Saturday, 13 January 2018

IMUNISASI DIFTERI


IMUNISASI DIFTERI

Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini. Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. Imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis (Kemenkes RI, 2016).
Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua jenis
vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah (Kemenkes RI, 2016).
Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita (Kemenkes RI, 2016).
Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita (Kemenkes RI, 2016).
Difteri merupakan penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh kuman corynebacterium Diphtheriae. Difteri menular melalui (Kemenkes RI, 2017):
1.      Percikan Ludah
2.      Kontak langsung
3.      Luka terbuka
Ciri-ciri difteri (Kemenkes RI, 2017):
1.      Demam suhu lebih kurang 38C
2.      Ada selaput putih ke abu-abuan pada tenggorokan
3.      Sakit waktu menelan
4.      Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher
5.      Sesak nafas disertai bunyi (stridor).

Menurut DCC< pemberian vaksin difteri untuk dewasa diberikan pada usia 19-64 tahun dengan satu dosis. Untuk orang dewasa yang belum pernah mendapat vaksin Td atau belum lengkap status imunisasinya harus diberikan 1 dosis vaksin Tdap dan vaksin Td 10 tahun sebagai penguat. Untuk orang dewasa yang sama sekali tidak imunisasi harus diberikan 2 dosis pertama dengan jarak 4 minggu. Sedangkan dosis ketiganya diberikan antara 6-12 bulan dari dosis kedua. Utuk orang dewasa yang belum selesai 3 dosis vaksin Td primer bisa diberikan sisa dosis yang belum terpenuhi. Vaksin Td bagi kelompok dewasa ini belum disediakan oleh Pemerintah sehingga pembiayaan imunisasi Td dilakukan secara mandiri (Kemenkes, 2017).
Efek Pemberian Antipiretik
Penggunaan profilaksis antipiretik, terutama bila diberikan bersamaan dengan vaksinasi, dapat mengganggu tanggapan kekebalan terhadap vaksin rutin pada bayi. Efeknya bervariasi menurut vaksin, agen antipiretik, dan waktu pemberian. Signifikansi klinis dari temuan ini tidak jelas, karena respons imun yang didapat mungkin cukup untuk mencegah penyakit pada populasi dengan tingkat imunisasi yang tinggi. Meskipun pengurangan respons imun relatif terkait dengan penggunaan antipiretik, priming oleh seri bayi cukup memadai untuk respon yang kuat setelah vaksinasi balita. Meskipun demikian, data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antipiretik over-the-counter profilaksis, terutama selama seri vaksinasi primer bayi, harus dipertimbangkan dengan hati-hati (Wysocki et al, 2017).
Pemberian antipiretik profilaksis untuk mencegah demam terkait vaksinasi dapat mengganggu tanggapan kekebalan terhadap antigen vaksin. Efek ini berbeda dengan antigen vaksin dan agen antipiretik, dan mungkin memiliki komponen administrasi dosis dan / atau waktu bergantung total (Wysocki et al, 2017).
Perubahan imunogenisitas pneumokokus dikaitkan dengan pemberian bersama dengan parasetamol bila diberikan selama seri bayi utama. Sementara gangguan paling jelas saat parasetamol diberikan secara profilaksis bersamaan dengan vaksinasi, beberapa efek diamati saat dosis pertama tertunda 6-8h; Namun, efek ini setelah tertunda administrasi tidak mencapai signifikansi statistik. Pada semua kelompok antipiretik, tingkat antibodi fungsional tidak berbeda secara signifikan dibandingkan pada kontrol, menunjukkan tingkat perlindungan yang dapat diterima diperoleh pada kelompok 3 walaupun telah mengurangi IgG GMC untuk serotipe tertentu. Selain itu, sementara IgG GMC secara keseluruhan lebih rendah di antara subyek yang menerima parasetamol bersamaan dengan vaksinasi, temuan ini mencapai signifikansi statistik hanya untuk beberapa serotipe (serotipe 3, 4, 5, 6B, dan 23F). Tidak jelas apakah pengurangan respon ini bermakna secara klinis. Meskipun persentase subyek dengan konsentrasi IgG> = 0,35 μg / mL, korelasi yang diterima untuk perlindungan terhadap IPD berdasarkan populasi, tidak berbeda secara substansial, manfaat lain dari vaksinasi konjugasi pneumokokus yang mungkin memerlukan tingkat antibodi yang lebih tinggi, seperti perlindungan terhadap otitis media dan pengurangan kolonisasi nasofaring yang menyebabkan efek tidak langsung pada populasi yang tidak divaksinasi, mungkin tidak sepenuhnya direalisasikan (Wysocki et al, 2017).
Ibuprofen tidak memiliki efek nyata pada respons pneumokokus namun tampaknya mempengaruhi respons kekebalan terhadap antigen pertusis dan toksoid tetanus pada DTaP / HBV / IPV / Hib. Peran FHA dalam patogenesis penyakit pertusis klinis tidak jelas. Penurunan respons terhadap pertusis FHA setelah rangkaian bayi menjadi perhatian potensial, mengingat kekebalan yang relatif rendah diberikan pada bayi muda dengan vaksin pertusis acellular dibandingkan dengan vaksin pertusis sel keseluruhan, dan kecenderungan kekebalan pertussis FHA terhadap berkurang dari waktu ke waktu. respon imun optimal diperoleh tanpa antipiretik profilaksis. Pada hewan, ibuprofen telah terbukti mengganggu kemampuan antigen-presendensi sel dendritik, yang memainkan peran kunci dalam pengembangan respons imun primer. Penelitian in vitro dan in vivo lainnya pada sel manusia dan tikus knock-out menunjukkan bahwa agen antipiretik yang umum digunakan mungkin memiliki efek negatif pada jalur pensinyalan intraselular, aktivitas siklooksigenase yang merangsang pelepasan prostaglandin, dan pada limfosit B dan produksi antibodi. Parasetamol dapat mengganggu migrasi leukosit menuju tempat suntikan atau kejadian di hilir seperti presentasi antigen oleh sel dendritik. Namun, mekanisme pastinya efek ini tetap tidak jelas. Pengamatan semacam itu telah menyebabkan kekhawatiran tentang efek antipiretik pada tanggapan kekebalan terhadap vaksin. Terlepas dari temuan kami, vaksin yang dipelajari di sini terus sangat efektif pada populasi dengan tingkat imunisasi yang tinggi (Wysocki et al, 2017).


DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2016. Imunisasi Efektif Cegah Difteri. Jakarta. (Diakses pada tanggal 14 Januari 2018 pukul 05.20 WIB www.depkes.go.id/pdf.php?id=16021500001
Kemenkes RI. 2017. Imunisasi Cegah Difteri. Diakses pada 14 Januari 2017 Pukul 06.30 WIB https://twitter.com/KemenkesRI/status/949132094931791872 
Wysocki, Jacek., Center, K.J., Brzostek, J., Majda, S.E., dan Szymanski, H. 2017. A Randomized Study of Fever Prophylaxis and the Immunogenicity of Routine Pediatric Vaccinations. Vaccine 35(15): 1926-1935




No comments:

Post a Comment