnal
Perdarahan postpartum merupakan perdarahan penyebab kematian ke tiga yang terjadi pada maternal. Kasus perdarahan postpartum antara lain Atonia Uteri. Atoni Uteri adalah perdarahan yang terjadi pada kala III persalinan yang sulit terdeteksi di awal persalinan. Oleh sebab itu, bidan yang melayani persalinan normal memungkinkan menemukan kasus ini. Sebagai seorang bidan harus siap ketika menangani kasus Atonia Uteri. Berdasarkan tugas dan peran bidan dalam memberikan asuhan, seorang bidan dapat memberikan asuhan manajemen standar dalam penatalaksaan Atonia Uteri seperti memasang oksigen, memasang infus dengan drip oksitosin dan KBI sebelum akhirnya melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Apabila manajemen standar tidak berhasil maka untuk melakukan manajemen bedah bukanlah tugas seorang bidan melainkan tugas dari Dokter sehingga bidan di pacu oleh waktu untuk merujuk pasien secepatnya.
Rekomendasi
Berdasarkan studi kasus pada ibu postpartum dengan atonia uteri pada jurnal askeb keperawatan yang terlampir, penulis merekomendasikan beberapa hal yaitu:
1.      Diharapkan sebelum menempuh pilihan terakhir melakukan histerektomi, dapat di coba dengan tindakan manajemen bedah pemasangan tampan uterus internal. Tindakan Ini harus dilakukan di ruang operasi dengan anestesi dan staf keperawatan serta persiapan transfusi darah. Wanita itu ditempatkan dalam Davies Lloyd atau posisi lithotomy dengan kateter. Pemeriksaan dilakukan dibawah pembiusan. kemudian prosedur tampon dicoba. Uterotonika dan hemostatik disarankan sebagai terapi tambahan dan dapat diberikan secara simultan.
2.      Jika usaha dengan tampon tidak berhasil maka barulah pilihan terakhir degan histerektomi untuk menyelamatkan nyawa ibu.
3.      Memantau ibu terutama psikologis ibu setelah operasi histerektomi. Karena tidak mudah diterima oleh seorang perempuan menerima kenyataan harusnya harus diangkat.

Sumber :
Jurnal Tinjauan Teori : Ejournal Universitas Indonesia. Staff UI. 2007
Jurnal ASKEB Kasus Atonia Uteri : Ejournal STIKES Kusuma Husada. http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/16/01-gdl-sudartib11-791-1-kti_suda-2.pdf. Diakses 16 Oktober 2017 (23.00).

PERDARAHAN POSTPARTUM



Analisis Jurnal
Incidence and risk factors for postpartum
hemorrhage in Uganda
Oleh :
Sam Ononge, Florence Mirembe, Julius Wandabwa and Oona M. R. Campbell
Definisi perdarahan post partum (PPH)
Perdarahan pascapersalinan didefinisikan sebagai kehilangan darah 500 ml atau lebih setelah melahirkan, sedangkan postpartum perdarahan yang berat adalah kehilangan darah 1000 ml atau lebih.
Penyebab utama terjadinya Perdarahan postpartum
1)      Atonia rahim
2)      Luka saluran kelamin
3)      Kegagalan sistem koagulasi darah
4)      Trauma
Faktor resiko Perdarahan postpartum
1)      Riwayat PPH di masa lalu
2)      Kehamilan multipel
3)      Persalinan bayi macrosomia
4)      Primi-gravida
5)      Grand multi-paritas
6)      Usia lebih tua,
7)      Prematur kelahiran
8)      Luka saluran kelamin
9)      Penggunaan oksitosik non-penggunaan untuk profilaksis PPH
10)  Induksi persalinan
11)  Persalinan melalui operasi sesar
12)  Kematian janin intra uterin

Pengetahuan faktor risiko akan menginformasikan intervensi kesehatan masyarakat untuk pengendalian PPH Kepada klinisi, identifikasi faktor risiko pada periode antenatal dan intrapartum mungkin berikan kesempatan untuk intervensi tepat waktu untuk mencegahnya PPH
Hasil penelitian
1)      Ada terjadinya peningkatan risiko PPH berat saat operasi caesar dilakukan apabila dilatasi serviks lebih dari 9 cm terutama karena avulsi pembuluh yang terkena dampak. Pelayanan kesehatan pada saat penatalaksanaanya harus memiliki kapasitas bank darah untuk merespon kebutuhan transfusi darah apbila diperlukan. Selain itu, yang penting adalah  menilai ulang kembali pasien  yang ingin di lakukan operasi sesar untuk dilakukan kemungkinan vaginal instrumental (ekstraksi vakumatau forceps) untuk mengurangi tingkat operasi caesar.
2)      Risiko PPH berlipat ganda (macrosomia,≥ 4000 g) bayi. Meningkatnya risiko PPH pada wanita yang melahirkan bayi besar karena terlalu membebani rahim yang terkai tdengan atonia rahim. Sebagai tenaga kesehatan hal ini membutuhkan lebih banyak kewaspadaan pada saat persalinan dan kelahiran. Sebagai tenaga kesehatan kita harus amengidentifikasi wanita yang berisiko, memiliki persiapan yang memadai dan mrencanakan intervensi dini untuk mencegah PPH. Beberapa kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko PPH karena over distensi yang disebabkan oleh kehamilan multipel meningkatrisiko atonia rahim. Selain itu, plasenta yang besar dapat meningkatkan luas permukaan untuk terjadinya pendarahan setelah melahirkan
3)      Pada pasien penderita HIV menunjukkan bahwa HIV positif pada ibu hamil lebih mungkin terkena PPH dari pada HIV negatif, hal ini belum diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan karena peningkatan trombositopenia. Bagi tenaga kesehatan lebih meningkatkan perawatan dan tanggung jawab untuk  menghindari terjadinya peningkatan risiko, di mana penyedia layanan kesehatan menerapkan intervensi saat pendarahan dimulai dan memakai alat pelindung yang lengkap untuk menghindari tertularnya virus HIV, sebagai tenaga kesehatan kita harus bertanggung jawab menangani setiap kasus yang ada.

DEPRESI PERIPARTUM



Analisis Jurnal
Gangguan psikologi dapat terjadi pada ibu hamil dan pasca melahirkan, gangguan ini antara lain depresi peripartum. Depresi peripartum dapat diartikan sebagai gangguan mental pasca persalinan atau dalam empat minggu pasca persalinan dan merupakan tahap setelah post partum blues. Wanita dengan depresi peripartum harus dievaluasi untuk gangguan bipolar, psikosis pasca persalinan, dan risiko bunuh diri. Bunuh diri ibu adalah penyebab kematian peripartum yang lebih umum daripada perdarahan postpartum atau gangguan hipertensi. Tingkatan depresi lebih tinggi daripada stres.
1.      Depresi peripartum berkaitan dengan beberapa hal antara lain:
a.       Depresi peripartum dikaitkan dengan morbiditas neonatal seperti kegagalan tumbuh, kelainan perlekatan, dan keterlambatan perkembangan.
b.      Depresi peripartum juga terkait dengan morbiditas maternal termasuk penurunan energi, konsentrasi rendah.
c.       Gangguan tidur dan berkurangnya ikatan batin ibu kepada bayinya.
2.      Gejala yang ditimbulkan pada depresi peripartum antara lain :
a.       Suasana hati yang tertekan hampir setiap hari, hampir setiap hari, (misalnya, terasa sedih, kosong, tanpa harapan) sering terlihat sedih dan menangis sendiri.
b.      Kurangnya minat dalam aktivitas dan kesenangan
c.       Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau kenaikan berat badan seperti tidak nafsu makan ataupun nafsu makan yang berlebih.
d.      Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.
e.       Terjadi kegelisahan setiap hari.
f.       Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
g.      Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan (delusi) hampir setiap hari (tidak hanya menyalahkan diri sendiri atau bersalah karena sakit).
h.      Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau ragu-ragu, hampir setiap hari.
i.        Selalu berfikir akan kematian dan keinginan bunuh diri yang tinggi.
3.      Faktor resiko terjadinya depresi peripartum
a.       Riwayat depresi
Riwayat depresi sebelumnya baik sebelum hamil maupun saat hamil dan pasca persalinan
b.      Ketakutan ibu hamil akan proses persalinan pada primipara
c.       Usia muda saat hamil atau belum siap secara mental
d.      Status tunggal dimana hamil namun tidak menikah atau ditinggalkan oleh pasangannya
e.       Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
f.       Status ekonomi lebih rendah
g.      Usia ibu hamil lebih 40 tahun atau lebih karena mendekati masa menopause
h.      Kehamilan yang tidak diinginkan
i.        Gestational diabetes melitus
j.        Trauma persalinan seperti keadaan bayi yang tidak diinginkan, rasa sakit yang dirasakan atas persalinan yang sebelumnya
4.      Penatalaksanaan untuk depresi peritpartum
1.      Bagi ibu hamil
1)      Penanganan dapat dilakuakan dari masa kehamilan apabila ibu hamil yang mengalami depresi ringan sampai sedang diobati dengan bantuan konseling psikiater atau dengan pemberian obat-obatan anti depresan / Selektif Serotonin Re-Uptake Inhibitor (SSRI) yang  aman bagi ibu hamil seperti Citalopram, escitalopram, dan sertraline.
2)      Ibu hamil yang mengalami depresi sedang hingga berat ditangani dengan konseling psikiater dan didampingi pengobatan SSRI
3)      Dukungan mental bagi ibu saat masa kehamilan dari keluarga terutama pasangan.
2.      Bagi ibu pasca persalinan/ nifas
1)      Penatalaksanaan Ibu pasca persalinan yang mengalami depresi ringan sampai sedang diobati dengan bantuan konseling psikiater (psikoterapi) atau dengan pemberian obat-obatan anti depresan / SSRI seperti fluvoxamine, paroxetine, dan sertraline diberikan ada ibu yang masih menyusui anaknya (penggunaan obat masih dipertimbangkan dampaknya)
2)      Ibu nifas yang mengalami depresi sedang hingga berat ditangani dengan konseling psikiater dan didampingi pengobatan SSRI yang sesuai ibu nifas.
3)      Dukungan mental tetap harus diberikan kepada ibu pasca melahirkan, dukungan yang berasal dari keluarga, pasangan dan lingkungan sekitar.
3.      Pada umumnya bagi ibu yang mengalami depresi perlunya penanganan melalui pendekatan secara bertahap.
4.      Bagi pasien dengan pikiran bunuh diri yang aktif, pikiran untuk menyakiti bayi mereka, atau pada tingkatan psikosis harus memiliki konsultasi psikiatri khusus dan dilakukan rawat inap.
Keadaan gangguan mental seperti ini dapat menyebabkan salah satu kematian maternal maupun perinatal, sehingga perlu adanya pencegahan secara dini. Pencegahan ini tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan namun dukungan keluarga atau lingkungan sekitar yang sangat berpengaruh pada mental ibu di masa kehamilan dan pasca persalinan. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1.        Dilakukannya skrining / deteksi dini bagi ibu hamil hingga melahirkan, skrining dapat dilakukan pada remaja untuk mempersiapkan mentalnya menjadi seorang ibu, karena dengan riwayat depresi saat remaja pun dapat menjadi faktor resiko terjadinya depresi pada kehamilan dan pasca persalinan.
2.        Dukungan pasangan, keluarga dan lingkungan sekitar yang sangat berpengaruh secara langsung pada ibu, seperti tidak menyalahkan ibu, membantu ibu dalam mengahadapi kehamilan atau mengurus bayinya setelah melahirkan.
3.        Kunjungan sehat tenaga kesehatan ibu pasca persalinan.
4.        Diagnosa secara awal dan akurat sehingga penanganan dapat dilakukan secara dini agar tidak menjadi tingkatan yang lebih berat.
Deteksi dini faktor-faktor yang mempengaruhi mental ibu saat masa kehamilan dan pasca persalinan harus diperhatikan. Direkomendasikan untuk memasukkan skrining untuk depresi peripartum ke dalam kunjungan antenatal (pemeriksaan kehamilan) dan pemeriksaan pasca persalinan dengan kunjungan masa nifas serta melakukan pemeriksaan/perawatan anak usia 1-6 bulan. Setiap tenaga kesehatan diharapkan dapat mengenali gejala-gejala awal terjadinya depresi peripartum

Sumber :
Langan, Robert C et al. 2016. Identification and Management of Peripartum Depression https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC diunduh pada tanggal 10 Oktober 2017 pukul 20.15 WIB

GANGGUAN HIPERTENSI PADA KEHAMILAN



Analisis Jurnal
Perinatal Outcome In Women With Hypertensive Disorders Of Pregnancy: A Retrospective Cohort Study [2014]
Oleh :
Gezehagn Endeshaw  and Yifru Berhan.
Gangguan hipertensi pada kehamilan (HDP) adalah multisistem penyakit, termasuk hipertensi kronis (yang sudah ada sebelumnya), hipertensi gestasional, preeklampsia, eklampsia,dan preeklamsia ditumpangkan pada hipertensi kronis [1]. Gangguan ini bisa menyulitkan 5% -10% dari semua kehamilan[2] dan penyebab utama kematian ibu dan bayi perinatal dan morbiditas di seluruh dunia [3]
.Kematian perinatal yang tinggi pada wanita dengan HDP adalah terutama karena pengiriman prematur dan pembatasan pertumbuhan [4,5]. Analisis sekunder dari the World Health Organization (WHO) multicountry telah menunjukkan bahwa di sekitar 3 dan 5 kali lipat meningkatkan risiko kematian perinatal pada wanita dengan preeklampsia dan eklamsia, masing-masing, dibandingkan untuk wanita tanpa preeklampsia / eklampsia [3]. Secara khusus, Kematian perinatal wanita dengan gangguan hipertensi dilaporkan sebagai 230/1000 kelahiran dari Pakistan [6], 144/1000 kelahiran dariTurkey [7], 165/1000 kelahiran dari Addis Ababa [8],dan 317/1000 kelahiran dariJimma / Ethiopia [9]. Studi lain,Yang termasuk hanya ibu eklampsia, juga menunjukkan tinggi kematian perinatal [10].
 Meski ada banyak literatur yang dideskripsikan besarnya dan komplikasi HDP terkait, sedikit dilakukan untuk menilai prediktor angka kematian perinatal, khususnya di negara berpenghasilan rendah dan menengah [11-13]. Ini Terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas kematian perinatal akan terjadi Komplikasi HDP telah terjadi di rendah dan negara berpenghasilan menengah [6-10, 14]. Begitu pula dengan penulisnya dari penelitian ini tidak dapat menemukan studi yang dipublikasikan tentang HDP di Negara Bagian Selatan Etiopia. Selanjutnya, penulis mengamati kematian perinatal yang tinggi di rumah sakit dimana mereka telah bekerja Penelitian ini direncanakan dengan tujuan menentukan prediktor angka kematian perinatal antara wanita dengan HDP.
Faktor resiko penyebab angka kematian perinatal yang tinggi di kalangan wanita dengan analisis menunjukkan bahwa variabel prediktor independen perinatal Kematian adalah paritas, usia kehamilan, perawatan antenatal, tipe dan onset HDP, tingkat SGOT, mode persalinan, berat lahir janin, dan hasil ibu.
1.      Pengaturan dan Desain Studi.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data dari tiga rumah sakit universitas di Selatan Negara Daerah Etiopia (Rumah Sakit Rujukan Hawassa,HosannaHospital, dan Yirgalem Hospital) dari tahun 2008 sampai 2013. Selama periode ini, sebanyak 30.750 bayi dilahirkan Setelah usia gestasi 28 minggu, 1098 wanita di diagnosis memiliki HDP. Desain studi kohort retrospektif digunakan untuk memasukkan data pasien dari onset HDP Sepanjang waktu pengobatan selesai dilakukan.. Kriteria eksklusi adalah persalinan sebelum 28 tahun minggu kehamilan, data hilang atau tidak lengkap, atau kematian ibu pada saat kedatangan.
2.      Variabel dan Pengumpulan Data.
Untuk mengakses data rinci dibagan pasien, buku log pengiriman digunakan sebagai entri tunjuk untuk mengidentifikasi pasien HDP dengan nomor kartu mereka. Format pengumpulan data terstruktur telah disiapkan dan digunakan ke data relevan abstrak dari grafik pasien yang disertakan mulai dari awalan tanda dan gejala HDP sampai tanggal akhir waktu diumumkan.
3.      Pengolahan dan Analisis Data.
 Setelah kelengkapan itu diperiksa, data dikodekan, dimasukkan, dan dianalisis dengan menggunakan program perangkat lunak analisis data komputer (SPSS versi 20). Model regresi bivariat dan multivariat digunakan untuk perkirakan hubungan antara variabel prediktor yang dipilih dan kematian perinatal.
4.      Definisi Operasional.
Peneliti menemukan tingginya Tekanan darah atau gejala parah hipertensi dengan signifikan proteinuria cukup untuk mendiagnosis preeklampsia Kejang atau koma tidak disebabkan oleh penyebab lainnya didefinisikan eklampsia. Hipertensi kronis didiagnosis Saat wanita tersebut ditemukan memiliki hipertensi sebelum terjadinya kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20 minggu. sebuah onset baru atau tingginya proteinuria/ tingginya hipertensi pada wanita dengan hipertensi kronis yang diketahui didefinisikan preeklampsia ditumpangkan. Perkembangan Tekanan darah tinggi selama paruh kedua kehamilan tanpa proteinuria dan tanpa gejala keparahan digunakan untuk mendiagnosis hipertensi gestasional.
Semua kematian janin dalam rahim (lahir mati) dan semua awal neonatal kematian (kematian yang terjadi pada minggu pertama neonatal hidup sebelum keluar dari rumah sakit studi) setelah 28 minggu kehamilan termasuk dalam kematian perinatal. Itu Tingkat kematian perinatal (PMR) ditentukan dari 1000 total kelahiran di antara wanita termasuk dalam penelitian ini.
Hasil
Hasil. Sana adalah 322 kematian perinatal yang mengakibatkan angka kematian perinatal (PMR) sebesar 290/1000 kelahiran total. Proporsi kelahiran mati adalah lebih dari 4 kali lipat lebih tinggi daripada kematian neonatal dini (81% berbanding 19%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa multiparitas (OR, 1,6; 95% CI, 1,12-228), kelipatan besar (OR, 2,8; 95% CI, 1,55-4,92), preterm (OR, 1,5; 95% CI, 1,02-2,35) dan sangat prematur usia kehamilan (OR, 7,7; 95% CI, 5,26-11,20), kurangnya asuhan antenatal (OR, 2,0; 95% CI, 1,43-2,67), mengalami eklampsia (OR, 4,1; 95% CI, 2,85-6,04), antepartum atau sebelumnya (OR, 6,6; 95% CI, 3,40-12,75) dan onset intrapartum HDP (OR, 4,0; 95% CI, 1,99-8,04), Tingkat SGOT (OR, 2,3; 95% CI, 1,30-3.91), persalinan per vaginam (OR, 5,3; 95% CI, 2,93-9,54), berat lahir janin rendah (OR, 4,3; 95% CI, 2.56-7.23), dan kematian ibu (OR, 12,8; 95% CI, 2,99-54,49) adalah prediktor independen untuk mortalitas perinatal.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa PMR HDP termasuk yang tertinggi di dunia. Paritas, usia kehamilan, tipe dan onset HDP, mode kelahiran, kelahiran, dan hasil ibu adalah prediktor kuat kematian perinatal.
Rekomendasi
Sebagai petugas tenaga kesehatan dan khususnya bidan harus mampu memahami dan mengenal lebih cepat segala sesuatu yang berdampak pontensial terhadap pasien, agar lebih cepat dan tepat penanganannya dalam memberikan asuhan kebidanan yang sesuai dengan masalah yang ada.
Bidan harus berperan aktif dalam upaya pendidikan kesehatan dalam pengenalan mengenai tanda dan bahaya pada kehamilan serta pencegahannya, salah satu yang menjadi masalah potensial pada kehamilan adalah hipertensi pada kehamilan. Ibu hamil harus mampu memahami tanda dan geJala serta penanganannya agar ibu hamil dapat mengetahui dan dapat segera melakukan deteksi dini jika mengalami salah satu dari tanda dan gejala gangguan hipertensi dalam kehamilan, dan itu merupakan tugas pokok dari Bidan. Seperti yang kita ketahui kasus ini menjadi tingkat morbiditas yang tertinggi di dunia. Maka dari itu perlu edukasi pada ibu-ibu hamil.


Sumber :



PREEKLAMPSIA



Analisis Jurnal

CLINICAL RISK FACTORS FOR PRE-ECLAMPSIA DETERMINED IN EARLY PREGNANCY: SYSTEMATIC REVIEW AND META-ANALYSIS OF LARGE COHORT STUDIES

Pre-eklampsia adalah kondisi kehamilan yang umum, ditandai dengan timbulnya hipertensi dan proteinuria.
Pedoman praktik klinis sangat menganjurkan agar dokter dan bidan memulai pengobatan dengan aspirin pada usia kehamilan 12-16 minggu pada wanita berisiko tinggi mengalami preeklampsia. Pedoman ini tidak memberikan pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi seorang wanita berisiko tinggi dengan menggunakan faktor risiko klinis yang tersedia yang diketahui sebelum 16 minggu kehamilan.
Banyak percobaan terkontrol acak terhadap profilaksis aspirin tidak menggambarkan kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan wanita risiko tinggi, dan yang lainnya menggunakan temuan abnormal pada ultrasonografi Doppler uterine arteri, yang memiliki sensitivitas terbatas, jarang dilakukan sebelum 16 minggu, dan memiliki keterbatasan ketersediaan di antara bidan dan praktisi keluarga.
Sedikitnya 75 uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan bahwa agen antiplatelet - terutama aspirin - efektif dan aman mencegah preeklampsia pada wanita berisiko sedang atau berisiko tinggi dalam meperbaiki kondisinya. Meta-analisis menunjukkan 53% (kepercayaan 95%) interval 35% sampai 66%) penurunan risiko relatif untuk pre-eklampsia saat aspirin dimulai pada 12-16 minggu kehamilan pada wanita berisiko tinggi.
               Dengan keterbatasan dan variabilitas dalam kriteria saat ini yang digunakan untuk mengidentifikasi wanita berisiko tinggi terkena pre-eklampsia, diperlukan daftar indikator indikator yang jelas, ringkas, dan berbasis bukti untuk memperkirakan risiko wanita. Indikator ini harus mempertimbangkan kejadian pada kehamilan sebelumnya dan juga faktor kehamilan saat ini yang dapat dikumpulkan secara efisien pada kunjungan prenatal awal. Untuk menghasilkan daftar ini, dilakukan meta-analisis studi kohort besar mengenai satu atau lebih faktor risiko pre-eklampsia.
Faktor risiko dari kehamilan sebelumnya mencakup riwayat preeklampsia, abrupsio plasenta, pertumbuhan janin terhambat, dan kematian janin dalam rahim. Faktor risiko kehamilan saat ini meliputi nulidisme, ibu usia lanjut, indeks massa tubuh (IMT), hipertensi kronis, diabetes mellitus sebelum hamil (tipe 1 atau tipe 2), penyakit ginjal kronis, lupus eritematosus sistemik, sindrom antibodi antifosfolipid, reproduksi buatan, dan kehamilan ganda.
Sindrom antibodi antifosfolipid, riwayat preeklampsia, hipertensi kronis, diabetes pregestasional, teknologi reproduksi buatan, dan BMI> 30 paling banyak terkait dengan tingkat preeklampsia yang tinggi, menunjukkan bahwa adanya salah satu atau lebih mungkin cukup untuk menunjuk seorang wanita sebagai "risiko tinggi".
            Untuk setiap faktor risiko, pertama-tama menghitung tingkat kejadian pre-eklampsia gabungan pada kelompok terpajan dan tidak terpajan, dengan menggunakan transformasi arcsine.
            Ada 25 356 688 kehamilan di antara 92 penelitian. Risiko relatif gabungan untuk setiap faktor risiko secara signifikan melebihi 1,0, kecuali pembatasan pertumbuhan intrauterine sebelumnya. Wanita dengan sindrom antibodi antifosfolipid memiliki tingkat preeklampsia tertinggi (17,3%, interval kepercayaan 95% 6,8% sampai 31,4%). Mereka yang memiliki pre-eklampsia sebelumnya memiliki risiko relatif gabungan terbesar (8.4, 7.1 sampai 9.9). Hipertensi kronis menempati urutan kedua, baik dalam hal tingkat gabungannya (16,0%, 12,6% sampai 19,7%) dan risiko relatif gabungan (5.1, 4,0 sampai 6,5) preeklampsia. Pregestational diabetes (pooled rate 11,0%, 8,4% sampai 13,8%; risiko relatif gabungan 3,7 3,1-4,5), indeks massa tubuh sebelum hamil (BMI)> 30 (7,1%, 6,1% sampai 8,2%; 2,8, 2,6 sampai 3,1), dan penggunaan teknologi reproduksi terbantu (6,2%, 4,7% sampai 7,9 %).
               Ada beberapa faktor risiko klinis praktis, baik tunggal atau kombinasi, bisa mengidentifikasi wanita pada awal kehamilan yang berada pada "risiko tinggi" preeklamsia. Data ini bisa menginformasikan prediksi klinis untuk preeklampsia dan penggunaan profilaksis aspirin pada kehamilan. Kami mengidentifikasi sejauh mana berbagai faktor risiko klinis pada awal kehamilan meningkatkan risiko absolut dan relatif seorang wanita terhadap preeklampsia. Beberapa faktor risiko utama dievaluasi menghasilkan tingkat kejadian yang serupa dengan, atau lebih rendah dari tingkat yang dilihat pada uji coba profilaksis aspirin secara acak di antara wanita yang berisiko mengalami preeklampsia. Dengan demikian, evaluasi apakah kemanjuran (yaitu pengurangan risiko relatif) profilaksis aspirin berbeda-beda di antara faktor risiko dapat menjelaskan apakah respons tersebut sama responsif dengan intervensi tersebut, atau yang lainnya. Selain itu, evaluasi keefektifan aspirin dalam pencegahan pra-eklampsia preterm dan bentuk pre-eklampsia berat, oleh faktor risiko individual dan kombinasi keduanya diperlukan. Secara terpisah, ada bukti bahwa keputusan klinis dilihat berbeda oleh seorang wanita dan penyedia layanan kesehatannya, seperti juga persepsi risiko mereka.


            Dengan mengukur risiko pra-eklampsia, seorang klinisi dapat diperlengkapi dengan lebih baik untuk memperkirakan risiko pre-eklampsia dan pencalonan wanita untuk pengukuran surveilans atau profilaksis yang meningkat, termasuk aspirin. Selain itu, temuan ini dapat meningkatkan pilihan dan pembobotan faktor klinis trimester pertama pada model prediksi klinis masa depan untuk preeklampsia.

Sumber:
Bartsch, dkk. 2016. Clinical risk factors for pre-eclampsia determined in early pregnancy: systematic review and meta-analysis of large cohort studies. https://search.proquest.com/docview/1784807890/fulltextPDF/1EED1B5201D24533PQ/10?accountid=188397 diakses pada 10 Oktober 2017 pukul 07.32 WIB