A. Anatomi
Fisiologi Rahim dan Plasenta
Genetalia interna
wanita teridiri dari :
1.
Vagina
2.
Uterus
3.
Tuba
falopi
4.
ovarium
Uterus
Uterus terdiri dari (1) fundus uteri, (2)
korpus uteri, dan (3) serviks uteri. Korpus uetri adalah bagian uterus yang
terbesar, pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin
berkembang. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri (rongga
rahim). Lapisan otot polos uterus di sebelah dalam berbentuk sirkular dan di
sebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu terdapat
lapisan otot oblik, berbentuk anyaman. Lapisan ini paling penting dalam
persalinan oleh karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi
kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh darah yang terbuka di tempat itu, sehingga
perdarahan berhenti (Prawirohardjo, 2014). Syaifuddin (2011), kavum uteri
berupa bangunan segitiga yang basisnya dibentuk oleh permukaan dama dari fundus
uteri di antara tuba uterina. Kavum ini dilapisi oleh selaput lendir yang kaya
dengan kelenjar. Bagian apeks dibentuk oleh orifisium interna uteri tempat
kavum uteri bergabung dengan kanalis servikalis servisis melalui orifisium.
Uterus diberi darah oleh arteria uterina kiri
dan kanan yang terdiri atas ramus asendes dan desendes. Pembuluh darah ini
berasal dari arteria Iliaka Interna (disebut juga arteria Hipogastrika) yang
melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks
kira-kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina. Kadang-kadang dalam
persalinan terjadi perdarahan banyak oleh karena robekan serviks sampai
mengenai cabang-cabang arteria Uterina. Inervasi uetrus terdiri atas sistem
saraf simpatik dan sebagian besar terdiri atas sistem parasimpatetik dan
serebrospinal. Saraf simpatik menimbulkkan kontraksi dan vasokontriksi,
sedangkan yang parasimpatetik sebaliknya, yaitu mencegah kontraksi dan
menimbulkan vasodilatasi(Prawirohardjo,2014).
B. Perdarahan
Perdarahan adalah keluarnya
darah dari pembuluh darah akibat kerusakan (robekan) pembuluh darah. Kehilangan darah bisa disebabkan perdarahan internal dan eksternal.
Perdarahan internal lebih sulit diidentifikasi. Jika pembuluh darah terluka
maka akan segera terjadi kontriksi dinding pembuluh
darah sehingga hilangnya darah dapat berkurang. Platelet mulai menempel
pada tepi yang kasar sampai terbentuk sumbatan (Bruner and S uddarth, 2001).
C. Perdarahan
Antepartum
Defenisi Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum
adalah perdarahan pada triwulan terakhir dari kehamilan. Batas teoritis antara kehamilan muda dan kehamilan tua adalah kehamilan 28 minggu tanpa melihat berat janin, mengingat
kemungkinan hidup janin diluar uterus. Perdarahan setelah kehamilan 28 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya
dari pada sebelum kehamilan 28 minggu, oleh karena itu memerlukan penanganan
yang berbeda (Mochtar, 2012).
Perdarahan antepartum adalah
perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan
lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu (Mochtar,
2012).
Perdarahan antepartum yang
berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang
tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan servik biasanya tidak
seberapa berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu
dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta (Mochtar, 2012).
a. Plasenta
Previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal yaitu pada segmen bawah rahim (SBR) sehingga menutupi sebagian atau
seluruh permukaan jalan lahir (Ostium uteri Internum) dan oleh karenanya bagian
terendah sering kali terkendala memasuki pintu atas panggu (PAP) atau
menimbulkan kelainan janin dalam lahir. Pada keadaan normal plasenta umumnya
terletak di corpus uteri bagian depan atau belakang agak ke arah fundus uteri.
(Prawirohardjo, 2014).
Sejalan dengan bertambah besarnya segmen bawah rahim (SBR) ke arah
proksimalme mungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
(SBR) ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim (SBR) seolah
plasenta tersebut berimigrasi. Ostium Uteri yang secara dinamik mendatar dan
meluas dalam persalinan kala Ibisa mengubah luas permukaan serviks yang
tertutup oleh plasenta. (Prawirohardjo, 2014)
Klasifikasi
Plasenta Previa
Menurut
Nugroho (2011), plasenta previa dibagi menjadi beberapa jenis :
1.
Plasenta
previa totalis
Plasenta
previa totalis yaitu ostium uteri internum tertutup seluruhnya oleh plasenta.
2.
Plasenta
previa parsialis
Plasenta
previa parsialis yaitu ostium uteru internum tertutup sebagian oleh plasenta.
3.
Plasenta
previa marginalis
Plasenta
previa marginalis yaitu pinggir bawah plasenta sampai pada pinggir ostium uteri
internum
4.
Plasenta
previa letak rendah
Plasenta
previa letak rendah yaitu terjadi jika plasenta tertanam di segmen bawah
uterus.
Etiologi plasenta previa belum diketahui secara pasti. Frekuensi
plasenta previa meningkat pada grande multipara, primigravida tua, bekas secsio
sesarea, bekas aborsi, kelainan janin, dan leioma uteri. Penyebab secara pasti
belum diketahui dengan jelas.
Menurut
beberapa ahli penyebab plasenta previa yaitu:
1.
Plasenta
previa merupakan implementasi di segmen bawah rahim dapat disebabkan oleh
endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, endometrium yang
tipis sehingga diberpulakan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi
pada janin dan vili korealis pada chorion leave yang persisten.
2.
Etiologi
plasenta previa belum diketahui pasti namun meningkat pada grande multi para,
primigravida tua, bekas secsio sesarea, bekas operasi dan leiomioma uteri.
(norma, dkk. 2013)
Menurut Mochtar yang dikutup pada buku Norma (2013), ada beberapa faktor
resiko yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya :
1.
Usia
>35 tahun atau <20 tahun
2.
Paritas
3.
Riwayat
pembedahan rahim
4.
Jarak persalinan
yang dekat < 2 tahun
5.
Hipoplasia
endometrium
6.
Korpus
luteum bereaksi lambat
Patofisiologi Plasenta Previa
Menurut
manuaba 2008, implementasi plasenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan :
1. Endomentriumdi fundus uteri belum siap
menerima implantasi
2. Endometrium yang tipis sehingga diperlukan
perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi ke janin.
3. Vili korealis pada korion leave (korion yang
gundul yang persisten).
Menurut Davood 2008 dalam Nugroho (2011), sebuah penyebab utama pada
perdarahan trimester tiga yaitu plasenta previa yang memiliki tanda khas dengan
perdarahan tanpa rasa sakit. perdarahan diperkirakan terjadi dalam hubungan
dengan perkembangan segmen bawah rahim (SBR) pada trimester tiga. Dengan
bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah rahim (SBR) lebih melebar lagi dan
serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah rahim (SBR),
pelebaran segmen bawah rahim (SBR) dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti
oleh plasenta yang melekat disitu tanpa diikuti tanpa terlepasnya sebagian
plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan.
Darahnya bewarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh
solusio plasenta yang bewarna kehitam-hitaman. Sumber perdarahannya ialah sinus
uteri yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena
robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannya tidak dapat dihindarkan
karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah rahim (SBR) untuk berkontraksi menghentikan
perdarahan itu, sebagaimana serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada
kala tiga dengan plasenta yang letanya normal. Makin rendah letak plasenta,
makin dini perdarahan terjadi.
Tatalaksana
(Kemenkes RI, 2013):
1)
PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan dalam sebelum tersedia
kesiapan untuk seksio sesarea. Pemeriksaan inspekulo dilakukan secara
hati-hati, untuk menentukan sumber perdarahan.
2)
Perbaiki
kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
3)
Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
4)
Jika perdarahan banyak dan
berlangsung, persiapkan seksio sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
5)
Jika perdarahan sedikit
dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
b. Solusio
Plasenta
Dalam buku patologi kebidanan, Nugroho (2012), solusio plasenta adalah
terlepasnya plasenta yang letaknya normal di korpus uteri yang terjadi setelah
kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Definisi lain dari solusio
plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada fundus/korpus
uteri sebelum janin lahir.
Sebab utama solusio plasenta tidak diketahui. Namun, ada beberapa faktor
yang akan diulas berikut ini:
1.
Usia,
Paritas, Ras, dan Faktor Familial. Insiden solusio meningkat sesuai
bertambahnya usia ibu. Pada penelitian first and second trimester evaluation of
risk (FASTER), perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun ditemukan 2,3 kali
lipat lebih mungkin mengalami solusio dibandingkan perempuan
berusia 35 tahun. Hubungan familial baru-baru ini dilaporkan oleh
Rasmussen dan Irgens (2009) yang meganalisis keluaran dari register
berbasis-populasi di Norwegia, yang mencakup hampir 378.000 perempuan dengan
hubungan saudara kandung dan lebih dari 767.000 kehamilan. Jika seorang perempuan
pernah mengalami solusio berat, resiko untuk saudara perempuannya akan
meningkat dua kali lipat, dan resiko yang dapat diwariskan diperkirakan sebesar
16 persen. Tidak terdapat peningkatan resiko pada saudara ipar mereka
(Cunningham, dkk. 2013).
2.
Hipertensi. Kondisi
yang sangat dominan berkaitan dengan solusio plasenta adalah suatu bentuk
hipertensi. Hipertensi gestasional, preeklamsia, hipertensi kronis, atau
kombinasi kedua-duanya. Dalam laporan Parkland Hospital mengenai 408 perempuan
yang mengalami solusio placenta dan keguguran, hipertensi ditemukan pada kurang
lebih separuh perempuan setelah compartment intravascular yang sebelumnya
berkurang dipulihkan. Setengah di antara perempuan-perempuan tersebut,
seperempat dari total 408 memiliki hipertensi kronis (Cunningham, dkk. 2013).
Keparahan
hipertensi tidak selalu berhubungan dengan insiden solusio. Selain itu, hasil
pengamatan dari Magpie Trial Collaborative Group memberikan gambaran bahwa
perempuan dengan preeklamsia mungkin mengalami resiko solusio yang lebih rendah
bila diterapi dengan magnesium sulfat (Cunningham, dkk. 2013).
3.
Ketuban
Pecah Dini dan Pelahiran Kurang Bulan. Tidak ada keraguan bahwa terjadi
peningkatan insiden solusio bila ketuban pecah sebelum aterm. Major dkk,
melaporkan bahwa 5 persen di antara 756 perempuan dengan ketuban pecah antara
minggu 20 dan minggu 36 mengalami solusio. Survey tahun 1998 melaporkan
peningkatkan resiko solusio 3 kali lipat pada kasus ketuban pecah dini. Resiko
ini semakin ditingkatkan oleh infeksi. Kelompok yang sama telah mengajukan
gagasan bahwa peradangan dan infeksi mungkin merupakan sebab utama solusio
plasenta (Cunningham, dkk. 2013).
4.
Merokok. Penelitian
terdahulu collaborative Perinatal Project mengaitkan perokok dengan peningkatan
resiko solusio. Dalam suatu meta-analisis yang mencakup 1,6 juta kehamilan.
Resiko ini bertambah menjadi lima hingga delapan kali lipat jika perokok
tersebut mengalami hipertensi kronis, preeklamsia berat, atau keduanya
(Cunningham, dkk. 2013).
5.
Kokain. Perempuan
pengguna kokain memilki frekuensi solusio plasenta yang sangat tinggi. Dalam
laporan Bingol dkk, mengenai 50 perempuan yang menyalahgunakan kokain selama
kehamilan, ditemukan delapan kasus lahir mati akibat solusio plasenta
(Cunningham, dkk. 2013).
6.
Trombofilia. Selama
decade terakhir, sejumlah trombofilia yang diwariskan atau didapat telah
dikaitkan dengan penyakit tromboembolik selama kehamilan. Beberapa di antara
kelainan ini misalnya, mutasi gen protrombin atau faktor V leiden berkaitan
dengan solusio dan infark plasenta serta preeklamsia (Cunningham, dkk. 2013).
7.
Solusio
Traumatic. Pada beberapa kasus trauma eksternal, biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor atau kekerasan fisik, dapat terjadi pemisahan
plasenta. Namun, seiring menurunnya insiden solusio plasenta selama beberapa
tahun ini, solusio traumatic telah menjadi relative leboh lazim (Cunningham,
dkk. 2013).
8.
Leiomioma. Tumor-tumor
ini khususnya jika terletak dibelakang tempat implantasi plasenta merupakan
prediposisi terjadinya solusio (Cunningham, dkk. 2013:803).
9.
Solusio
Berulang. Seorang yang pernah mengalami solusio plasenta khususnya yang
menyebabkan kematian janin memiliki angka rekurensi yang tinggi. Jadi,
Tatalaksana kehamilan setelah terjadinya solusio merupakan hal yang sulit
karena mendadak dapat terjadi solusio berikutnya, bahkan pada kehamilan yang
masih jauh dari aterm. Pada banyak kasus frekuensi ini, hasil pemeriksaan
kesejahtraan janin sebelumnya terjadi solusio umunya baik. Dengan demikian,
pemeriksaan janin antepartum biasanya tidak prediktif (Cunningham, dkk.
2013).
Manifestasi
Klinis
1.
Solusio
plasenta ringan
Salah
satu tanda kecurigaan solusio plasenta adalah perdarahan pervaginam yang
kehitam-hitaman, berbeda dengan perdarahan pada plasenta previa yang berwarna
merah segar (Nugroho, 2012)
2.
Solusio
plasenta sedang
-
Plasenta
telah lepas ¼ - ½ bagian.
-
Walaupun
perdarahan pervaginam tampak sedikit, seluruh perdarahannya mungkin telah
mencapai 1000 ml.
-
Dinding
uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri terasa.
3.
Solusio
plasenta berat
-
Plasenta
telah terlepas lebih dari ½ permukaannya
-
Dapat
terjadi syok, dan janin meninggal
-
Uterus
tegang seperti papan, dan sangat nyeri (Nugroho, 2012)
Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai oleh pendarahan kedalam desidua basalis.
Desidua kemudian memisah meninggalkan lapisan tipis yang melekat ke miometrium.
Karena itu, peroses dalam tahap paling awal terdiri atas pembentukan hematoma
desidua yang menyebabkan pemisahan, kompresi dan akhirnya plasenta yang
terletak didekatnya. Nath dkk,. (2007). Menemukan bukti histologis peradangan
lebih banyak terlihat pada kasus solusio plasenta dibandingkana pada kontrol
normal. Seperti dibahas sebelumnya, mereka mengajukan gagasan bahwa peradangan
infeksi mungkin merupakan kontributor penyebab.
Dalam tahap dini, mungkin tidak ditemukan gejala klinis, dan pemisahan
hanya diitemukan saat pemeriksaan plasenta yang baru dilahirkan. Ada
kasus-kasus seperti ini, terdapat cekungan berbatas tegas pada permukaan
maternal plasenta. Cekungan ini biasanya berdiameter beberapa centimeter dan
ditutupi oleh darah yang membeku dan berwarna gelap. Karena diperlukan beberapa
menit untuk memunculkan perubahan anatomis ini, plasenta yang sangat baru
mengalami pemisahan dapat tampak sepenuhnya normal saat dilahirkan. Menurut
Benirschke dan kaufmann (2000) dan sesuai pengalaman kami. Usia bekuan retro
plasenta tidak dapat ditentukan secara pasti.
Pada kondisi tertentu, arteria speralis desidua pecah dan menimbulkan
hematoma retoplasenta, yang saat bertambah besar, merusak lebih banyak lagi
pembuluh darah sehingga banyak plasenta yang terpisah. Daerah terpisahnya
plasenta dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih
membesar akibat produk konsepsi, uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat
untuk menekan pembuluh darah yang robek yang mendarahi lokasi plasenta. Darah
yang keluar menyebabkan diseksi membran dari dinding uterus dan akhirnya tampak
dari luar atau tertahan sepenuhnya dalam uterus (Cunningham, dkk. 2013).
Tatalaksana
(Kemenkes RI, 2013):
1)
Perhatian! Kasus ini tidak boleh
ditatalaksana pada fasilitas kesehatan dasar, harus dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap. Tatalaksana berikut ini hanya boleh dilakukan di
fasilitas kesehatan yang lengkap.
2)
Jika
terjadi perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tandatanda awal syok pada ibu, lakukan
persalinan segera:
-
Jika pembukaan serviks lengkap, lakukanpersalinan dengan ekstraksi vakum
-
Jika pembukaan serviks belum lengkap, lakukan persalinan dengan seksio sesarea
3)
Waspadalah
terhadap kemungkinan perdarahan pascasalin.
4)
Jika perdarahan ringan atau sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ):
-
DJJ normal, lakukan seksio sesarea
-
DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu
normal: pertimbangkan
persalinan pervaginam
-
DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu
bermasalah: pecahkan ketuban
dengan kokher:
Jika kontraksi
jelek, perbaiki
dengan pemberian oksitosin
Jika serviks
kenyal, tebal, dan
tertutup, lakukan seksio sesarea
-
DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari
180/menit): lakukan persalinan
pervaginam segera, atau seksio sesarea bila persalinan pervaginam tidak
memungkinkan.
c. Insertio
Velamentosa
Insersio velamentosa adalah tali pusat yang tidak berinsersi pada
jaringan plasenta, tetapi pada selaput janin sehingga pembuluh darah umblikus
berjalan diantara amnion dan korion menuju plasenta. Pada insersi velamentosa,
tali pusat dihubungkan dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini
merupakan kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan
perkembangan plasenta. Karena pembuluh darahnya berinsersi pada membran, maka
pembuluh darahnya berjalan antara funiculus umbilikalis dan plasenta melewati
membrane (Prawirohardjo, 2014).
Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan dengan plasenta oleh
selaput janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi funiculus umbilikalis
dan bukan merupakan kelainan perkembangan plasenta. Karena pembuluh darahnya
berinsersi pada membran, maka pembuluh darahnya berjalan antara funiculus
umbilikalis dan plasenta melewati membran. Bila pembuluh darah tersebut
berjalan didaerah ostium uteri internum, maka disebut vasa previa. Vasa
previa ini sangat berbahaya karena pada waktu ketuban pecah, vasa previa dapat
terkoyak dan menimbulkan perdarahan yang berasal dari anak. Gejalanya ialah
perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari
anak maka dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk (Prawirohardjo, 2014).
Bila perdarahan banyak, maka kehamilan harus segera diakhiri. Perdarahan
vasa previa sering diikira sebagai plasenta previa atau solusio plasenta. Untuk
membedakannya dapat dilakukan tes sebagai berikut. Kira-kira 2 atau 3 cc darah
yang keluar dicampur air dalam jumlah yang sama lalu disentrifusi dengan
kecepatan 2000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipisahkan, lalu dicampurkan
dengan NaOH 0,25 N dengan perbandingan 5 : 1. Dalam waktu 1 atau 2 menit akan
kelihatan perubahan warna. Warna kuning coklat (alkaline heme) menunjukkan
bahwa darah itu berasal dari ibu. Sedangkan warna merah berarti hemoglobin
fetal. Angka kematian janin karena vasa previa dapat mencapai 60%
(Prawirohardjo, 2014).
Insertio velamentosa adalah insersi tali pusat pada selaput janin.
Insersi velamentosa sering terjadi pada kehamilan ganda. Pada insersi velamentosa, tali
pusat dihubungkan dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan
kelainan insersi funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan
perkembangan plasenta. Karena pembuluh darahnya berinsersi pada membran, maka
pembuluh darahnya berjalan antara funiculus umbilikalis dan plasenta melewati
membran (Prawirohardjo, 2014).
Tanda
dan Gejala Insertio Velamentosa
Tanda dan gejalanya belum diketahui secara pasti, perdarahan pada
insersi velamentosa ini terlihat jika telah terjadi vasa previa yaitu
perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari
anak dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk bisa juga menyebabkan bayi
tersebut meninggal. Satu-satunya cara mengetahui adanya insersi velamentosa ini
sebelum terjadinya perdarahan adalah dengan cara USG. Jadi sebaiknya pada ibu
dengan kehamilan gemeli dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan USG, karena
untuk mengantisipasi dengan segala kemungkinan penyulit yang ada, salah satunya
insersio velamentosa ini (Prawirohardjo, 2014).
d. Ruptura
Sinus Marginalis
Ruptura sinus
marginalis (solusio plasenta ringan) adalah terlepasnya sebagian kecil plasenta yang tidak
berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu atau pun janinnya. Ari-ari terlepas sebagian
kecil. Ditunjukkan dengan gejala perut sedikit nyeri, rahim mulai menegang dan
keluar darah agak kehitaman (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Solusio plasenta ini di sebut juga ruptur sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila
terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit.
Perut terasa agak sakit atau agak terasa tegang yang sifat terus-menerus.
Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Tekanan darah
tinggi, serta tidak ada gawat janin. Uterus yang agak tegang ini harus selalu
diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio
plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman
(Rukiyah & Yulianti, 2010).
Ruptura sinus marginalis, bila hanya sebagian kecil pinggir plasenta
yang terlepas. Solusio plasenta ringan atau ruptur sinus marginalis adalah
terlepasnya plasenta kurang dari ¼ luasnya, tidak memberikan gejala klinik dan
ditemukan setelah persalinan, keadaaan umum ibu dan janin tidak mengalami
gangguan, persalinan berjalan dengan lancar pervaginam (Rukiyah & Yulianti,
2010).
Diagnosis:
Dari
hasil anamnesa terdapat perdarahan pervaginam, warnanya kehitam-hitaman dan
sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa adak tegang yang sifatnya
terus-menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba, pada
pemeriksaan dalam terdapat pembukaan dan ketuban tegang dan menonjol. Pada
waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa rasa sakit dan menjelang pembukaan
lengkap perlu dipikirakan kemungkinan perdarahan karena sinus marginalis yang
pecah. Karena pembukaan mendekati lengkap, maka bahaya untuk ibu maupun
janinnya tidak terlalu besar. Pemeriksaan penunjang, dengan ultrasonografi,
dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding rahim (Rukiyah & Yulianti,
2010).
Penanganan Ruptura Sinus Marginalis (Rukiyah
& Yulianti, 2010):
Ekspektattif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada
perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin
hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan
spontan.
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung uterus, gejala solusio
plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta
bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup,
lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul oksitosin
untuk mempercepat persalinan.
Perut tegang sedikit, berarti perdarahannya tidak terlalu banyak,
keadaan janin masih baik dan dapat dilakukan penanganan secara konservatif
dengan observasi ketat, perdarahan berlangsung terus menerus ketegangan makin
meningkat, dengan janin yang masih baik harus segera dilakukan seksio sesaria,
perdarahan yang berhenti dan keadaan baik pada kehamilan prematur dilakukan
rawat inap.
D. Perdarahan
Postpartum
Defenisi Perdarahan Post Partum
Perdarahan lebih darah 500 ml (pada persalinan per vaginal) atau lebih
dari 1000 ml (pada persalinan caesar) setelah bayi lahir. Perdarahan dapat
terjadi sebelum, selama, dan setelah plasenta lahir.
Menurut
terjadinya dibagi atas dua bagian:
-
Perdarahan
post partum dini (early postpartus hemorrhage) : terjadi dalam 24 jam pertama
setelah bayi lahir
-
Perdarahan
post partum lanjut (late postpartus hemorrhage) : terjadi setelah 24 jam sampai
6 minggu setelah bayi lahir.
Penelitian terhadap kematian ibu
memperlihatkan bahwa penderita perdarahan postpartum meninggal dunia akibat
terus-menerus terjadi perdarahan yang jumlahnya kadang-kadang tidak menimbulkan
kecurigaan kita. Yang menimbulkan kematian bukanlah perdarahan sekaligus dalam
jumlah banyak tetapi justeru perdarahan terus-menerus yang terjadi sedikit demi
sedikit. Pada suatu seri kasus yang besar, Beacham mendapatkan bahwa interval
rata-rata antara kelahiran dan kematian adalah 5 jam 20 menit. Tidak seorang
pun ibu yang meninggal dalam waktu 1 jam 30 menit setelah melahirkan. Kenyataan
ini menunjukkan adanya cukup waktu untuk melangsungkan terapi yang efektif jika
pasiennya selalu diamati dengan seksama, diagnosis dibuat secara dini, dan
tindakan yang tepat segera dkerjakan (Oxorn & Forte, 2010).
Gambaran klinis perdarahan postpartum berupa
perdarahan terus-terusan dan keadaan pasien secara berangsur-angsur menjadi
semakin jelek. Denyut nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun,
pasien berubah pucat dan dingin dan napasnya menjadi sesak, terengah-engah,
berkeringat dan akhirnya coma serta meninggal. Situasi yang berbahaya adalah
kalau denyut nadi dan tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan
untuk beberapa saat karena adanya mekanisme kompensasi vaskuler. Kemudian
fungsi kmpensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat
dengan cepat, tekanan darah tiba-tiba turun, dan pasien dalam keadaan shock.
Uterus dapat terisi darah dalam jumlah yang cukup banyak sekalipun dari luar
hanya terlihat sedikit (Oxorn & Forte, 2010).
Bahaya
perdarahan postpartum ada dua (Oxorn & Forte, 2010):
1. Anemia yang diakibatkan perdarahan tersebut
memperlemah keadaan pasien, menurunkan daya tahannya dan menjadi predisposisi
terjadinya infeksi nifas
2. Jika kehilangan darah ini tidak dihentikan,
akibat akhir tentu saja kematian.
Klasifikasi
Perdarahan Post Partum
Berdasarkan saat terjadinya perdarahan adalah
sebagai berikut:
1. Perdarahan Postpartum Primer (early
post-partum hemorrhage) Yaitu perdarahan yang terjadi dalam kurun waktu 24 jam
pertama sejak kelahiran.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder (late
post-partum hemorrhage) Yaitu perdarahan yang terjadi lebih dari 24 jam hingga
12 minggu kelahiran bayi.
Penyebab perdarahan post partum dikenal
sebagai 4T, yaitu Tone, Tissue, Trauma dan Thrombin (Kemenkes RI, 2013).
1. Tone
a. Atonia
Uteri
Atonia
uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium untuk berkontraksi setelah
plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol
oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di
sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat
perlengketan plasenta (Prawirohardjo, 2014).
Kegagalan
kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan
parah serta syok hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan
oleh
kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama
jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi
nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan nifedipin
juga dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lain
adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah rahim,
korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada solusio
plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013).
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan
melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) yaitu (Sukarni, dkk, 2013):
a.
Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia,
polihidramnion, atau paritas tinggi.
b.
Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
c.
Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d.
Partus lama / partus terlantar
e.
Malnutrisi.
f.
Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta,
misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.
Tanda dan Gejala (Sukarni, dkk, 2013):
1. Uterus tidak berkontraksi dan
lembek
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia
uteri dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
2. Perdarahan segera setelah anak
lahir (post partum primer).
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat
banyak dan tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak
lagi sebagai anti beku darah.
3. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum
uteri dan menggumpal.
4. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstrimitas dingin, gelisah, mual, apatis, dll.
Pencegahan
atonia uteri:
Atonia uteri dapat
dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera
setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous
atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam. Pemberian
oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum
lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi (Sukarni, dkk, 2013).
Tatalaksana:
1.
Lakukan pemijatan uterus.
2.
Pastikan plasenta lahir
lengkap.
3.
Berikan 20-40
unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60
tetes/menit dan 10 unitIM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unitdalam 1000 ml
larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga
perdarahan berhenti.
4.
Bila tidak tersedia
oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikan ergometrin 0,2 mg IM
atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM setelah 15 menit, dan
pemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan. JANGAN BERIKAN
LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)
5.
Jika perdarahan berlanjut,
berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30
menit).
6.
Lakukan pasang kondom kateter
atau kompresi bimanual internal selama 5 menit.
7.
Siapkan tindakan operatif
atau rujuk ke fasilitas yang lebih memadai sebagai antisipasi bila perdarahan
tidak berhenti.
8.
Di rumah sakit rujukan,
lakukan tindakan operatif bila kontraksi uterus tidak membaik, dimulai dari
yang konservatif. Pilihan-pilihan tindakan operatif yang dapat dilakukan antara
lain prosedur jahitan B-lynch, embolisasi arteri uterina, ligasi arteri uterina
dan arteri ovarika, atau prosedur histerektomi subtotal.
2. Tissue
b. Retensio
Plasenta
Retensio plasenta
adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30
menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2011).
Kondisi
umum yang menjadi penyebab retensio plasenta adalah :
a. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena
tumbuh melekat lebih dalam (Plasenta Adhesiva), yaitu:
a) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion
plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
b) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion
plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium.
c) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion
plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding
uterus.
b. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia
uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak (Plasenta Inkarserata). Atau
karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan
penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (Plasenta
inkarserata).
c. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung
kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan (Mochtar, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta,
antara lain adalah:
a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari
uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi
yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
b. Kelainan dari plasenta dan sifat pelekatan plasenta
pada uterus.
c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti
manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari
plasenta menyebabkan
d. Kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang
tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta;
serta pemberian anestesi (Faisal, 2008).
Penatalaksanaan:
1. Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menitdan 10 UNIT IM. Lanjutkan
infus oksitosin 20 UNIT dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti
2. Lakukan tarikan tali pusat terkendali
3. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan
plasenta manual secara hati-hati.
4. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV
DAN metronidazol 500 mg IV).
5. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila
terjadi komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.
c. Rest
Plasenta
Rest
plasenta adalah jika ditemukan adalah kotiledon yang tidak lengkap dan masih
ada perdarahan pervagina padahal plasenta sudah lahir ( Jannah, 2011 ).
Penyebab
rest plasenta
1.
Pengeluaran
plasenta tidak hati-hati, his kurang baik
2.
Salah
pimpinan kala III : terlalu terburu - buru untuk mempercepatlahirnya plasenta.
3.
Abnormalitas
plasenta, Abnormalitas plasenta meliputi bentuk plasenta dan
penanaman plasenta dalam uterus yang mempengaruhi mekanisme pelepasan plasenta.
4.
Kelahiran
bayi yang terlalu cepat
Kelahiran
bayi yang terlalu cepat akan mengganggu pemisahan plasenta
secara fisiologis akibat gangguan dari retraksi sehingga dapat terjadi
gangguan retensi sisa plasenta.
Komplikasi
(Prawirohardjo, 2014):
a.
Perforasi tindakan
b.
Infeksi
c.
Perdarahan
Penatalaksanaan:
1. Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menitdan 10 unitIM. Lanjutkan
infus oksitosin 20 unitdalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
2. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan
bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan
kuretase.
3. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV
DAN metronidazole 500 mg).
4. Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia
uteri.
3. Trauma
d. Ruptura
Uteri
Ruptura
uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang
umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan
pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Pada
robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak
terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal ini dinamakan
kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan
kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut
robek, hal ini dinamakan ruptura uteri komplet, jika tidak disebut ruptura
uteri inkomplet. Pinggir ruptura biasanya tidak rata, letaknya pada uterus
melintang, atau membujur, miring, dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Menurut
cara terjadinya ruptura uteri terbagi atas; 1) Ruptur uteri spontan, 2) Ruptur
uteri traumatik, 3) Ruptur uteri pada parut uterus (Prawirohardjo, 2014).
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau
anomali yang sudah ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan uterus yang sebelumnya tanpa parut. Penyebab
ruptur uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio
sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi
bersamaan dengan timbulnya kecenderungan untuk memperbolehkan partus percobaan
pada persalinan dengan riwayat seksio sesarea (Syaifuddin, 2011).
Faktor Risiko
Riwayat
operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma seperti kuretase atau
perforasi. Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat dengan
oksitosin, yaitu suatu penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan, tampak semakin
berkurang. Umumnya, uterus yang sebelumnya tidak pernah mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus berkontraksi
dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri. (Prawirohardjo, 2014).
Tatalaksana
a.
Tatalaksana Umum
-
Berikan oksigen.
-
Perbaiki kehilangan volume
darah dengan pemberian infus cairan intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat)
sebelum tindakan pembedahan.
-
Jika kondisi ibu stabil,
lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan plasenta.
b.
Tatalaksana Khusus
-
Jika uterus dapat
diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada histerektomi dan tepi
robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus (histerorafi). Tindakan
ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan menyebabkan kehilangan darah yang
lebih sedikit dibanding histerektomi.
-
Jika uterus tidak dapat
perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan memanjang hingga serviks dan
vagina, histerektomi total mungkin diperlukan.
e. Robekan
Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Robekan
jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma
forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstrasi. Robekan yang terjadi
bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,robekan perineum spontan derajat
ringan sampai ruptur perineum totalis (sfingter ani terputus), robekan pada
dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan
bahkan yang terberat ruptur uteri. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi
uterus baik, biasanya karena ada laserasi ataupun sisa plasenta (Prawirohardjo,
2014).
Robekan jalan lahir adalah trauma yang diakibatkan oleh kelahiran bayi
yang terjadi pada serviks, vagina, atau perineum (Maryunani & Puspita,
2014).
Etiologi
1.
Pertolongan
persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan
lahir dan karena itu di hindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan
serviks belum lengkap (Maryunani & Puspita, 2014).
2.
Robekan/laserasi
jalan lahir diakibatkan episiotomi, robekan perineum spontan, trauma forceps
atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2014).
Tanda atau gejala robekan vagina, perineum atau serviks antara lain,
terjadi plasenta keluar, terdapat perdarahan namun uterus berkontraksi, pada
inspeksi plasenta kotiledon plasenta lengkap (Maryunani & Puspita, 2014).
Laserasi
dalam jalan lahir memiliki derajat tertentu :
1.
Laserasi
derajat I :
a. Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura
posterior dan kulit perineum (Maryunani & Puspita, 2014).
b. Robekan derajat pertama meliputi mukosa
vagina, fourchette dan kulit perineum tepat dibawahnya (Oxorn, dkk, 2010).
c. Perlukaannya hanya terbatas pada mukosa
vagina atau kulit perineum (Nugroho, 2012).
2.
Laserasi
derajat II :
a. Perlukaanya terjadi pada mukosa vagina,
komisura posterior, kulit perineum dan otot perineum (Maryunani & Puspita,
2014).
b. Laserasi derajat kedua merupakan luka robekan
yang lebih dalam. Luka ini terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai
corpus perineum (Oxorn, dkk, 2010).
c. Adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke
vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot – otot diafragma urogenital
(Nugroho, 2012).
3.
Laserasi
derajat III :
a. Perlukaan terjadi pada mukosa vagina,
komisura porterior, kulit perineum, otot perineum dan otot sfinter ani
(Maryunani & Puspita, 2014).
b. Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus
perineum, musculus tranversus perineus dan sphinceter recti (Nugroho, 2012).
c. Perlukaan yang meluas dan lebih dalam yang
menyebabkan musculus sfinter ani eksternus terputus didepan robekan serviks
(Nugroho, 2012).
4.
Laserasi
derajat IV :
Perlukaan
terjadi pada mukosa vagina, komisura porterior, kulit perineum, otot perineum
dan otot sfinter ani dan dinding depan rectum (Maryunani & Puspita, 2014).
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding
Vagina
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan
antiseptik.
3. Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap.
4. Lakukan penjahitan.
5. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Robekan Serviks
1. Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan
dari porsio.
2. Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
3. Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan
kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
4. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
f. Inversio
Uteri
Inversio uteri
adalah suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus
uteri) memasuki cavum uteri sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol
ke dalam kavum uteri bahkan kedalam vagina atau keluar vagina dengan dinding
endometriumnya sebelah luar (Prawirohardjo, 2014).
Inversio
uteri adalah terbaliknya fundus uteri ke dalam kavum uteri yang dapat
menimbulkan nyeri dan perdarahan (Manuaba, 2008).
Inversio uteri dibagi atas (Manuaba,
2008):
1.
Inversio uteri ringan
Fundus uteri terbalik menonjol dalam kavum uteri,
namun belum keluar dari ruang rongga rahim.
2.
Inversio uteri sedang
Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina.
3.
Inversio uteri berat
Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah
keluar vagina.
Penyebab
(Manuaba, 2008):
1.
Pada
Grandemultipara karena terjadi atonia uteri
2.
Tali
Pusat terlalu pendek
3.
Tarikan
tali pusat terlalu keras sedangkan kontraksi uterus belum siap untuk melahirkan
plasenta.
4.
Pelaksanaan
perasat crede, saat kontraksi uterus belum siap untuk mendorong plasenta lahir
5.
Plasenta
terlalu erat melekat pada tempat implantasinya.
6.
Tonus
otot rahim yang lemah
7.
Canalis
servikalis yang longgar
Patofisiologi
(Manuaba, 2008) :
Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam
menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan.
Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi
akan mengecil dan uterus akan terisi darah. Dengan adanya persalinan yang
sulit, menyebabkan kelemahan pada ligamentum-ligamentum, fasia endopelvik,
otot-otot dan fasia dasar panggul karena peningkatan tekanan intra abdominaldan
faktor usia. Karena serviks terletak diluar vagina akan menggeser celana dalam
dan menjadi ulkus dekubiltus (borok). Dapat menjadi SISTOKEL karena kendornya
fasia dinding depan vagina (mis : trauma obstetrik) sehingga kandung kemih
terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong kebelakang. Dapat
terjadi URETROKEL, karena uretra ikut dalam penurunan tersebut. Dapat terjadi
REKTOKEL, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina, oleh karena trauma
obstetri atau lainnya, sehingga rektum turun ke depan dan menyebabkan dinding
vagina atas belakang menonjol ke depan. Dapat terjadi ENTEROKEL, karena suatu
hemia dari kavum dauglasi yang isinya usus halus atau sigmoid dan dinding
vagina atas belakang menonjol ke depan. Sistokel, uretrokel, rektokel,
enterokel dan kolpokel disebut prolaps vagina. Prolaps uteri sering diikuti
prolaps vagina, tetapi prolaps vagina dapat berdiri sendiri.
Penatalaksanaan:
1.
Segera reposisi uterus.
Namun jika reposisi tampak sulit, apalagi jika inversio telah terjadi cukup
lama, bersiaplah untuk merujuk ibu.
2.
Jika ibu sangat kesakitan,
berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM atau IV secara perlahan
atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM.
3.
Jika
usaha reposisi tidak berhasil, lakukan laparotomi.
4.
Jika
laparotomi tidak berhasil, lakukan histerektomi.
4. Thrombin
g. Gangguan
Pembekuan Darah
Pada
periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus
untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan
penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari
setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan
postpartum sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama
trauma (Syaifuddin, 2011).
Abnormalitas
sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia
familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang
menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio
plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen
meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal
seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu,
koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masih yang
mendapat resusitasi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC juga dapat
berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang
menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini
terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta
pemanjangan waktu trombin (thrombin time) (Syaifuddin, 2011).
Penatalaksaan:
1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat
dicegah jika volume darah dipulihkan segera.
2. Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta, eklampsia).
3. Berikan darah lengkap segar, jika tersedia, untuk menggantikan
faktor pembekuan dan sel darah merah.
4. Jika darah lengkap segar tidak tersedia, pilih salah satu di
bawah ini:
d.
Plasma beku segar untuk menggantikan
faktor pembekuan (15 ml/ kg berat badan) jika APTT dan PT melebihi 1,5 kali
kontrol pada perdarahan lanjut atau pada keadaan perdarahan berat walaupun
hasil dari pembekuan belum ada.
e.
Sel darah merah (packed
red cells) untuk penggantian sel darah merah.
f.
Kriopresipitat untuk
menggantikan fibrinogen.
g.
Konsentrasi trombosit
(perdarahan berlanjut dan trombosit < 20.000).
h.
Apabila kesulitan
mendapatkan darah yang sesuai, berikan darah golongan O untuk penyelamatan
jiwa.
E. Peran
Bidan
Kewenangan Bidan dalam Kasus Perdarahan Post Partum
Kewenangan bidan dalam menangani perdarahan post
partum terdapat dalam standar pelayanan kebidanan, yaitu :
1. Standar 11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan
Kala Tiga
Secara aktif bidan
melakukan penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga.Tujuan dilaksanakan nya
standar ini yaitu membantu secara aktif pengeluaran plasenta dan selaput
ketuban secara lengkap untuk mengurangi kejadian perdarahan pasca persalinan
kala tiga, mencegah terjadinya atonia uteri dan retesio plasenta.
Adapaun hasil yang
diharapkan yaitu menurunkan terjadinya perdarahan yang hilang pada persalinan
kala tiga. Menurunkan terjadinya atonia uteri, menurunkan terjadinya retensio
plasenta , memperpendek waktu persalinan kala tiga, da menurunkan perdarahan post
partum akibat salah penanganan pada kala tiga.
2. Standar 20 : Penanganan Kegawat daruratan
Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali
retensio plasenta dan memberikan pertolongan pertama, termasuk plasenta manual
dan penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya adalah mengenali
dan melakukan tindakan yang tepat ketika terjadi retensio plasenta .
Hasil yang diharapkan
ialah penurunan kejadian retensio plasenta.Ibu dengan retesio plasenta
mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.Penyelamatan ibu dengan retensio
plasenta meningkat.
3. Standar 21 : Penanganan Perdarahan Post Partum
Primer
Bidan mampu mengenali
perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan dan segera
melakukan pertolongan pertama kegawat daruratan untuk mengendalikan perdarahan.
Tujuannya adalah bidan mampu mengambil tindakan pertolongan kegawat daruratan
yang tepat pada ibu yang mengambil perdarahan post partum primer/ atoni uteri.
Hasil yang diharapkan
yaitu penurunan kematian dan kesakitan ibu akibat perdarahan post partum
primer. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan bidan. Merujuk secara dini pada ibu
yang mengalami perdarahan post partum primer.
4. Standar 22 : Penanganan Perdarahan Post Partum
Sekunder
Bidan mampu mengenali
secara tepat dan dini gejala perdarahan post partum sekunder , dan melakukan
pertolongan pertama untuk penyelamatan jiwa ibu atau merujuk. Tujuannya adalah
mengenali gejala dan tanda perdarahan post partum sekunder serta melakukan
penanganan yang tepat untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Hasil yang diharapkan
yaitu kematian dan kesakitan akibat perdarahan post partum sekunder menurun.
Ibu yang mempunyai resiko mengalami perdarahan post partum sekunder ditemukan
secara dini dan segera di beri penanganan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Cunnningham, dkk. 2013. Obstetri Williams Edisi 23. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, edisi 1. Jakarta.
Manuaba, Ida Bagus Gde, dkk. 2008. Buku
Pengantar Obtetri. Jakarta : EGC
Maryunani, Anik
& Puspita, Eka. 2014. Asuhan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta
Mochtar, Rustam. 2012. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jilid 1 Edisi
3. Jakarta: EGC
Norma, Nita, dkk, 2013. Asuhan Kebidanan Patologi Teori dan Tinjauan
Kasus. Yogyakarta : Nuha Medika
Nugroho,
Taufan. 2012. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi
untuk Kebidanan dan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nugroho, Taufan, 2011. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan.
Yogyakarta : Nuha Medika
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Oxorn, Harry &
Forte, Wiliiam R. 2010. Ilmu Kebidanan
& Fisiologi Persalinan. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
Prawirohardjo,
Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Rahman SS, et al. 2008.
Postpartum hemorrhage secondary to
uterine atony, complicated by platelet storage pool disease and partial placenta
diffusa: a case report.
Rajan, Priya V.
2010. Postpartum Hemorrhage: Evidence-based Medical Interventions for
Prevention and Treatment. Clinical Obstetrics & Gynecology: Volume 53,
Issue 1: p.165-181.
Rueda, Carlos M.,
Rodriguez., Jarquin, Jose., Barboza, Alejandra., Bustillo, Maura Carolina.,
Marin, Flor., Ortiz, Guillermo & Estrada, Francisco. 2013. Clinical Study: Severe Postpartum Hemorrhage
from Uterine Atony: A Multicentric Study. Jurnal of Pregnancy Vol 2013
Article ID 525914 6 pages
Shane B. 2012.
Mencegah Perdarahan Pasca Persalinan:
Menangani Persalinan kala III. Out Look: Vol 19. h.1-8.
Sharma G.
2012. Maternal, Perinatal and Neonatal Mortality in South-East Asia Region. Asian Journal of Epidemiology 5, p. 1-14.
Smith JR, Brennan
BG. 2010. Postpartum Hemorrhage. Maternal-Fetal
Medicine. Departments of Obstetrics & Gynecology and Diagnostic Imaging.
Credit Valley Hospital, Mississauga, Ontario.
Sukarni
K, Icesmi dan Margaret ZH. 2013. Kehamilan, Persalinan dan Nifas. Yogyakarta :
Nuha Medika
Syaifuddin, H.
2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum
Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan & Kebidanan. Jakarta: EGC
Bruner and S uddarth.
2001. Keperawatan Medikal Bedah,Ed. 8 Vol. 1. Jakarta: EGC
Kemenkes RI. 2013. Buku
Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rjukan. Edisi
Pertama. Jakarta.
No comments:
Post a Comment