ANALISIS
JURNAL
Obstetric Emergencies
Shoulder Dystocia And Postpartum Hemorrhage
A. Distosia Bahu
1. Definisi
According to the American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
menyatakan distosia bahu adalah ketidakmampuan
melahirkan bahu setelah kepala dilahirkan pada persalinan normal.
Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika
tidak segera dilahirkan. Definisinya subyektif, suatu keadaan diperlukannya tambahan
manuver obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak
berhasil untuk melahirkan bayi. Definisi obyektif distosia bahu adalah jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari 60 detik.
2. Diagnosis
Distosia bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya:
a. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan
b. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang atau bahkan
tertarik kembali ( turtle sign)
c. Dagu tertarik dan menekan perineum
d. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di kranial
simfisis pubis
3. Faktor Risiko Distosia Bahu
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang
lebih lebar dari kepalanya, sehingga mempunyai risiko terjadi distosia bahu.
Risiko akan meningkat dengan bertambahnya perbedaan anatara ukuran badan
dan bahu dengan ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran tersebut
lebih besar dibanding bayi tanpa makrosomia, sehingga bayi makrosomia lebih berisiko.
Dengan demikian, kewaspadaan terhadap terjadinya distosia bahu diperlukan pada setiap
pertolongan persalinan dan semakin penting bila terdapat faktor- faktor yang
meningkatkan risiko makrosomia seperti diabetes, obesity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size or maternal weight gain. Selain itu faktor
risiko terjadinya distosia adalah riwayat distosia sebelumnya, diabetes
pregestational atau gestasional, multiparitas, induksi persalinan, kala I dan
kala II persalinan memanjang, dan persalinan pervaginam yang di tolong.
Terlepas dari beberapa faktor risiko yang diketahui ini, perlu dicatat
bahwa sebagian besar distosia bahu secara umum, tidak dapat diprediksi,
dan tidak dapat dipungkiri. Gross dan rekannya melaporkan sebuah model
matematis yang menunjukkan bahwa hanya 16% dari semua distosia bahu
dengan trauma neonatal bersamaan bisa diprediksi. Meskipun ini beberapa
faktor risiko yang di ketahui perlu dicatat bahwa sebagian distosia bahu jarang tak terduga.
4. Pencegahan
Belum ada cara untuk memastikan akan terjadinya distosia bahu
pada suatu persalinan. Meskipun sebagian besar distosia bahu dapat di
tolong tanpa morbiditas, tetapi apabila menjadi komplikasi dapat
menimbulkan kekecewaan dan berpotensi terjadi tuntutan terhadap penolong persalinannya.
Untuk itu perlu mengetahui faktor- faktor terjadinya distosia bahu dan mengkomunikasikan
akibat yang akan terjadi pada ibu serta keluarganya. Upaya pencegahan distosia bahu
dan cidera yang dapat ditimbulkannya dapat dilakukan dengan cara:
a. Menawarkan pada ibu dan keluarga untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan
vaginal berisiko tinggi seperti janin besar > 5 kg, janin besar > 4.5 kg dengan ibu diabetes,
janin besar > 4 kg dengan riwayat distosia bahu sebelumnya, kala II yang memanjang
dengan janin besar.
b. Identifikasi dan mengobati diabetes pada ibu
c. Selalu siap bila sewaktu- waktu terjadi
d. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan suprapubis
atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cidera pada janin.
e. Perhatikan waktu dan segera meminta tolong begitu distosia diketahui.
Bantuan diperlukan untuk membantu posisi McRobert, pertolongan persalinan,
resusitasi bayi, dan tindakan anestesi (bila perlu).
5. Penatalaksanaan
Langkah pertama menurut RCOG, adalah untuk minta bantuan
tambahan Tim pendukung mungkin termasuk perawat tambahan, bidan,
dokter kandungan, subspesial obat maternal-janin, tim resusitasi neonatal,
dan ahli anestesi. Ketika asisten tambahan tiba, mereka harus diberi tahu
dengan jelas bahwa ini adalah situasi distosia bahu.
a. Lakukan manuver McRobert. Dalam posisi ibu berbaring terlentang,
mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan mendekatkan
lututnya sejauh mungkin ke arah dadanya.
b. Mintalah bantuan asisten untuk melakukan tekanan secara simultan
kearah lateral bawah pada daerah suprasimpisis untuk membantu
persalinan bahu.
c. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan. Lakukan episiotomi untuk
memberi ruang yang cukup untuk memudahkan manuver internal.
d. Melakukan penekanan disisi posterior pada bahu posterior untuk
mengadduksikan bahu dan mengecilkan diameter bahu. Rotasikan
bahu kediameter roblik untuk membebaskan distosia bahu. Jika
diperlukan lakukan pula penekanan pada sisi posterior bahu anterior
dan rotasikan bahu ke diameter oblik
e. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan masukkan tangan kedalam
vagina, kemudian temukan humerus dari lengan posterior lalu sembari
menjaga lengan tetap fleksi pada siku, pindahkan lengan kearah dada.
Raih pergelangan tangan bayi dan tarik lurus kearah vagina. Manuver
ini memberi ruang pada bahu anterior agar dapat melewati bawah
simfisis pubis.
f. Jika semua tindakan diatas tidak dapat melahirkan bahu, terdapat
manuver- manuver laing yang dapat dilakukan, misalnya klediotomi,
simfisiotomi, metode sling atau manuver zavanelli. Namun manuver-
manuver ini hanya boleh dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan ahli.
Beberapa cara dalam mengatasi distosia bahu yaitu dengan
manajeman ALARMER dan 4P antara lain:
a. Ask for help / Meminta bantuan
Diperlukan penolong tambahan untuk melakukan manuver McRoberts
dan penekanan suprapubik. Menyiapkan penolong untuk resusitasi
neonatus.
b. Lift hyperflexed (McRoberts maneuvre)
Disiapkan masing-masing satu penolong di setiap sisi kaki ibu untuk
membantu hyperfleksi kaki dan sekaligus mengabduksi panggul
Memposisikan sakrum ibu lurus terhadap lumbal.
c. Anterior shoulder disimpaction (suprapubic pressure)
Bahu bayi yang terjepit didorong menjauh dari midline ibu, ditekan
pada atas simfisis pubis ibu (Massanti maneuver). Tekanan suprapubik
ini dilakukan untuk mendorong bahu posterior bayi agar dapat dikeluarkan dari jalan lahir dengan mendorong bahu depan kearah dada dan menghasilkan diameter terkecil (Rubin maneuver)
d. Rotation of the posterior shoulder (Wood’s screw maneuver)
Digunakan 2 jari untuk menekan sisi anterior bahu dan memutarnya
hingga 1800 atau oblique, dapat diulang jika diperlukan.
e. Manual removal of the posterior arm (Schwartz maneuver)
Ditentukan siku lengan posterior bayi, difleksikan dengan tekanan
pada fossa antecubital sehingga tangan bayi dapat dipegang. Tangan
tersebut kemudian ditarik hingga melewati dada bayi sehingga keseluruhan lengan dapat dilahirkan.
f. Episiotomy
Prosedur ini secara tidak langsung membantu penanganan distosia
bahu,dengan memungkinkan penolong untuk meletakkan tangan
penolong ke dalam vagina untuk melakukan manuver lainnya.
g. Roll over onto all fours
Langkah ini memungkinkan posisi bayi bisa bergeser dan terjadi
disimpaksi bahu anterior. Hal ini juga memungkinkan akses yang lebih mudah untuk
memutar bahu posterior atau bahkan melahirkannya langsung.
Jika manuver tersebut tidak ada yang berhasil, bisa disarankan untuk
mematahkan klavikula bayi, simpisiotomi, manuver Zavanelli. Bila distosia bahu
telah berhasil ditangani, maka dilakukan: penilaian bayi untuk mengetahui adanya
trauma, analisa gas darah tali pusat, penilaian ibu untuk tears pada saluran genital,
manajemen aktif kala III untuk mencegah perdarahan postpartum, mencatat manuver
yang telah dilakukan, dan menjelaskan semua langkah yang telah dilakukan kepada ibu
dan keluarg yang mungkin ada pada saat dilakukan penanganan.
Dalam pertolongan persalinan dengan distosia bahu ada 4 P yang perlu di hindari:
a. Panic
b. Pulling (menarik kepala)
c. Pushing (mendorong pada fundus)
d. Pivoting (memutar kepala secara tajam dengan koksigis sebagai tumpuan)
6. Komplikasi
Komplikasi distosia bahu pada janin adalah fraktur tulang (klavikula
dan humerus), cidera pleksus brakhialis, dan hipoksia yang menyebabkan kerusakan
permanen di otak. Dislokasi tulang servikalis yang fatal juga
dapat terjadi akibat melakukan tarikan dan putaran pada kepala dan leher.
Fraktur tulang pada umumnya dapat sembuh sempurna tanpa sekuele,
apabila didiagnosis dan dan diterapi dengan memadai. Cedera pleksus
brakhialis dapat membaik dengan berjalannya waktu. Pada ibu komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan akibat laserasi jalan lahir, episiotomi,
ataupun atonia uteri.
B. Perdarahan Pascapersalinan
1. Definisi
Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang masif yang
berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir,
dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian
ibu. Perdarahan pascapersalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama
setelah persalinan, sementara perdarahan pascapersalinan sekunder adalah
perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga
12 minggu setelah persalinan. Diagnosis dari perdarahan pascapersalinan
apabila perdarahan ≥ 500 ml setelah bayi lahir atau berpotensi mempengaruhi
hemodinamik ibu.
2. Faktor Predisposisi
a. Kelainan implantasi dan pembekuan plasenta: plasenta previa, solutio
plasenta, plasenta akreta/inkreta/perkreta, kehamilan ektopik, mola hidatidosa.
b. Trauma pada saat kehamilan dan persalinan: episiotomi, persalinan
pervaginam dengan isntrumen forsep, bekas seksio sesar atau histerektomi.
c. Volume darah ibu yang kurang terutama pada ibu dengan berat badan
kurang, preeklamsia/eklamsia, sepsis atau gagal ginjal,
d. Gangguan koagulasi
e. Pada atonia uteri, penyebabnya antara lain uterus overdistensi (makrosomia,
kehamilan kembar, hidramnion, atau bekuan darah), induksi persalinan, persalinan lama,
persalinan terlalu cepat, dan riwayat atonia uteri sebelumnya.
3. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan perdarahan dilakukan sesuai dengan penyebab perdarahan,
namun untuk penatalaksanaan awal antara lain:
a. Meminta tolong tim untuk melakukan tatalaksana secara simultan
b. Nilai sirkulasi, jalan nafas, dan pernafasan pasien
c. Bila terjadi syok lakukan penanganan syok
d. Memberikan oksigen
e. Memasang infus dengan carian kristaloid
f. Jika fasilitas tersedia, lakukan pengambilan sampel darah
g. Lakukan observasi (Tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan ibu, kontraksi uterus, nyeri
tekan, tinggi fundus uteri, cek jumlah perdarahan, dan pengeluaran urin)
C. Rekomendasi
Distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan merupakan dua yang paling umum
keadaan darurat yang dihadapi dalam praktik klinis kebidanan, keduanya membutuhkan
penatalaksanaan segera dan manajemen untuk menghindari morbiditas dan mortalitas
yang signifikan. Meskipun pasti risiko distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan
ada, banyak kasus terjadi pada tidak adanya faktor-faktor ini identifikasi dini,
komunikasi, dan ketepatan dengan pilihan pengelolaan untuk kedua kondisi tersebut
dapat secara signifikan meminimalkan morbiditas terkait dengan komplikasi ini.
Dalam artikel review tentang definisi dan kejadian distosia bahu di antara 28 publikasi
dengan lebih dari 16 juta kelahiran total, presentasi distosia bahu adalah 0,4%.
Sejak tahun 2000, dari semua kelahiran, tingkat distosia bahu mendekati 1.4% jika
publikasi bergantung pada International Classification of Diseases (ICD).
Perdarahan pascapersalinan terjadi pada sekitar 4% sampai 6% dari semua kehamilan.
Royal College of Obstetricians and Gynecologists (RCOG) memperkirakan 3 dari
1000 mengalami pendarahan parah, yang didefinisikan sebagai penerimaan transfusi
darah, histerektomi atau perbaikan bedah rahim. Pendarahan pascapersalinan, sejauh
ini penyebab paling umum adalah atonia uteri atau ketidakmampuan uterus
berkontraksi secara efektif, yang menyumbang lebih dari 80% kasus.
Penyebab umum lainnya termasuk jaringan plasenta yang tertahan, trauma
vagina atau serviks, dan diketahui atau berkembangnya koagulopati.
Dalam kasus distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan, bidan harus
mampu meningkatkan kemampuan dalam skreening kehamilan untuk mengetahui
lebih awal kemungkinan terjadinya distosia bahu yang nantinya akan menjadi faktor
predisposisi terjadinya perdarahan pascapersalinan. Dengan pemeriksaan rutin di
bidan dan melakukan pemeriksaan USG dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi,
terutama pada wanita yang memilki kehamilan dengan riwayat distosia bahu
sebelumnya atau penyulit lainnya, untuk mengurangi insidens perdarahan
pascapersalinan pendekatan yang berbeda dapat diterapkan, bergantung pada
lingkungan dan ketersediaan dari pendamping persalinan yang terlatih dan persediaan
yang ada. Manajemen aktif dari kala tiga persalinan (AMTSL) dengan seluruh
pendamping persalinan terlatih. Komponen yang biasa terdapat pada AMTSL
termasuk pemasukan oxytosin atau obat uterotonik lainnya dalam 1 menit setelah
persalinan, traksi tali pusat terkendali, pemijatan uterus setelah pengeluaran plasenta.
AMTSL merupakan salah satu cara yang efektif dan sederhana serta masih diterapkan
sampai sekarang untuk pencegahan perdarahan pascapersalinan. Semakin tingginya
angka kematian ibu dengan salah satu penyebabnya adalah perdarahan, diharapkan
tenaga kesehatan mampu mengembangankan lagi ilmu- ilmu kesehatan.
Sumber:
Dahlke, Joshua D. Bhalwal,
Asha. Chauhan, Suneet P. 2017. Obstetric
Emergencies Shoulder Dystocia And Postpartum Hemorrhage.Obstetrics and Gynecology Clinics of North America, Volume 44,
Issue 2, June 2017, Pages 231-243[diakses tanggal
15 Oktober 2017 pukul 20.45 WIB dalam Elsevier]
Medical Mini Notes Production. 2014. Obstetric Make
It Easy with Medical Mini Notes Jakarta: Medical Mini Notes Production
Prawirohadjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohadjo
No comments:
Post a Comment