Saturday 20 January 2018

PENYEMPITAN TUBA FALOPI

Penyempitan Tuba Falopi
Kasus :
Penelitian yang dilakukan Cabot et al tahun 2016 bahwa terdapat seorang wanita Nepal berusia 31 tahun mengalami infertilitas primer. Dua siklus fertilisasi in vitro tidak berhasil. Sebuah histerosalpingogram menunjukkan penyempitan dan pengeluaran yang tidak normal pada tuba falopi distal. Prosedur diagnostik tambahan dilakukan. Sebuah histerosalpingogram diperoleh di rumah sakit lain 9 bulan sebelum evaluasi. Rongga rahim memiliki volume normal, kontur simetris, dan tidak ada ketidakteraturan mukosa pengisian. Tuba proksimal diisi dengan cepat dan memiliki kaliber tipis biasa , namun bagian ampullary dan infundibular distal secara abnormal melebar dan memiliki banyak kekurangan pengisian. Bungkusan divertikular di bagian ampulari dan infundibular tuba falopi juga terlihat. Kurangnya tumpahan bebas bahan kontras ke dalam rongga peritoneum merupakan indikasi adanya penyempitan pada tuba falopi.
Ada beberapa temuan penting lainnya dalam kasus ini. Pasien tersebut lahir dan besar di Nepal dan menghabiskan lebih banyak waktu di India. Dia menerima vaksin BCG saat kecil. Dia dalam kondisi sehat, tidak memiliki penyakit sistemik yang jelas, tidak mengalami gangguan kekebalan tubuh, dan memiliki fungsi ovarium normal, menghasilkan oosit yang, bersamaan dengan sperma pasangannya, telah menghasilkan embrio yang layak. Dia tidak memiliki penghinaan, infeksi, atau operasi sebelumnya yang melibatkan rongga rahim. Sebuah histerosalpingogram menunjukkan oklusi tuba bilateral, dan pemeriksaan spesimen biopsi endometrium menunjukkan granuloma noncaseating. Namun, histeroskopi menunjukkan rongga uterus yang normal, dan tidak ada kelainan pelvis (misalnya, massa panggul, hidrosalut, atau abses) ditemukan pada banyak pemeriksaan atau pada ultrasonografi pelvis.
Faktor Penyebab Masalah Terjadi
Penyebabnya karena infeksi, yaitu:
1.      Tuberkulosis
Ketika granuloma ditemukan di endometrium, tuberkulosis (paling sering disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis) harus dianggap sebagai penyebab yang paling mungkin terjadi. Endometrium dipengaruhi pada 50 sampai 75% pasien dengan tuberkulosis genital. Infeksi diperkirakan menyebar melalui darah, atau mungkin melalui limfatik, dari tempat infeksi primer ke saluran tuba, dan dari situ ia menanam endometrium. melalui drainase langsung Salpingitis isthmica nodosa adalah divertikulosis endosalpinx di daerah utu ginjal sekunder yang paling sering terjadi karena adanya perubahan inflamasi, dan perubahan salinditis isthmica nodosa dan oklusi tuba ditemukan pada histerosalpingografi pada wanita dengan tuberkulosis genital.
2.      Infeksi lainnya
Beberapa infeksi jamur dapat menyebabkan granuloma endometrium. Infeksi dengan virus, seperti cytomegalovirus, dapat menyebabkan granuloma pada endometrium pada wanita sehat.
3.      Penyebab tidak menular
Reaksi tubuh asing dapat terjadi setelah terpapar zat asing, seperti bedak (yaitu bedak talek) dari sarung tangan bedah, atau paparan alat kontrasepsi (IUD).









Pembahasan

Pasien tersebut, yang memiliki usia ibu yang baik, memiliki dua siklus fertilisasi in vitro yang gagal dengan embrio berkualitas tinggi dalam konteks tuba fallopi yang tidak normal pada histerosalpingografi. Dia pernah tinggal di daerah yang memiliki tingkat tuberkulosis yang tinggi, sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap tuberkulosis uterus gaib sebagai penjelasan untuk ketidaksuburannya. Dalam kasus ini, biopsi endometrium dilakukan untuk mengevaluasi infeksi. Temuan inflamasi granulomatosa nonnekroteksi mendukung kecurigaan terhadap tuberkulosis endometrium. Bahwa pasien tersebut terjadi infeksi tuberkulosis pada rahim yang menyebabkan penyempitan pada tuba falopi Cabot, et al. 2016).
Infertilitas (Detiana, 2010) merupakan gangguan sistem reproduksi yang menyerang pria dan wanita dengan frekuensi seimbang. Infertilitas biasanya diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan menikah dengan senggama yang teratur tanpa perlindungan kotrasepsi. Pada wanita, penyebab infertilitas antara lain :
1.      Kegagalan ovulasi
2.      Kelainan hormon seperti prolaktinemia
3.      Kelainan anatomi saluran telur
4.      Tumor
5.      Infeksi atau radang daerah panggul
6.      Endometriosis
7.      Tuberkulosis (TBC)
8.      Penyakit-penyakit kelamin atau penyakit menular seksual
9.      Sindroma polikistik
10.  Tidak cukupnya hubungan senggama suami istri.
Tuba Falopi
Organ reproduksi wanita bagian dalam, yang terletak di dalam pelvis adalah uterus, dua ovarium dan tuba falopi (fallopian). Tuba falopi atau saluran telur, berjalan di sebelah kiri dan sebelah kanan sebuah, dari sudut atas uterus ke samping, di tepi atas ligamen lebar ke arah sisi pelvis. Panjangnya kira-kira 10 cm, dan ujung bagian dekat uterus menyempit. Makin jauh dari rahim makin besar dan membentuk ampula, dan akhirnya belok ke bawah untuk berakhir menjadi tepi berfimbria. Salah satu umbai (fimbria) menempel ke ovarium (Andriyani, dkk, 2015).
Tuba falopi ditutupi oleh peritoneum, di bawah peritoneum ini terdapat lapisan bertotot yang terdiri atas serabut longitudinal dan melingkar. Lapisan dalam dari tuba ini terdiri atas sel epitelium yang bersilia. Lubang ujung tuba falopi menghadap ke peritoneum, maka dengan demikian terbentuk jalam dari vagina, melalui uterus dan tuba masuk rongga peritoneum, sehingga pada orang perempuan peritoneum berupa kantong terbuka, bukan tertutup. Ovarium dan tuba falopi mendapat darah dari arteria ovarika dan pelayanan persarafan diambil dari plexus hipogastrik dan plexus ovarikus (Andriyani, dkk, 2015).
Fungsi normal tuba falopi ialah untuk mengantarkan ovum dari ovarium ke uterus. Juga menyediakan tempat untuk pembuahan. Tetapi perjalanan ovum dapat terhalang di titik manapun dan jika ovum tadi dibuahi maka terjadi kehamilan ektopik. Karena tidak dapat bergerak terus ke uterus maka ovum itu tertanam dalam tempat yang abnormal, biasanya dalam tuba falopi sendiri (Andriyani, dkk, 2015).
Saluran tuba falopi atau oviduk berjumlah sepasang, di kanan dan di kiri. Saluran ini menghubungkan ovarium dengan rahim. Bagian pangkalnya berbentuk corong disebut tuba infundibulum. Tuba infndibulum dilengkapi dengan jumbai-jumbai yang dinamakan fimbrae. Fimbrae berfungsi menangkap sel telur yang telah masak dan lepas dari ovarium. Tuba falopi berfungsi untuk menggerakkan ovum ke arah rahim dengan gerak peristaltik dan dengan bantuan silia. Bagian dalam (lumen) dari tuba falopi dilapisi sel-sel epitel untuk mendorong ovum bergerak ke dalam tuba falopi ketika terjadi ovulasi (Molika, 2015).
Penyempitan Tuba Falopi
Penyebab subinfertilitas (berkurangnya tingkat kesuburan) pada wanita salah satunya adalah tersumbatnya saluran telur (tuba falopi) (Vitahealth, 2007).
Untuk mengetahui ada atau tidaknya penyumbatan di tuba falopi, disarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan diantaranya, Histeresalpingografi (HSG) yang berfungsi untuk mengetahui kondisi saluran telur sekaligus untuk mengetahui apakah ada sumbatan pada saluran telur. Penyumbatan saluran telur paling umum disebabkan antar lain adanya hidrosalping yaitu perlengketan/penutupan pada sekitar tuba falopi, yang merupakan akibat dari pernah terkena infeksi menular seksual (IMS) dan radang panggul sehingga menghambat pertemuan sel telur dan sperma. Permasalahan di tuba falopi ini sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan kehamilan (Puspita, 2012).
Penyebab Infertilitas penyebab utama ketidaksuburan adalah kelainan anatomi wanita, disfungsi ovulasi, infertilitas yang tidak dapat dijelaskan atau idiopatik, dan infertilitas faktor laki-laki. Evaluasi pasien harus menetapkan panjang siklus menstruasi; sejarah kehamilan; dan riwayat penyakit menular seksual, obat-obatan, perubahan berat badan, dan olahraga (Cabot, et al, 2010).

Kesimpulan
Kesimpulan dari analisis jurnal pada seorang wanita Nepal berusia 31 tahun yang mengalami infertilitas primer. Terjadi infertilitas di sebabkan karena terjadi infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis disebabkan ibu menderita TBC, bakteri menyebar melalui darang dan menetap di rahim yang menyebabkan penyempitan pada tuba falopi dan kemudian menyebabkan infertilitas pada ibu.









Daftar Pustaka

Andriyani, Rika, dkk. 2015. Buku Ajar Biologi Reproduksi dan Perkembangan. Yogyakarta: Deepublish

Cabot, Richard et al. 2010. Case 20-2010: A 32-Year-Old Woman with Oligomenorrhea and Infertility. Melalui https://search.proquest.com/pqrl/docview/603737700/D55691EA787C40EAPQ/9?accountid=188397 diakses 15 Oktober 2017


Cabot, Richard et al. 2016. Case 28-2016: A 31-Year-Old Woman with Infertility  The New England Journal of Medicine; Boston 375.11. Melalui https://search.proquest.com/pqrl/docview/1819958586/fulltext/5018EA1FDA9E42E9PQ/1?accountid=188397 diakses 15 Oktober 2017


Detiana, Prilia. 2010. Hamil Aman dan Nyaman di Atas Usia 30 Tahun. Yogyakarta: Media Pressindo

Djuwantono. (2008). Hanya 7 hari memahami infertilitas. Bandung: PT. Refika Aditama.

Hadibroto, I. (2013). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.

Molika, Ewa. 2015 Panduan Pintar Menghitung Masa Subur. Jakarta: Kunci Aksara

Puspita, Yulinda. 2012. Panduan Cepat Mendapat Buah Hati. Yogyakarta: Stiletto Book

Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.


Vitahealh. 2007. Infertil. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 

PERDARAHAN ANTEPARTUM DAN POSTPARTUM


A.    Anatomi Fisiologi Rahim dan Plasenta
Genetalia interna wanita teridiri dari :
1.      Vagina
2.      Uterus
3.      Tuba falopi
4.      ovarium
Uterus
Uterus terdiri dari (1) fundus uteri, (2) korpus uteri, dan (3) serviks uteri. Korpus uetri adalah bagian uterus yang terbesar, pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri (rongga rahim). Lapisan otot polos uterus di sebelah dalam berbentuk sirkular dan di sebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot oblik, berbentuk anyaman. Lapisan ini paling penting dalam persalinan oleh karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh darah yang terbuka di tempat itu, sehingga perdarahan berhenti (Prawirohardjo, 2014). Syaifuddin (2011), kavum uteri berupa bangunan segitiga yang basisnya dibentuk oleh permukaan dama dari fundus uteri di antara tuba uterina. Kavum ini dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar. Bagian apeks dibentuk oleh orifisium interna uteri tempat kavum uteri bergabung dengan kanalis servikalis servisis melalui orifisium.
Uterus diberi darah oleh arteria uterina kiri dan kanan yang terdiri atas ramus asendes dan desendes. Pembuluh darah ini berasal dari arteria Iliaka Interna (disebut juga arteria Hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina. Kadang-kadang dalam persalinan terjadi perdarahan banyak oleh karena robekan serviks sampai mengenai cabang-cabang arteria Uterina. Inervasi uetrus terdiri atas sistem saraf simpatik dan sebagian besar terdiri atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal. Saraf simpatik menimbulkkan kontraksi dan vasokontriksi, sedangkan yang parasimpatetik sebaliknya, yaitu mencegah kontraksi dan menimbulkan vasodilatasi(Prawirohardjo,2014).


B.     Perdarahan
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah akibat kerusakan (robekan) pembuluh darah. Kehilangan darah bisa disebabkan perdarahan internal dan eksternal. Perdarahan internal lebih sulit diidentifikasi. Jika pembuluh darah terluka maka akan segera terjadi kontriksi dinding pembuluh darah sehingga hilangnya darah dapat berkurang. Platelet mulai menempel pada tepi yang kasar sampai terbentuk sumbatan (Bruner and S uddarth, 2001).
C.    Perdarahan Antepartum
Defenisi Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pada triwulan terakhir dari kehamilan.  Batas teoritis antara kehamilan muda dan kehamilan tua adalah kehamilan 28 minggu tanpa melihat berat janin, mengingat kemungkinan hidup janin diluar uterus. Perdarahan setelah kehamilan 28 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 28 minggu, oleh karena itu memerlukan penanganan yang berbeda (Mochtar, 2012).
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu (Mochtar, 2012).
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan servik biasanya tidak seberapa berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta (Mochtar, 2012).
a.      Plasenta Previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal yaitu pada segmen bawah rahim (SBR) sehingga menutupi sebagian atau seluruh permukaan jalan lahir (Ostium uteri Internum) dan oleh karenanya bagian terendah sering kali terkendala memasuki pintu atas panggu (PAP) atau menimbulkan kelainan janin dalam lahir. Pada keadaan normal plasenta umumnya terletak di corpus uteri bagian depan atau belakang agak ke arah fundus uteri. (Prawirohardjo, 2014).
Sejalan dengan bertambah besarnya segmen bawah rahim (SBR) ke arah proksimalme mungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim (SBR) ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim (SBR) seolah plasenta tersebut berimigrasi. Ostium Uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala Ibisa mengubah luas permukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. (Prawirohardjo, 2014)
Klasifikasi Plasenta Previa
Menurut Nugroho (2011), plasenta previa dibagi menjadi beberapa jenis :
1.      Plasenta previa totalis
Plasenta previa totalis yaitu ostium uteri internum tertutup seluruhnya oleh plasenta.
2.      Plasenta previa parsialis
Plasenta previa parsialis yaitu ostium uteru internum tertutup sebagian oleh plasenta.
3.      Plasenta previa marginalis
Plasenta previa marginalis yaitu pinggir bawah plasenta sampai pada pinggir ostium uteri internum
4.      Plasenta previa letak rendah
Plasenta previa letak rendah yaitu terjadi jika plasenta tertanam di segmen bawah uterus.
Etiologi plasenta previa belum diketahui secara pasti. Frekuensi plasenta previa meningkat pada grande multipara, primigravida tua, bekas secsio sesarea, bekas aborsi, kelainan janin, dan leioma uteri. Penyebab secara pasti belum diketahui dengan jelas.
Menurut beberapa ahli penyebab plasenta previa yaitu:
1.      Plasenta previa merupakan implementasi di segmen bawah rahim dapat disebabkan oleh endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, endometrium yang tipis sehingga diberpulakan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi pada janin dan vili korealis pada chorion leave yang persisten.
2.      Etiologi plasenta previa belum diketahui pasti namun meningkat pada grande multi para, primigravida tua, bekas secsio sesarea, bekas operasi dan leiomioma uteri. (norma, dkk. 2013)
Menurut Mochtar yang dikutup pada buku Norma (2013), ada beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya :
1.      Usia >35 tahun atau <20 tahun
2.      Paritas
3.      Riwayat pembedahan rahim
4.      Jarak persalinan yang dekat < 2 tahun
5.      Hipoplasia endometrium
6.      Korpus luteum bereaksi lambat
Patofisiologi Plasenta Previa
Menurut manuaba 2008, implementasi plasenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan :
1.      Endomentriumdi fundus uteri belum siap menerima implantasi
2.      Endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi ke janin.
3.      Vili korealis pada korion leave (korion yang gundul yang persisten).
Menurut Davood 2008 dalam Nugroho (2011), sebuah penyebab utama pada perdarahan trimester tiga yaitu plasenta previa yang memiliki tanda khas dengan perdarahan tanpa rasa sakit. perdarahan diperkirakan terjadi dalam hubungan dengan perkembangan segmen bawah rahim (SBR) pada trimester tiga. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah rahim (SBR) lebih melebar lagi dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah rahim (SBR), pelebaran segmen bawah rahim (SBR) dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat disitu tanpa diikuti tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan. Darahnya bewarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang bewarna kehitam-hitaman. Sumber perdarahannya ialah sinus uteri yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannya tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah rahim (SBR) untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu, sebagaimana serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala tiga dengan plasenta yang letanya normal. Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi.
Tatalaksana (Kemenkes RI, 2013):
1)      PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea. Pemeriksaan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk menentukan sumber perdarahan.
2)      Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
3)      Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
4)      Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
5)      Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
b.      Solusio Plasenta
Dalam buku patologi kebidanan, Nugroho (2012), solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal di korpus uteri yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Definisi lain dari solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada fundus/korpus uteri sebelum janin lahir.
Sebab utama solusio plasenta tidak diketahui. Namun, ada beberapa faktor yang akan diulas berikut ini:
1.      Usia, Paritas, Ras, dan Faktor Familial. Insiden solusio meningkat sesuai bertambahnya usia ibu. Pada penelitian first and second trimester evaluation of risk (FASTER), perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun ditemukan 2,3 kali lipat lebih mungkin mengalami solusio dibandingkan perempuan berusia  35 tahun. Hubungan familial baru-baru ini dilaporkan oleh Rasmussen dan Irgens (2009) yang meganalisis keluaran dari register berbasis-populasi di Norwegia, yang mencakup hampir 378.000 perempuan dengan hubungan saudara kandung dan lebih dari 767.000 kehamilan. Jika seorang perempuan pernah mengalami solusio berat, resiko untuk saudara perempuannya akan meningkat dua kali lipat, dan resiko yang dapat diwariskan diperkirakan sebesar 16 persen. Tidak terdapat peningkatan resiko pada saudara ipar mereka (Cunningham, dkk. 2013).
2.      Hipertensi. Kondisi yang sangat dominan berkaitan dengan solusio plasenta adalah suatu bentuk hipertensi. Hipertensi gestasional, preeklamsia, hipertensi kronis, atau kombinasi kedua-duanya. Dalam laporan Parkland Hospital mengenai 408 perempuan yang mengalami solusio placenta dan keguguran, hipertensi ditemukan pada kurang lebih separuh perempuan setelah compartment intravascular yang sebelumnya berkurang dipulihkan. Setengah di antara perempuan-perempuan tersebut, seperempat dari total 408 memiliki hipertensi kronis (Cunningham, dkk. 2013).
Keparahan hipertensi tidak selalu berhubungan dengan insiden solusio. Selain itu, hasil pengamatan dari Magpie Trial Collaborative Group memberikan gambaran bahwa perempuan dengan preeklamsia mungkin mengalami resiko solusio yang lebih rendah bila diterapi dengan magnesium sulfat (Cunningham, dkk. 2013).
3.      Ketuban Pecah Dini dan Pelahiran Kurang Bulan. Tidak ada keraguan bahwa terjadi peningkatan insiden solusio bila ketuban pecah sebelum aterm. Major dkk, melaporkan bahwa 5 persen di antara 756 perempuan dengan ketuban pecah antara minggu 20 dan minggu 36 mengalami solusio. Survey tahun 1998 melaporkan peningkatkan resiko solusio 3 kali lipat pada kasus ketuban pecah dini. Resiko ini semakin ditingkatkan oleh infeksi. Kelompok yang sama telah mengajukan gagasan bahwa peradangan dan infeksi mungkin merupakan sebab utama solusio plasenta (Cunningham, dkk. 2013).
4.      Merokok. Penelitian terdahulu collaborative Perinatal Project mengaitkan perokok dengan peningkatan resiko solusio. Dalam suatu meta-analisis yang mencakup 1,6 juta kehamilan. Resiko ini bertambah menjadi lima hingga delapan kali lipat jika perokok tersebut mengalami hipertensi kronis, preeklamsia berat, atau keduanya (Cunningham, dkk. 2013).
5.      Kokain. Perempuan pengguna kokain memilki frekuensi solusio plasenta yang sangat tinggi. Dalam laporan Bingol dkk, mengenai 50 perempuan yang menyalahgunakan kokain selama kehamilan, ditemukan delapan kasus lahir mati akibat solusio plasenta (Cunningham, dkk. 2013).
6.      Trombofilia. Selama decade terakhir, sejumlah trombofilia yang diwariskan atau didapat telah dikaitkan dengan penyakit tromboembolik selama kehamilan. Beberapa di antara kelainan ini misalnya, mutasi gen protrombin atau faktor V leiden berkaitan dengan solusio dan infark plasenta serta preeklamsia (Cunningham, dkk. 2013).
7.      Solusio Traumatic. Pada beberapa kasus trauma eksternal, biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor atau kekerasan fisik, dapat terjadi pemisahan plasenta. Namun, seiring menurunnya insiden solusio plasenta selama beberapa tahun ini, solusio traumatic telah menjadi relative leboh lazim (Cunningham, dkk. 2013).
8.      Leiomioma. Tumor-tumor ini khususnya jika terletak dibelakang tempat implantasi plasenta merupakan prediposisi terjadinya solusio (Cunningham, dkk. 2013:803).
9.      Solusio Berulang. Seorang yang pernah mengalami solusio plasenta khususnya yang menyebabkan kematian janin memiliki angka rekurensi yang tinggi. Jadi, Tatalaksana kehamilan setelah terjadinya solusio merupakan hal yang sulit karena mendadak dapat terjadi solusio berikutnya, bahkan pada kehamilan yang masih jauh dari aterm. Pada banyak kasus frekuensi ini, hasil pemeriksaan kesejahtraan janin sebelumnya terjadi solusio umunya baik. Dengan demikian, pemeriksaan janin antepartum biasanya tidak prediktif (Cunningham, dkk. 2013).
Manifestasi Klinis
1.      Solusio plasenta ringan
Salah satu tanda kecurigaan solusio plasenta adalah perdarahan pervaginam yang kehitam-hitaman, berbeda dengan perdarahan pada plasenta previa yang berwarna merah segar (Nugroho, 2012)
2.      Solusio plasenta sedang
-          Plasenta telah lepas ¼ - ½ bagian.
-          Walaupun perdarahan pervaginam tampak sedikit, seluruh perdarahannya mungkin telah mencapai 1000 ml.
-          Dinding uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri terasa.
3.      Solusio plasenta berat
-          Plasenta telah terlepas lebih dari ½ permukaannya
-          Dapat terjadi syok, dan janin meninggal
-          Uterus tegang seperti papan, dan sangat nyeri (Nugroho, 2012)
Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai oleh pendarahan kedalam desidua basalis. Desidua kemudian memisah meninggalkan lapisan tipis yang melekat ke miometrium. Karena itu, peroses dalam tahap paling awal terdiri atas pembentukan hematoma desidua yang menyebabkan pemisahan, kompresi dan akhirnya plasenta yang terletak didekatnya. Nath dkk,. (2007). Menemukan bukti histologis peradangan lebih banyak terlihat pada kasus solusio plasenta dibandingkana pada kontrol normal. Seperti dibahas sebelumnya, mereka mengajukan gagasan bahwa peradangan infeksi mungkin merupakan kontributor penyebab.
Dalam tahap dini, mungkin tidak ditemukan gejala klinis, dan pemisahan hanya diitemukan saat pemeriksaan plasenta yang baru dilahirkan. Ada kasus-kasus seperti ini, terdapat cekungan berbatas tegas pada permukaan maternal plasenta. Cekungan ini biasanya berdiameter beberapa centimeter dan ditutupi oleh darah yang membeku dan berwarna gelap. Karena diperlukan beberapa menit untuk memunculkan perubahan anatomis ini, plasenta yang sangat baru mengalami pemisahan dapat tampak sepenuhnya normal saat dilahirkan. Menurut Benirschke dan kaufmann (2000) dan sesuai pengalaman kami. Usia bekuan retro plasenta tidak dapat ditentukan secara pasti.
Pada kondisi tertentu, arteria speralis desidua pecah dan menimbulkan hematoma retoplasenta, yang saat bertambah besar, merusak lebih banyak lagi pembuluh darah sehingga banyak plasenta yang terpisah. Daerah terpisahnya plasenta dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih membesar akibat produk konsepsi, uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat untuk menekan pembuluh darah yang robek yang mendarahi lokasi plasenta. Darah yang keluar menyebabkan diseksi membran dari dinding uterus dan akhirnya tampak dari luar atau tertahan sepenuhnya dalam uterus (Cunningham, dkk. 2013).
Tatalaksana (Kemenkes RI, 2013):
1)      Perhatian! Kasus ini tidak boleh ditatalaksana pada fasilitas kesehatan dasar, harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Tatalaksana berikut ini hanya boleh dilakukan di fasilitas kesehatan yang lengkap.
2)      Jika terjadi perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tandatanda awal syok pada ibu, lakukan persalinan segera:
-          Jika pembukaan serviks lengkap, lakukanpersalinan dengan ekstraksi vakum
-          Jika pembukaan serviks belum lengkap, lakukan persalinan dengan seksio sesarea
3)      Waspadalah terhadap kemungkinan perdarahan pascasalin.
4)      Jika perdarahan ringan atau sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan bergantung pada denyut jantung janin (DJJ):
-          DJJ normal, lakukan seksio sesarea
-          DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal: pertimbangkan persalinan pervaginam
-          DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah: pecahkan ketuban dengan kokher:
Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
Jika serviks kenyal, tebal, dan tertutup, lakukan seksio sesarea
-          DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit): lakukan persalinan pervaginam segera, atau seksio sesarea bila persalinan pervaginam tidak memungkinkan.
c.       Insertio Velamentosa
Insersio velamentosa adalah tali pusat yang tidak berinsersi pada jaringan plasenta, tetapi pada selaput janin sehingga pembuluh darah umblikus berjalan diantara amnion dan korion menuju plasenta. Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan perkembangan plasenta. Karena pembuluh darahnya berinsersi pada membran, maka pembuluh darahnya berjalan antara funiculus umbilikalis dan plasenta melewati membrane (Prawirohardjo, 2014).
Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan perkembangan plasenta. Karena pembuluh darahnya berinsersi pada membran, maka pembuluh darahnya berjalan antara funiculus umbilikalis dan plasenta melewati membran. Bila pembuluh darah tersebut berjalan didaerah ostium uteri internum, maka disebut vasa previa. Vasa previa ini sangat berbahaya karena pada waktu ketuban pecah, vasa previa dapat terkoyak dan menimbulkan perdarahan yang berasal dari anak. Gejalanya ialah perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak maka dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk (Prawirohardjo, 2014).
Bila perdarahan banyak, maka kehamilan harus segera diakhiri. Perdarahan vasa previa sering diikira sebagai plasenta previa atau solusio plasenta. Untuk membedakannya dapat dilakukan tes sebagai berikut. Kira-kira 2 atau 3 cc darah yang keluar dicampur air dalam jumlah yang sama lalu disentrifusi dengan kecepatan 2000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipisahkan, lalu dicampurkan dengan NaOH 0,25 N dengan perbandingan 5 : 1. Dalam waktu 1 atau 2 menit akan kelihatan perubahan warna. Warna kuning coklat (alkaline heme) menunjukkan bahwa darah itu berasal dari ibu. Sedangkan warna merah berarti hemoglobin fetal. Angka kematian janin karena vasa previa dapat mencapai 60% (Prawirohardjo, 2014).
Insertio velamentosa adalah insersi tali pusat pada selaput janin. Insersi velamentosa sering terjadi pada kehamilan ganda. Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan perkembangan plasenta. Karena pembuluh darahnya berinsersi pada membran, maka pembuluh darahnya berjalan antara funiculus umbilikalis dan plasenta melewati membran (Prawirohardjo, 2014).
Tanda dan Gejala Insertio Velamentosa
Tanda dan gejalanya belum diketahui secara pasti, perdarahan pada insersi velamentosa ini terlihat jika telah terjadi vasa previa yaitu perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk bisa juga menyebabkan bayi tersebut meninggal. Satu-satunya cara mengetahui adanya insersi velamentosa ini sebelum terjadinya perdarahan adalah dengan cara USG. Jadi sebaiknya pada ibu dengan kehamilan gemeli dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan USG, karena untuk mengantisipasi dengan segala kemungkinan penyulit yang ada, salah satunya insersio velamentosa ini (Prawirohardjo, 2014).
d.      Ruptura Sinus Marginalis
Ruptura sinus marginalis (solusio plasenta ringan) adalah terlepasnya sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu atau pun janinnya. Ari-ari terlepas sebagian kecil. Ditunjukkan dengan gejala perut sedikit nyeri, rahim mulai menegang dan keluar darah agak kehitaman (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Solusio plasenta ini di sebut juga ruptur sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit atau agak terasa tegang yang sifat terus-menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Tekanan darah tinggi, serta tidak ada gawat janin. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Ruptura sinus marginalis, bila hanya sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas. Solusio plasenta ringan atau ruptur sinus marginalis adalah terlepasnya plasenta kurang dari ¼ luasnya, tidak memberikan gejala klinik dan ditemukan setelah persalinan, keadaaan umum ibu dan janin tidak mengalami gangguan, persalinan berjalan dengan lancar pervaginam (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Diagnosis:
Dari hasil anamnesa terdapat perdarahan pervaginam, warnanya kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa adak tegang yang sifatnya terus-menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba, pada pemeriksaan dalam terdapat pembukaan dan ketuban tegang dan menonjol. Pada waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa rasa sakit dan menjelang pembukaan lengkap perlu dipikirakan kemungkinan perdarahan karena sinus marginalis yang pecah. Karena pembukaan mendekati lengkap, maka bahaya untuk ibu maupun janinnya tidak terlalu besar. Pemeriksaan penunjang, dengan ultrasonografi, dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding rahim (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Penanganan Ruptura Sinus Marginalis (Rukiyah & Yulianti, 2010):
Ekspektattif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung uterus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul oksitosin untuk mempercepat persalinan.
Perut tegang sedikit, berarti perdarahannya tidak terlalu banyak, keadaan janin masih baik dan dapat dilakukan penanganan secara konservatif dengan observasi ketat, perdarahan berlangsung terus menerus ketegangan makin meningkat, dengan janin yang masih baik harus segera dilakukan seksio sesaria, perdarahan yang berhenti dan keadaan baik pada kehamilan prematur dilakukan rawat inap.
D.    Perdarahan Postpartum
Defenisi Perdarahan Post Partum
Perdarahan lebih darah 500 ml (pada persalinan per vaginal) atau lebih dari 1000 ml (pada persalinan caesar) setelah bayi lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah plasenta lahir.
Menurut terjadinya dibagi atas dua bagian:
-          Perdarahan post partum dini (early postpartus hemorrhage) : terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir
-          Perdarahan post partum lanjut (late postpartus hemorrhage) : terjadi setelah 24 jam sampai 6 minggu setelah bayi lahir.
Penelitian terhadap kematian ibu memperlihatkan bahwa penderita perdarahan postpartum meninggal dunia akibat terus-menerus terjadi perdarahan yang jumlahnya kadang-kadang tidak menimbulkan kecurigaan kita. Yang menimbulkan kematian bukanlah perdarahan sekaligus dalam jumlah banyak tetapi justeru perdarahan terus-menerus yang terjadi sedikit demi sedikit. Pada suatu seri kasus yang besar, Beacham mendapatkan bahwa interval rata-rata antara kelahiran dan kematian adalah 5 jam 20 menit. Tidak seorang pun ibu yang meninggal dalam waktu 1 jam 30 menit setelah melahirkan. Kenyataan ini menunjukkan adanya cukup waktu untuk melangsungkan terapi yang efektif jika pasiennya selalu diamati dengan seksama, diagnosis dibuat secara dini, dan tindakan yang tepat segera dkerjakan (Oxorn & Forte, 2010).
Gambaran klinis perdarahan postpartum berupa perdarahan terus-terusan dan keadaan pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin jelek. Denyut nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien berubah pucat dan dingin dan napasnya menjadi sesak, terengah-engah, berkeringat dan akhirnya coma serta meninggal. Situasi yang berbahaya adalah kalau denyut nadi dan tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan untuk beberapa saat karena adanya mekanisme kompensasi vaskuler. Kemudian fungsi kmpensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat dengan cepat, tekanan darah tiba-tiba turun, dan pasien dalam keadaan shock. Uterus dapat terisi darah dalam jumlah yang cukup banyak sekalipun dari luar hanya terlihat sedikit (Oxorn & Forte, 2010).
Bahaya perdarahan postpartum ada dua (Oxorn & Forte, 2010):
1.      Anemia yang diakibatkan perdarahan tersebut memperlemah keadaan pasien, menurunkan daya tahannya dan menjadi predisposisi terjadinya infeksi nifas
2.      Jika kehilangan darah ini tidak dihentikan, akibat akhir tentu saja kematian.
Klasifikasi Perdarahan Post Partum
Berdasarkan saat terjadinya perdarahan adalah sebagai berikut:
1.      Perdarahan Postpartum Primer (early post-partum hemorrhage) Yaitu perdarahan yang terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama sejak kelahiran.
2.      Perdarahan Postpartum Sekunder (late post-partum hemorrhage) Yaitu perdarahan yang terjadi lebih dari 24 jam hingga 12 minggu kelahiran bayi.
Penyebab perdarahan post partum dikenal sebagai 4T, yaitu Tone, Tissue, Trauma dan Thrombin (Kemenkes RI, 2013).

1.      Tone
a.      Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta (Prawirohardjo, 2014).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada solusio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013).
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) yaitu (Sukarni, dkk, 2013):
a.       Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
b.      Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
c.       Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d.      Partus lama / partus terlantar
e.       Malnutrisi.
f.       Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.
Tanda dan Gejala (Sukarni, dkk, 2013):
1.      Uterus tidak berkontraksi dan lembek
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia uteri dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
2.      Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer).
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak lagi  sebagai anti beku darah.
3.      Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal.
4.      Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, gelisah, mual, apatis, dll.
Pencegahan atonia uteri:
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam. Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi (Sukarni, dkk, 2013).
Tatalaksana:
1.      Lakukan pemijatan uterus.
2.      Pastikan plasenta lahir lengkap.
3.      Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unitIM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unitdalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
4.      Bila tidak tersedia oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikan ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM setelah 15 menit, dan pemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan. JANGAN BERIKAN LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)
5.      Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit).
6.      Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual internal selama 5 menit.
7.      Siapkan tindakan operatif atau rujuk ke fasilitas yang lebih memadai sebagai antisipasi bila perdarahan tidak berhenti.
8.      Di rumah sakit rujukan, lakukan tindakan operatif bila kontraksi uterus tidak membaik, dimulai dari yang konservatif. Pilihan-pilihan tindakan operatif yang dapat dilakukan antara lain prosedur jahitan B-lynch, embolisasi arteri uterina, ligasi arteri uterina dan arteri ovarika, atau prosedur histerektomi subtotal.
2.      Tissue
b.      Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2011).
Kondisi umum yang menjadi penyebab retensio plasenta adalah :
a.       Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam (Plasenta Adhesiva), yaitu:
a)      Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
b)      Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium.
c)      Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
b.      Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak (Plasenta Inkarserata). Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (Plasenta inkarserata).
c.       Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan (Mochtar, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta, antara lain adalah:
a.       Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
b.      Kelainan dari plasenta dan sifat pelekatan plasenta pada uterus.
c.       Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
d.      Kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi (Faisal, 2008).
Penatalaksanaan:
1.      Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menitdan 10 UNIT IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 UNIT dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti
2.      Lakukan tarikan tali pusat terkendali
3.      Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual secara hati-hati.
4.      Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN metronidazol 500 mg IV).
5.      Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.
c.       Rest Plasenta
Rest plasenta adalah jika ditemukan adalah kotiledon yang tidak lengkap dan masih ada perdarahan pervagina padahal plasenta sudah lahir ( Jannah, 2011 ).
Penyebab rest plasenta
1.      Pengeluaran plasenta tidak hati-hati, his kurang baik
2.      Salah pimpinan kala III : terlalu terburu - buru untuk mempercepatlahirnya plasenta.
3.      Abnormalitas plasenta, Abnormalitas plasenta meliputi bentuk plasenta dan penanaman plasenta dalam uterus yang mempengaruhi mekanisme pelepasan plasenta.
4.      Kelahiran bayi yang terlalu cepat
Kelahiran bayi yang terlalu cepat akan mengganggu pemisahan plasenta secara fisiologis akibat gangguan dari retraksi sehingga dapat terjadi gangguan retensi sisa plasenta.
Komplikasi (Prawirohardjo, 2014):
a.       Perforasi tindakan
b.      Infeksi
c.       Perdarahan
Penatalaksanaan:
1.      Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menitdan 10 unitIM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unitdalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
2.      Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan kuretase.
3.      Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV DAN metronidazole 500 mg).
4.      Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.
3.      Trauma
d.      Ruptura Uteri
Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal ini dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal ini dinamakan ruptura uteri komplet, jika tidak disebut ruptura uteri inkomplet. Pinggir ruptura biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang, atau membujur, miring, dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Menurut cara terjadinya ruptura uteri terbagi atas; 1) Ruptur uteri spontan, 2) Ruptur uteri traumatik, 3) Ruptur uteri pada parut uterus (Prawirohardjo, 2014).
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan uterus yang sebelumnya tanpa parut. Penyebab ruptur uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi bersamaan dengan timbulnya kecenderungan untuk memperbolehkan partus percobaan pada persalinan dengan riwayat seksio sesarea (Syaifuddin, 2011).
Faktor Risiko
Riwayat operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma seperti kuretase atau perforasi. Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat dengan oksitosin, yaitu suatu penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan, tampak semakin berkurang. Umumnya, uterus yang sebelumnya tidak pernah mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus berkontraksi dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri. (Prawirohardjo, 2014).
Tatalaksana
a.      Tatalaksana Umum
-          Berikan oksigen.
-          Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan.
-          Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan plasenta.
b.      Tatalaksana Khusus
-          Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus (histerorafi). Tindakan ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.
-          Jika uterus tidak dapat perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin diperlukan.
e.       Robekan Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstrasi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perineum totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat ruptur uteri. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada laserasi ataupun sisa plasenta (Prawirohardjo, 2014).
Robekan jalan lahir adalah trauma yang diakibatkan oleh kelahiran bayi yang terjadi pada serviks, vagina, atau perineum (Maryunani & Puspita, 2014).
Etiologi
1.      Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu di hindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap (Maryunani & Puspita, 2014).
2.      Robekan/laserasi jalan lahir diakibatkan episiotomi, robekan perineum spontan, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2014).
Tanda atau gejala robekan vagina, perineum atau serviks antara lain, terjadi plasenta keluar, terdapat perdarahan namun uterus berkontraksi, pada inspeksi plasenta kotiledon plasenta lengkap (Maryunani & Puspita, 2014).
Laserasi dalam jalan lahir memiliki derajat tertentu :
1.      Laserasi derajat I :
a.       Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura posterior dan kulit perineum (Maryunani & Puspita, 2014).
b.      Robekan derajat pertama meliputi mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum tepat dibawahnya (Oxorn, dkk, 2010).
c.       Perlukaannya hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum (Nugroho, 2012).
2.      Laserasi derajat II :
a.       Perlukaanya terjadi pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot perineum (Maryunani & Puspita, 2014).  
b.      Laserasi derajat kedua merupakan luka robekan yang lebih dalam. Luka ini terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus perineum (Oxorn, dkk, 2010).
c.       Adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot – otot diafragma urogenital (Nugroho, 2012).
3.      Laserasi derajat III :
a.       Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura porterior, kulit perineum, otot perineum dan otot sfinter ani (Maryunani & Puspita, 2014).
b.      Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus tranversus perineus dan sphinceter recti (Nugroho, 2012).
c.       Perlukaan yang meluas dan lebih dalam yang menyebabkan musculus sfinter ani eksternus terputus didepan robekan serviks (Nugroho, 2012).
4.      Laserasi derajat IV :
Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura porterior, kulit perineum, otot perineum dan otot sfinter ani dan dinding depan rectum (Maryunani & Puspita, 2014).
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding Vagina
1.      Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
2.      Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
3.      Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.
4.      Lakukan penjahitan.
5.      Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Robekan Serviks
1.      Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari porsio.
2.      Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
3.      Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
4.      Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
f.       Inversio Uteri
 Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus uteri) memasuki cavum uteri sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri bahkan kedalam vagina atau keluar vagina dengan dinding endometriumnya sebelah luar (Prawirohardjo, 2014).
            Inversio uteri adalah terbaliknya fundus uteri ke dalam kavum uteri yang dapat menimbulkan nyeri dan perdarahan (Manuaba, 2008).
Inversio uteri dibagi atas (Manuaba, 2008):
1.      Inversio uteri ringan
Fundus uteri terbalik menonjol dalam kavum uteri, namun belum keluar dari ruang rongga rahim.
2.      Inversio uteri sedang
Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina.
3.      Inversio uteri berat
Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina.
Penyebab (Manuaba, 2008):
1.      Pada Grandemultipara karena terjadi atonia uteri
2.      Tali Pusat terlalu pendek
3.      Tarikan tali pusat terlalu keras sedangkan kontraksi uterus belum siap untuk melahirkan plasenta.
4.      Pelaksanaan perasat crede, saat kontraksi uterus belum siap untuk mendorong plasenta lahir
5.      Plasenta terlalu erat melekat pada tempat implantasinya.
6.      Tonus otot rahim yang lemah
7.      Canalis servikalis yang longgar
Patofisiologi (Manuaba, 2008) :
Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan. Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah. Dengan adanya persalinan yang sulit, menyebabkan kelemahan pada ligamentum-ligamentum, fasia endopelvik, otot-otot dan fasia dasar panggul karena peningkatan tekanan intra abdominaldan faktor usia. Karena serviks terletak diluar vagina akan menggeser celana dalam dan menjadi ulkus dekubiltus (borok). Dapat menjadi SISTOKEL karena kendornya fasia dinding depan vagina (mis : trauma obstetrik) sehingga kandung kemih terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong kebelakang. Dapat terjadi URETROKEL, karena uretra ikut dalam penurunan tersebut. Dapat terjadi REKTOKEL, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina, oleh karena trauma obstetri atau lainnya, sehingga rektum turun ke depan dan menyebabkan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan. Dapat terjadi ENTEROKEL, karena suatu hemia dari kavum dauglasi yang isinya usus halus atau sigmoid dan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan. Sistokel, uretrokel, rektokel, enterokel dan kolpokel disebut prolaps vagina. Prolaps uteri sering diikuti prolaps vagina, tetapi prolaps vagina dapat berdiri sendiri.
Penatalaksanaan:
1.      Segera reposisi uterus. Namun jika reposisi tampak sulit, apalagi jika inversio telah terjadi cukup lama, bersiaplah untuk merujuk ibu.
2.      Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM.
3.      Jika usaha reposisi tidak berhasil, lakukan laparotomi.
4.      Jika laparotomi tidak berhasil, lakukan histerektomi.
4.      Thrombin
g.      Gangguan Pembekuan Darah
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan postpartum sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma (Syaifuddin, 2011).
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masih yang mendapat resusitasi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time) (Syaifuddin, 2011).
Penatalaksaan:
1.      Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat dicegah jika volume darah dipulihkan segera.
2.      Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta, eklampsia).
3.      Berikan darah lengkap segar, jika tersedia, untuk menggantikan faktor pembekuan dan sel darah merah.
4.      Jika darah lengkap segar tidak tersedia, pilih salah satu di bawah ini:
d.      Plasma beku segar untuk menggantikan faktor pembekuan (15 ml/ kg berat badan) jika APTT dan PT melebihi 1,5 kali kontrol pada perdarahan lanjut atau pada keadaan perdarahan berat walaupun hasil dari pembekuan belum ada.
e.       Sel darah merah (packed red cells) untuk penggantian sel darah merah.
f.       Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen.
g.      Konsentrasi trombosit (perdarahan berlanjut dan trombosit < 20.000).
h.      Apabila kesulitan mendapatkan darah yang sesuai, berikan darah golongan O untuk penyelamatan jiwa.



E.     Peran Bidan
Kewenangan Bidan dalam Kasus Perdarahan Post Partum
Kewenangan bidan dalam menangani perdarahan post partum terdapat dalam standar pelayanan kebidanan, yaitu :
1.      Standar  11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala Tiga
Secara aktif bidan melakukan penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga.Tujuan dilaksanakan nya standar ini yaitu membantu secara aktif pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara lengkap untuk mengurangi kejadian perdarahan pasca persalinan kala tiga, mencegah terjadinya atonia uteri dan retesio plasenta.
Adapaun hasil yang diharapkan yaitu menurunkan terjadinya perdarahan yang hilang pada persalinan kala tiga. Menurunkan terjadinya atonia uteri, menurunkan terjadinya retensio plasenta , memperpendek waktu persalinan kala tiga, da menurunkan perdarahan post partum akibat salah penanganan pada kala tiga.
2.      Standar  20 : Penanganan Kegawat daruratan Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio plasenta dan memberikan pertolongan pertama, termasuk plasenta manual dan penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya adalah mengenali dan melakukan tindakan yang tepat ketika terjadi retensio plasenta .
Hasil yang diharapkan ialah penurunan kejadian retensio plasenta.Ibu dengan retesio plasenta mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.Penyelamatan ibu dengan retensio plasenta meningkat.
3.      Standar  21 : Penanganan Perdarahan Post Partum Primer
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan dan segera melakukan pertolongan pertama kegawat daruratan untuk mengendalikan perdarahan. Tujuannya adalah bidan mampu mengambil tindakan pertolongan kegawat daruratan yang tepat pada ibu yang mengambil perdarahan post partum primer/ atoni uteri.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kematian dan kesakitan ibu akibat perdarahan post partum primer. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan bidan. Merujuk secara dini pada ibu yang mengalami perdarahan post partum primer.
4.      Standar  22 : Penanganan Perdarahan Post Partum Sekunder
Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini gejala perdarahan post partum sekunder , dan melakukan pertolongan pertama untuk penyelamatan jiwa ibu atau merujuk. Tujuannya adalah mengenali gejala dan tanda perdarahan post partum sekunder serta melakukan penanganan yang tepat untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Hasil yang diharapkan yaitu kematian dan kesakitan akibat perdarahan post partum sekunder menurun. Ibu yang mempunyai resiko mengalami perdarahan post partum sekunder ditemukan secara dini dan segera di beri penanganan yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA
Cunnningham, dkk. 2013. Obstetri Williams Edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, edisi 1. Jakarta.
Manuaba, Ida Bagus Gde, dkk. 2008. Buku Pengantar Obtetri. Jakarta : EGC
Maryunani, Anik & Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta
Mochtar, Rustam. 2012. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: EGC
Norma, Nita, dkk, 2013. Asuhan Kebidanan Patologi Teori dan Tinjauan Kasus. Yogyakarta : Nuha Medika
Nugroho, Taufan. 2012. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nugroho, Taufan, 2011. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Oxorn, Harry & Forte, Wiliiam R. 2010. Ilmu Kebidanan & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Rahman SS, et al. 2008. Postpartum hemorrhage secondary to uterine atony, complicated by platelet storage pool disease and partial placenta diffusa: a case report.  
Rajan, Priya V. 2010.  Postpartum Hemorrhage: Evidence-based Medical Interventions for Prevention and Treatment. Clinical Obstetrics & Gynecology: Volume 53, Issue 1: p.165-181.
Rueda, Carlos M., Rodriguez., Jarquin, Jose., Barboza, Alejandra., Bustillo, Maura Carolina., Marin, Flor., Ortiz, Guillermo & Estrada, Francisco. 2013. Clinical Study: Severe Postpartum Hemorrhage from Uterine Atony: A Multicentric Study. Jurnal of Pregnancy Vol 2013 Article ID 525914 6 pages
Shane B. 2012. Mencegah Perdarahan Pasca Persalinan: Menangani Persalinan kala III. Out Look: Vol 19. h.1-8.
Sharma G. 2012.  Maternal, Perinatal and Neonatal Mortality in South-East Asia Region.  Asian Journal of Epidemiology 5, p. 1-14.
Smith JR, Brennan BG. 2010.  Postpartum Hemorrhage. Maternal-Fetal Medicine. Departments of Obstetrics & Gynecology and Diagnostic Imaging. Credit Valley Hospital, Mississauga, Ontario.
Sukarni K, Icesmi dan Margaret ZH. 2013. Kehamilan, Persalinan dan Nifas. Yogyakarta : Nuha Medika
Syaifuddin, H. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan & Kebidanan. Jakarta: EGC
Bruner and S uddarth. 2001.  Keperawatan Medikal Bedah,Ed. 8 Vol. 1. Jakarta: EGC

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rjukan. Edisi Pertama. Jakarta.