Kasus Permasalahan Gender
Pemakaian Kontrasepsi Hanya Difokuskan pada
Perempuan
dan Pemilihan Atas Izin Suami
Kasus :
Penelitian
yang dilakukan oleh Anis Fitriani mengenai pengalaman perempuan dalam
menggunakan alat kontrasepsi di Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten
Lamongan, Indonesia bahwa :
Perempuan (istri) dalam rumah tangga bertanggung jawab pada semua urusan
domestik, seperti memasak, membersihkan dan menata rumah, mengasuh anak serta
mendidik anak. Bagi perempuan yang telah berumah tangga, melayani suami
merupakan tugas yang mutlak harus dilakukan istri dan tidak dapat
dinegosiasikan, selain itu istri harus patuh pada suami. Adanya sistem
patriarki yang berkembang pada masyarakat di Desa Pucangro meskipun tidak
terlalu kuat, menyebabkan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam keluarga tidak seimbang.
Banyak masyarakat di Desa Pucangro termasuk perempuan yang mempercayai
bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga, dan mencari nafkah bukanlah
tugas perempuan melainkan tugas laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Penggunaan alat
kontrasepsi menjadi tanggung jawab pasangan suami dan istri, dengan kata lain
harus dibicarakan bersama. Namun, banyak penduduk yang beranggapan bahwa
penggunaan kontrasepsi menjadi urusan perempuan yang dapat hamil dan melahirkan
bukan laki-laki sehingga seolah-olah perempuan memiliki kewajiban untuk
menggunakan alat kontrasepsi.
Pembahasan :
Pada kasus tersebut terjadi ketidaksetaraan gender antara istri dan suami
dalam pemakaian alat kontrasepsi dan pemilihan penggunaan terdapat pada izin
suami. Sistem patriarki yang berkembang
di Masyarakat juga menjadi salah satu faktor terjadinya ketidaksetaraan gender
di masyarakat tersebut.
Kesehatan reproduksi merupakan kemampuan seorang wanita untuk
memanfaatkan alat reproduksi dan mengatur kesuburannya (fertilitas) dapat
menjalani kehamilan dan persalinan secara aman serta mendapatkan bayi tanpa
resiko apapun dan selanjutnya mengembalikan kesehatan dalam batas normal. Dalam
survei yang dilakukan oleh WHO, menetapkan 5 jenis ketentuan sebagai kriteria
klarifikasi wanita yaitu kesehatan, perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan
persamaan (Manuaba, 2009).
Mengingat bahwa tanggung jawab untuk penggunaan
kontrasepsi biasanya dilakukan oleh perempuan dalam konteks kemitraan seksual,
pengalaman perempuan tentang keadilan gender dapat mempengaruhi bagaimana
mereka dapat menegosiasikan penggunaan kontrasepsi . Ketidaksetaraan
gender telah sangat terkait dengan kemampuan perempuan untuk menegosiasikan
penggunaan kontrasepsi untuk seks aman dan untuk mencegah kehamilan yang tidak
diinginkan di negara-negara berkembang (Betley,
dkk, 2008). Kesehatan reproduksi merupakan komponen
penting kesehatan bagi pria maupun wanita, tetapi lebih dititikberatkan pada
wanita. Keadaan penyakit pada wanita lebih banyak dihubungakna dengan fungsi
dan kemampuan bereproduksi serta tekanan sosial pada wanita karena masalah
gender (Kusmiran, 2014).
Mengenai hak kesehatan reproduksi perempuan berarti memberi kewenangan
dan hak kepada perempuan untuk menentukan pilihan dan mengontrol tubuh,
seksualitas, dan alat serta fungsi reproduksinya. Kewenangan dan hak perempuan
untuk mengontrol tubuhnya sendiri banyak dikhawatirkan menyalahi tata aturan
kultural, moral, dan agama (Nurhayati, 2014). Hak-hak reproduksi merupakan hak
pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap
berbagai metode keluarga berencana yang mereka pilih, aman, efektif,
terjangkau, serta metode-metode pengendalian kelahiran lainnya yang mereka
pilih dan tidak bertentangan dengan hukum serta perundang-undangan yang berlaku
(Kusmiran, 2014).
Salah satu kesehatan reproduksi pada wanita mengenai pemilihan
kontrasepsi. Kecemasan dalam aktivitas seksual sering berkaitan dengan kehailan
dan kelahiran seorang anak, yang tidak dialami dan dihayati oleh laki-laki.
Perempuan di samping dianggap sebagai objek pemuas kebutuhan seks laki-laki,
juga objek reproduksi, sehingga suami atau negara sangat mengontrol fungsi
reproduksi perempuan. Bagaimana perempuan menjadi objek KB keluarga dan
Pemerintah, sering tanpa mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologis
perempuan. Di samping itu, perempuan sendiri tidak berdaya dan tidak melihat
urgensi makna dirinya bagi kedaulatan tubuhnya. Perempuan cenderung menghindari
konflik, meskipun harus mengorbankan dirinya sedemikian rupa. Pengalaman berKB
yang buruk cukup menjadi rintihan tanpa suara, tangisan tanpa air mata, dan
protes tanpa aksi, yang menyebabkan kondisi perempuan tidak sehat dalam
menjalankan peran reproduksinya (Nurhayati, 2014).
Faktor Penyebab Masalah Terjadi :
Peran pria dalam program KB meliputi 3 faktor yaitu (Kusmindari, dkk,
2016) yaitu faktor predisposisi yang meliputi budaya KB pria dan pengembangan
metode sosialisasi, faktor pemungkin yang meliputi pelayanan KB yang
berkelanjutan serta peran pria tidak sekedar akseptor saja tetapi mendukung
pasangan dengan program KB dan faktor penguat meliputi keputusan berKB dan
pemenuhan individu dan dukungan tokoh masyarakat.
Dampak :
Masalah kesehatan reproduksi menjadi perhatian bersama bukan hanya
individu yang bersangkutan, karena dampaknya kuat manyangkut berbagai aspek
kehidupan dan menjadi parameter kemampuan negara dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Dengan demikian kesehatan alat
reproduksi sangat erat hubungannya dengan angka kematian ibu (AKI) dan angka
kematian anak (AKA) (Manuaba, 2009).
United Nations Population Fund mencatat bahwa
kesetaraan jender dan kesehatan reproduksi sangat diperlukan untuk mengurangi
kemiskinan. Menurut studi
tentang mununjukkan bahwa kesetaraan gender memiliki pengaruh yang berpotensi
penting terhadap penggunaan kontrasepsi di tingkat lokal dan kesetaraan gender
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan tingkat pendidikan (Betley, dkk, 2008).
Upaya Penanggulangan dari Pemerintah dan Peran Bidan :
Menurut penelitian Hardee pada tahun 2017 bahwa intervensi
yaitu berusaha memperbaiki sikap pria terhadap Keluarga Berencana, pengetahuan
mereka tentang meotde yang spesifik dan penggunaan metode kontrasepsi pada pria
secara khusus. Metode kontrasepsi pria meliputi kondom, vasektomi dan koitus
interuptus. Strategi program penggunaan kontrasepsi pada pria meliputi penyediaan
informasi dan pelayanan klinik untuk pria, penjangkauan dengan motivator pria
tentang penggunaan kontrasepsi, keterlibatan masyarakat, program konseling oleh
tenaga kesehatan dan pendidikan kesehatan tentang seksual komprehensif.
Kontrasepsi harus tersedia dan mudah diakses oleh
pasangan dan individu yang membutuhkannya . Tujuan program keluarga berencana
harus memungkinkan pasangan dan individu untuk memutuskan secara bebas dan
bertanggung jawab jumlah dan jarak anak-anak mereka dan memiliki informasi dan
sarana untuk melakukannya dan untuk memastikan pilihan yang tepat dan menyediakan
berbagai aman dan aman (Betley, dkk, 2008).
Manfaat keluarga berencana salah satunya
yaitu mencegah resiko kesehatan terkait kehamilan pada wanita yaitu kemampuan
seorang wanita untuk memilih apakah dan kapan harus memiliki dampak langsung
pada kesehatan dan kesejahteraannya. Program Keluarga Berencana memungkinkan
jarak kehamilan dan dapat menunda kehamilan pada peningkatan resiko masalah
kesehatan dan kematian. Dengan mengurangi tingkat kehamilan yang tidak
diinginkan, keluarga berencana juga menurangi kejadian akan aborsi yang tidak
aman. Dalam hal ini, bidan berperan sebagi tenaga kesehatan dalam menyediakan
pelayanan Keluarga Berencana (WHO, 2017).
Daftar Pustaka
Bentley,
Rebecca & Kavanagh, Anne Marie. 2008. Gender equity and women's contraception use. (Online)( http://go.galegroup.com/ps/retrieve.do?tabID=T002&resultListType=RESULT_LIST&searchResultsType=SingleTab&searchType=BasicSearchForm¤tPosition=1&docId=GALE%7CA178347943&docType=Article&sort=Relevance&contentSegment=&prodId=GPS&contentSet=GALE%7CA178347943&searchId=R1&userGroupName=kpt05051&inPS=true diakses 03 Oktober 2017)
Fitriani, Anis. 2016. Peran Perempuan dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi. Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik Vol. 29, No. 3, tahun 2016, hal. 121-13. (Online)( http://e-journal.unair.ac.id/index.php/MKP/article/view/2592/1899
diakses 03 Oktober 2017).
Hardee, Keren, dkk. 2017. Are Men Well Served By Family Planning
Programs?. (Online)( http://go.galegroup.com/ps/retrieve.do?tabID=T002&resultListType=RESULT_LIST&searchResultsType=SingleTab&searchType=BasicSearchForm¤tPosition=6&docId=GALE%7CA480605550&docType=Report&sort=Relevance&contentSegment=&prodId=GPS&contentSet=GALE%7CA480605550&searchId=R1&userGroupName=kpt05051&inPS=true diakses 03 Oktober 2017).
Kusmindari, Desi, dkk. 2016. Peran Pria dalam Program Keluarga Berencana
di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Vol 1, No 1. (Online)( http://jurnalkb.org/ojskb2481/index.php/kb/article/view/3/3
diakses 03 Oktober 2017).
Kusmiran, Eny. 2014. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika
Nurhayati, Eti. 2014. Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Manuaba, Ida A. C. 2009. Memahami Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC
WHO. 2017. Family
planning/Contraception. (Online)( http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs351/en/ diakses 03 Oktober 2017)
No comments:
Post a Comment