Definisi Perdarahan Post
Partum
Perdarahan pasca salin didefinisikan kehilangan darah 500 cc dalam persalinan
pervaginam atau 1000 cc dalam persalinan perabdominal.(Ramanathan G,
Arulkumaran S,2008)
Menurut waktu terjadinya dibagi menjadi dua:
1)
Perdarahan
Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum
Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan
primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2)
Perdarahan
masa nifas (perdarahan pasca salin kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder
atau perdarahan pasca persalinan lambat). Perdarahan pasca persalinan sekunder
terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering
diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik (subinvolusio
uteri), atau sisa plasenta yang tertinggal.
Epidemiologi
Insiden
Angka kejadian perdarahan pasca salin setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8
%. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan
pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk
menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.(Alan H, Decherney,2010)
Peningkatan angka kematian di Negara berkembang
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab
utama dari kematian maternal. Hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan
yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan
pasca persalinan
Perdarahan pasca persalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah
20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan
pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang
dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan
akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian
maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali
lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29
tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.
Perdarahan pascapersalinan dan gravida
Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali
atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk
golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada
multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan
terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.
Perdarahan pasca persalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman
ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan
kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai
angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang
rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang
pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan
seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan,
persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak
dapat diturunkan.
Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya
fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu
mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat
diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda
dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.
Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika
kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan
hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan
tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar
hemoglobin dibawah nilai normal.
Etiologi
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan
perdarahan pasca salin, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan pasca salin
adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta,
kelainan, pembekuan darah. Secara garis besar dapat disimpulkan penyebab
perdarahan post partum adalah 4 T: ( Mukherjee S, Arulkumaran S, 2009 )
Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus
gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat
miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah
pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak
dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan
lembek pada palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan
kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri
merupakan penyebab utama perdarahan pasca salin.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan
pasca salin memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan
penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan
“ sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi
insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia,
turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan
atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan
metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya
atonia meliputi :
Manipulasi uterus yang berlebihan
General anestesi (pada persalinan dengan
operasi )
Uterus yang teregang berlebihan
Kehamilan kembar
Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 –
5000 gram )
polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu
Partus lama
Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus ( chorioamnionitis,
endomyometritis, septicemia ),
Plasenta previa
Solutio plasenta
Tissue
Retensio plasenta
Sisa plasenta
Retensio Plasenta adalah keadaan dimana
plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi lahir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan
plasenta:
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali
dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus;
kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan
placenta pada uterus.
Kesalahan manajemen kala tiga persalinan,
seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan
dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik
yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan
plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini
adalah:
Plasenta belum terlepas dari dinding uterus
karena tumbuh melekat lebih dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta
belum lepas sama sekali dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal
ini merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Menurut tingkat perlekatannya
dibagi menjadi:
Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium,
tidak sampai membran basal.
Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih
dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke
miometrium tetapi belum menembus serosa.
Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau
peritoneum dinding rahim.
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan
tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau
karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (plasenta inkarserata)
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah fundus
naik dimana pada perabaan uterus terasa bulat dan keras, bagian tali pusat yang
berada di luar lebih panjang dan terjadi perdarahan sekonyong-konyong. Cara
memastikan lepasnya plasenta:
Kustner
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan
kiri menekan di atas simfisis. Bila tali pusat tak tertarik masuk lagi berarti
tali pusat telah lepas.
Strassman
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan
kiri mengetuk-ngetuk fundus. Jika terasa getaran pada tali pusat, berarti tali
pusat belum lepas.
Klein
Ibu disuruh mengejan. Bila plasenta telah
lepas, tali pusat yang berada diluar bertambah panjang dan tidak masuk lagi
ketika ibu berhenti mengejan.
Apabila plasenta belum lahir ½ jam-1 jam
setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Tindakan yang dapat
dikerjakan adalah secara langsung dengan perasat Crede dan Brant Andrew dan
secara langsung adalah dengan manual plasenta.
Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta)
merupakan penyebab umum terjadinya pendarahan lanjut dalam masa nifas
(pendarahan pasca persalinan sekunder). Pendarahan pasca salin yang terjadi
segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta.
Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin.
Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan
plasenta dikeluarkan. (Winkjosastro H dkk ,2010)
Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau
lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif
dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja pada beberapa
keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum
disebabkan oleh trauma jalan lahir
Ruptur uterus
b.Robekan jalan lahir
Inversio uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor
resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi,
riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Rupture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua
tersering dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan
dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang
berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina. Setelah persalinan harus
selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks
dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.
Robekan vulva
Sebagai akibat persalinan, terutama pada
seorang primipara, bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang
biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak,
khususnya pada luka dekat klitoris.
Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
perineum umumnya terjadi di garis tengah dan menjadi luas apabila kepala janin
lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin
melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari sirkumferensia
suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. Tingkatan
robekan pada perineum:
Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa
vagina yang robek
Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan
ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah
terluka.
Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani
externus dan kadang-kadang dinding depan rektum.
Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi
kerusakan dan peregangan m. puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di
garis tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan
predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.
Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan
luka perineum jarang dijumpai. Kadang ditemukan setelah persalinan biasa,
tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih
apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan
baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas vagina terjadi sebagai
akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum terbuka dan
cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul perdarahan yang banyak. Apabila
perdarahan tidak bisa diatasi, dilakukan laparotomi dan pembukaan ligamentum
latum. Jika tidak berhasil maka dilakukan pengikatan arteri hipogastika.
Kolpaporeksis
Adalah robekan melintang atau miring pada
bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi
sefalopelvik terdapat regangan segmen bawah uterus dengan serviks uteri tidak
terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas
langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan,
terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang
lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga
bisa timbul apabila pada tindakan per vaginam dengan memasukkan tangan penolong
ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh
tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama
makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak
diganti dengan seksio secarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan
pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh perforator
atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke tempat
menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar
melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis atau
rektovaginalis.
Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan
serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dari yang belum pernah
melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak
berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi
baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum,
supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik. Apabila serviks kaku dan
his kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan kuat oleh kepala janin,
sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah pelepasan
sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler. Pelepasan ini dapat
dihindarkan dengan seksio secarea jika diketahui bahwa ada distosia servikalis.
(Winkjosastro H dkk ,2002)
Inversio uteri dapat menyebabkan pendarahan
pasca persalinan segera, akan tetapi kasus inversio uteri ini jarang sekali
ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri,
sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Inversio
uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversio uteri bisa terjadi spontan atau
sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri kenaikan tekanan
intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat menyebabkan
masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversio uteri.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri adalah perasat Crede pada korpus
uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta
yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan
fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah
persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak di
atas serviks atau dalam vagina sehingga diagnosis inversio uteri dapat dibuat.
Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang
serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa,
sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan.
Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup
bulan atau hampir cukup bulan. (Winkjosastro H dkk ,2010)
Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa
terjadi tanpa gejala dengan penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya
kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi
(15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk
keselamatan penderita. (Winkjosastro H dkk ,2010)
Thrombin : Kelainan pembekuan darah
Kegagalan pembekuan darah atau koagulopati
dapat menjadi penyebab dan akibat perdarahan yang hebat. Gambaran klinisnya
bervariasi mulai dari perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis,
sampai keadaan klinis yang stabil yang hanya terdeteksi oleh tes laboratorium.
Setiap kelainan pembekuan, baik yang idiopatis maupun yang diperoleh, dapat
merupakan penyulit yang berbahaya bagi kehamilan dan persalinan, seperti pada
defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor hemofilik A (carrier), trombopatia,
penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopenia dan purpura trombositopenia.
Dari semua itu yang terpenting dalam bidang obstetri dan ginekologi ialah
purpura trombositopenik dan hipofibrinogenemia.
Purpura trombositopenik
Penyakit ini dapat bersifat idiopatis dan
sekunder. Yang terakhir disebabkan oleh keracunan obat-obat atau racun lainnya
dan dapat pula menyertai anemia aplastik, anemia hemolitik yang diperoleh,
eklampsia, hipofibrinogenemia karena solutio plasenta, infeksi, alergi dan
radiasi.
Hipofibrinogenemia
Adalah turunnya kadar fibrinogen dalam darah
sampai melampaui batas tertentu, yakni 100 mg%, yang lazim disebut ambang
bahaya (critical level). Dalam kehamilan kadar berbagai faktor pembekuan
meningkat, termasuk kadar fibrinogen. Kadar fibribogen normal pada pria dan
wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%), dan pada wanita hamil menjadi
450mg% (berkisar antara 300-600mg%).
Hubungan
Faktor Resiko dengan Pendarahan Pasca Partum
1)
Grande
multipara
Uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam
semua kala persalinan. Paritas tinggi merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya perdarahan postpartum. Hal ini disebabkan pada ibu dengan paritas
tinggi yang mengalami persalinan cenderung terjadi atonia uteri. Atonia uteri
pada ibu dengan paritas tinggi terjadi karena kondisi miometrium dan tonus
ototnya sudah tidak baik lagi sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh
darah pada tempat implantasi plaseta yang akibatnya terjadi perdarahan
postpartum. (Oktinikilah, 2009)
2)
Perpanjangan
persalinan
Bukan hanya rahim yang lelah cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan
tetapi juga ibu yang kelelahan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan
darah.(Oktinikilah, 2009)
3)
Chorioamnionitis
Chorioamnionitis merupakan infeksi selaput ketuban yang juga akan merusak
selaput amnion sehingga bisa pula pecah. Penyebabnya adalah peningkatan tekana
intracterine seperti pada kehamilan kembar dan polihidromion,trauma pada
amniosintesis, hipermotilitas uterus dimana kontraksi otot uterus rahim menjadi
meningkat, menekan selaput amnion.
4)
Semua
hal tersebut dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Pada ibu dengan ketuban
pecah dini tetapi his (‑) sehingga pembukaan akan
terganggu dan terhambat sementara janin mudah kekeringan karena pecahnya
selaput amnion tersebut, maka Janin harus segera untuk dilahirkan atau
pengakhiran kehamilan harus segera dilakukan.
5)
Ketuban
yang telah pecah dapat menyebabkan persalinan menjadi terganggu karena tidak
ada untuk pelicin Jalan lahir. Sehingga persalinan menjadi kering ( dry labor).
Akibatnya terjadi persalinan yang lama. (Iche Baretz, 2012)
6)
Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi ketika darah yang dipompakan oleh
jantung mengalami peningkatan tekanan, hingga hal ini dapat membuat adanya
tekanan dan merusak dinding arteri di pembuluh darah. Seseorang dikatakan
mengalami hipertensi jika tekanan darahnya di atas 140/90 mmHG (berarti 140
mmHg tekanan sistolik dan 90 mmHg tekanan diastolik). Hipertensi pada kehamilan
banyak terjadi pada usia ibu hamil di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan
dengan bayi kembar, atau terjadi pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.
7)
Kehamilan
multiple
Uterus yang mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-keadaan
seperti bayi besar, kehamilan kembar dan polihidramnion cenderung mempunyai
daya kontraksi yang jelek. (Oktinikilah, 2009)
8)
Injeksi
Magnesium sulfat dan Perpanjangan pemberian oxytocin
Terjadi relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi serta
retraksi, atonia uteri dan perdarahan post partum.
Stimulasi dengan oksitoksin atau protaklandin dapat menyebabkan terjadinya
inersia sekunder karena kelelahan pada otot-otot uterus (Oktinikilah, 2009).
Perdarahan
Post Partum berdasar Penyebabnya
Perdarahan Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena
terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena
perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan
sebab terpenting perdarahan postpartum. Atonia uteri dapat terjadi karena
proses persalinan yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil
seperti pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering
(multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila
ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah
sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat
segera diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala
lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.
Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada
kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan
seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada
persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim jangan
dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir
dilakukan upaya penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat
perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage
rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil
yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim,
bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa
kedalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada
kemungkinann dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim
atau pengangkatan rahim.
Adapun Faktor predisposisi terjadinya atonia
uteri : Umur, Paritas, Partus lama dan partus terlantar, Obstetri operatif dan
narkosa, Uterus terlalu regang dan besar misalnya pada gemelli, hidramnion atau
janin besar, Kelainan pada uterus seperti mioma uterii, uterus couvelair pada
solusio plasenta, Faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi. (Abdul Bari, dkk,
2008)
Perdarahan Pospartum akibat Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana
plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta :
1)
Plasenta
belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam.
Menurut tingkat perlekatannya:
a.
Plasenta
adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b.
Plasenta
inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium
c.
Plasenta
akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d.
Plasenta
perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
2)
Plasenta
sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan
penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan
indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar
karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus
dikosongkan. (Abdul Bari, dkk, 2008)
Perdarahan Postpartum akibat Subinvolusi
Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi, dan
keadaan ini merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan pascapartum.
Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4 hingga 6
minggu pascapartum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/ pelvis
dari yang diperkirakan. Keluaran lokia seringkali gagal berubah dari bentuk
rubra ke bentuk serosa, lalu ke bentuk lokia alba. Lokia bisa tetap dalam
bentuk rubra, atau kembali ke bentuk rubra dalam beberapa hari pacapartum.
Lokia yang tetap bertahan dalam bentuk rubra selama lebih dari 2 minggu
pascapatum sangatlah perlu dicurigai terjadi kasus subinvolusi. Jumlah lokia
bisa lebih banyak dari pada yang diperkirakan. Leukore, sakit punggung, dan
lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi. Ibu bisa juga memiliki
riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau perdarahan yang berlebihan setelah
kelahiran. (Abdul Bari, dkk, 2008)
Perdarahan Postpartum akibat Inversio Uteri
Inversio Uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika
bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya
segera dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus
yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
Pembagian inversio uteri :
1)
Inversio
uteri ringan : Fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun belum
keluar dari ruang rongga rahim.
2)
Inversio
uteri sedang : Terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.
3)
Inversio
uteri berat : Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar
vagina.
Penyebab inversio uteri :
1)
Spontan
: grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra
abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).
2)
Tindakan
: cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang
dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
inversio uteri :
1)
Uterus
yang lembek, lemah, tipis dindingnya.
2)
Tarikan
tali pusat yang berlebihan.
Frekuensi inversio uteri : angka kejadian 1 :
20.000 persalinan.
Gejala klinis inversio uteri :Dijumpai pada
kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan yang
banyak sampai syok. Apalagbila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada
yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis.
Pemeriksaan dalam :
1)
Bila
masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke
dalam.
2)
Bila
komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor
lunak
Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik). (Abdul
Bari, dkk, 2008)
Perdarahan Postpartum Akibat Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat
disepanjang traktus genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina
atau perineum yang ekimotik. Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic
dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali
secara alami. (Dian Husada, 2011)
Perdarahan Postpartum akibat Laserasi /Robekan
Jalan Lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua
tersering dari perdarahan postpartum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan
atonia uteri. Perdarahan postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik
biasanya disebabkan oleh robelan servik atau vagina.
1)
Robekan
Serviks
Persalinan Selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik seorang
multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan servik
yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus.
Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir
lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan
jalan lahir, khususnya robekan servik uteri
2)
Robekan
Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering
terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin
harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan
speculum
3)
Robekan
Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris
tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul
bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipito
bregmatika
4)
Laserasi
pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung
lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. (Dian Husada, 2011)
Penatalaksanaan
khusus berdasarkan penyebab
Atonia uteri
1)
Kenali
dan tegakan kerja atonia uteri
2)
Sambil
melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
3)
Pastikan
plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
4)
Lakukan
tindakan spesifik yang diperlukan :
a)
Kompresi
bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila
perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat
kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
b)
Kompresi
bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam
miometrium.
c)
Kompresi
aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis,
penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
( Widfa Satriani, 2013)
Retensio plasenta dengan separasi parsial
1)
Tentukan
jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
2)
Regangkan
tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan
traksi terkontrol tali pusat.
3)
Pasang
infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
4)
Bila
traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus.
5)
Restorasi
cairan untuk mengatasi hipovolemia.
6)
Lakukan
transfusi darah bila diperlukan.
7)
Berikan
antibivotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral
). ( Widfa Satriani, 2013)
Plasenta inkaserata
1)
Tentukan
diagnosis kerja
2)
Siapkan
peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi
siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang
kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
3)
Bila
bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan
plasenta.
4)
Pasang
spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
5)
Jepit
porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan speculum
6)
Tarik
ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
7)
Tarik
tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar
dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
8)
Lakukan
hal yang sama pada plasenta kontra lateral
9)
Satukan
kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar
perlahan-lahan. ( Widfa Satriani, 2013)
Ruptur uteri
1)
Berikan
segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
2)
Lakukan
laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan
dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
3)
Bila
konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan
operasi uterus
4)
Bila
luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan
histerektomi
5)
Lakukan
bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
6)
Antibiotik
dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi. ( Widfa Satriani, 2013)
Sisa plasenta
1)
Penemuan
secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
2)
Berika
antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
3)
Lakukan
eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
4)
Hb 8 gr%
berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari. (
Widfa Satriani, 2013)
Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
1)
Lakukan
eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
2)
Lakukan
irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
3)
Jepit
dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat
diserap
4)
Lakukan
penjahitan luka dari bagian yang paling distal
5)
Khusus
pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan
bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
a)
Setelah
prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
b)
Mulai
penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan
benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua
sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
c)
Lanjutkan
penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama (
atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
d)
Mukosa
vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
e)
Berikan
antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi. (
Widfa Satriani, 2013)
Robekan serviks
a)
Sering
terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan
pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
b)
Bila kontraksi
uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka
segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
c)
Jepitan
klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di
hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain,
lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah
luar sehingga semua robekan dapat dijahit
d)
Setelah
tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan paska tindakan
e)
Berikan
antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
f)
Bila
terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr%
berikan transfusi darah (Widfa Satriani, 2013)
Rekomendasi
Direkomendasikan
pada wanita bahwa umur paling aman bagi seorang wanita untuk hamil dan
melahirkan adalah umur antara 20 – 35 tahun, karena mereka berada dalam masa
reproduksi sehat. Kematian maternal pada ibu yang hamil dan melahirkan pada
umur < 20 tahun dan umur > 35 tahun akan meningkat secara bermakna,
karena mereka terpapar pada komplikasi baik medis maupun obstetrik yang dapat
membahayakan jiwa ibu, sehingga mengapa umur berpengaruh sebagai penyebab
perdarahan post partum.
Diharapkan kepada ibu untuk
menghindari hamil terlalu muda atau terlalu tua,ibu yang memiliki riwayat
persalinan buruk agar selalu waspada dengan sering memeriksakan kehamilannya
karena riwayat persalinan merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan post
partum, meningkatkan upaya pelayanan obstetrik yang memadai, sehingga siap
menjadi rumah sakit rujukan melayani pasien persalinan dengan komplikasi yang
memerlukan tindakan segera. Diharapkan pada ibu yang akan melahirkan mengatur
tenaga untuk mengedan, agar ibu tidak kelelahan selain itu ibu juga harus
mempehatikan menu seimbang agar tidak mengalami anemia pada saat
persalianan.Karena paritas merupakan faktor yang paling dominan diharapkan
kepada pemerintah agar lebih menggalakkan program KB dengan memeberikan cukup
dana untuk program KB, sehingga pengetahuan masyarakat mengenai program KB
dapat bertambah.
Sumber :
Pasca.unhas.ac.id [pdf]
faktor determinan kejadian perdarahan post partum di rsud Majene Kabuopaetn
Majene
Akhter S, Dkk. (2010): Use of
a condom to control massive PPH. Medscape General Medicine.
AlanH, DeCherney, Dkk. (2010):
Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition;
The McGraw-Hill Companies, Inc
Carroli G, Cuesta C, Abalos
E,Gulmezoglu AM, (2008): Epidemiology of postpartum haemorrhage:a systematic
review; Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology,vol
22:6 , 999-1012
Castaneda S, Karrison T,
Cibils LA, (2008): Peripartum Hysterectomy , J Perinat med, vol 28(6):472-81
Chandraharan E, Arulkumaran
S. (2008): Surgical aspects of postpartum haemorrhage. Best Pract Res Clin
Obstet Gynecol ;22: 1089–1102
John M. Kirby, John R.
Kachura, Dkk. (2009): Arterial embolization for primary postpartum hemorrhage,
Journal of Vascular and Interventional Radiology, Volume 20, Issue 8, Pages
1036-1045
Mukherjee S, Arulkumaran S,
(2009): Post-partum haemorrhage; Obsterics, Gynaecology and Reproductive
medicine, vol 19:5, hal 122-126
Prawirohardjo, S. (2010):
Perdarahan Pasca Persalinan. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: YBP
No comments:
Post a Comment