A.
Kasus Mengenai Perubahan Psikologi Perempuan Masa
Nifas
Pengalaman menjadi
orang tua khususnya seorang ibu kadang kala tidak selalu menjadi hal yang menyenangkan
bagi setiap wanita atau pasangan suami istri. Tanggung jawab yang diemban
sebagai seorang ibu setelah melahirkan bayi kadang kala menjadi konflik dalam
diri seorang wanita yang merupakan faktor pemicu timbulnya gangguan emosi,
intelektual dan tingkah laku pada seorang wanita. Sebagian wanita ada yang
tidak berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan ini sehingga mengalami gangguan
psikologis (Dewi dan Sunarsih, 2013).
Depresi postpartum
sering terjadi pada masa adaptasi psikologis ibu masa nifas, walaupun
insidensinya sulit untuk diketahui secara pasti namun diyakini 10-15% ibu
melahirkan mengalami gangguan ini. Faktor pada saat persalinan meliputi lamanya
persalinan, jenis persalinan, serta intervensi medis yang digunakan
mempengaruhi depresi postpartum, anak yang memiliki ibu depresi postpartum akan
memiliki gangguan perilaku, rendah fungsi berfikir, mempengaruhi kognitif dan
pertumbuhan anak (Ririn dkk, 2016).
Kejadian risiko depresi
postpartum pada ibu nifas di RSUD sleman adalah 36,3%, Jenis persalinan
berpengaruh secara signifikan terhadap risiko depresi postpartum dengan nilai (OR=3,716,
95%CI 1,620-8,522), Pekerjaan berpengaruh secara signifikan terhadap risiko
depresi postpartum dengan nilai (OR=2,411, 95%CI 1,084-5,366), umur, paritas,
pendidikan, status ekonomi, dukungan keluarga dan status pernikahan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap risiko depresi postpartum (Ririn dkk,
2016).
B.
Tujuan
Untuk mengetahui tentang perubahan psikologi
perempuan pada masa nifas.
PEMBAHASAN
A.
Perubahan Psikologi Perempuan Masa Nifas
Post
Partum merupakan periode
waktu atau masa dimana organ-organ
reproduksi kembali kepada keadaan tidak hamil membutuhkan waktu sekitar
6 minggu. Post Partum dibagi menjadi 3 periode yaitu : Puerpureum dini, intermedial Puerpureum dan remote puerpureum. Pada ibu Post Partum
mengalami perubahan-perubahan baik secara fisiologis maupun psikologis (Elizabeth dan Endang, 2015).
reproduksi kembali kepada keadaan tidak hamil membutuhkan waktu sekitar
6 minggu. Post Partum dibagi menjadi 3 periode yaitu : Puerpureum dini, intermedial Puerpureum dan remote puerpureum. Pada ibu Post Partum
mengalami perubahan-perubahan baik secara fisiologis maupun psikologis (Elizabeth dan Endang, 2015).
Perubahan psikologis
yang terjadi pada ibu masa nifas terjadi karena beberapa hal yaitu pengalaman selama
melahirkan, tanggung jawab peran sebagai ibu, adanya anggota keluarga baru
(bayi) serta peran baru sebagai seorang ibu (Maryunani, 2009).
Depresi postpartum
sering terjadi pada masa adaptasi psikologis ibu masa nifas, walaupun
insidensinya sulit untuk diketahui secara pasti namun diyakini 10-15% ibu
melahirkan mengalami gangguan ini. Faktor resiko terjadinya depresi postpartum antara
lain kurangnya dukungan suami dan keluarga, komplikasi kehamilan, persalinan
dan kondisi bayi, faktor lingkungan, budaya, riwayat gangguan jiwa sebelumnya
serta gangguan keseimbangan hormonal (Saleha, 2009).
Periode Post
Partum menurut Rubin, dibagi menjadi tiga fase penyesuaian ibu terhadap
perannya sebagai orang tua, yang mana fase-fase penyesuaian tersebut Taking
In Phase, Taking Hold Phase dan Letting Go Phase. Taking in Phase dimana
perilaku ibu cenderung mengharapkan keinginannya terpenuhi oleh orang lain,
perhatian ibu terpusat pada diri sendiri, pemenuhan kebutuhan diutamakan untuk istirahat
dan makan,
mengenang pengalaman melahirkan, berperilaku pasif dan bergantung pada orang lain. Diantara ketiga fase tersebut salah satu fase yang timbul dominan terjadi gangguan Post Partum Blues pada Taking In Phase yaitu hari pertama sampai hari kedua Post Partum karena pada fase ini akumulasi harapan yang tidak terpenuhi saat ibu dituntut untuk memenuhi kebutuhan bayinya, perhatian ibu lebih tertuju pada diri sendiri, tergantung pada perhatian dan bantuan orang lain. Hal yang utama hanya memperhatikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan dirinya bukan pada bayinya. Perilaku ibu mungkin bergantung dan pasif dan ibu siap menerima bantuan dari orang lain, dalam memenuhi kebutuha fisiologis dan psikologisnya. Pada fase ini cenderung menimbulkan depresi ringan, namun bila depresi ini berkelanjutan,maka akan menimbulkan gangguan jiwa yang mengarah pada patologis (Anggraini, 2010).
mengenang pengalaman melahirkan, berperilaku pasif dan bergantung pada orang lain. Diantara ketiga fase tersebut salah satu fase yang timbul dominan terjadi gangguan Post Partum Blues pada Taking In Phase yaitu hari pertama sampai hari kedua Post Partum karena pada fase ini akumulasi harapan yang tidak terpenuhi saat ibu dituntut untuk memenuhi kebutuhan bayinya, perhatian ibu lebih tertuju pada diri sendiri, tergantung pada perhatian dan bantuan orang lain. Hal yang utama hanya memperhatikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan dirinya bukan pada bayinya. Perilaku ibu mungkin bergantung dan pasif dan ibu siap menerima bantuan dari orang lain, dalam memenuhi kebutuha fisiologis dan psikologisnya. Pada fase ini cenderung menimbulkan depresi ringan, namun bila depresi ini berkelanjutan,maka akan menimbulkan gangguan jiwa yang mengarah pada patologis (Anggraini, 2010).
Depresi
postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai
gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan
depresi spesifik yang terjadi pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah
melahirkan. Pasien mengalami gejala efffektive selama periode postpartum, 4
sampai 6 minggu melahirkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, edisi keempat (DSM-IV), sebuah depresi dipertimbangkan sebagai
postpartum jika dimulai selama empat minggu setelah kelahiran. Pola gejala pada
wanita dengan depresi postpartm sama pada wanita yang mengalami masa depresi
selama tidak hamil. Susah berinteraksi dengan perawat dalam keadaan stress dan
bayi meningkatkan risiko pendekatan yang tidak aman dan terjadinya masalah
kognitiv dan sifat pada anak (Sisilia, 2017).
Gejala depresi postpartum terbagi dalam beberapa gejala, antara lain:
Mudah panik,
kurang mampu merawat diri sendiri, enggan melakukan aktifitas yang menyenangkan, motivasi
menurun, enggan
bersosialisasi. tidak peduli terhadap keadaan bayi atau menjadi
terlalu peduli terhadap perkembangan bayi, sulit mengendalikan perasaan, sulit mengambil keputusan. Sedangkan gejala emosional : mudah
tersinggung, perasaan
sedih, hilang harapan, merasa tidak berdaya, mood yang berubah-ubah (moodswings), perasaan tidak
layak sebagai
ibu, hilang minat, pemikiran bunuh diri, ingin menyakiti orang lain termasuk bayi, diri sendiri,
dan suami, perasaan
bersalah (Sisilia, 2017).
Berdasarkan penelitian
Sacher et al (2014) bahwa monoamine oxidase-A
(MAO-A) V T, indeks MAO-A kepadatan, meningkat di korteks cingulate
prefrontal dan anterior (PFC dan ACC), selama PPD atau ketika gejala spektrum
PPD, predisposisi yang lebih besar untuk menangis, hadir. MAO-A adalah
enzim yang meningkatkan kepadatan setelah penurunan estrogen, dan memiliki
beberapa fungsi termasuk menciptakan stres oksidatif, mempengaruhi apoptosis
dan metabolisme monoamine digunakan sebagai penanganan depresi postpartum
secara farmakologi.
B.
Upaya Promotif
Depresi setelah melahirkan yang
dialami seorang ibu
merupakan hal yang bersifat individual, maka penatalaksanaannya
meliputi pemberian dukungan dan penyuluhan mengenai perasaan yang
dirasakan. Jika terdapat gejala, perlu
dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi adanya penyakit lain Konsep solusi alternatif yang ditawarkan bagian KIA untuk menambahkan penyuluhan mengenai pencegahan dan penanganan depresi setelah melahirkan pada kelas antenatal ibu hamil (Sisilia, 2017).
dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi adanya penyakit lain Konsep solusi alternatif yang ditawarkan bagian KIA untuk menambahkan penyuluhan mengenai pencegahan dan penanganan depresi setelah melahirkan pada kelas antenatal ibu hamil (Sisilia, 2017).
C.
Upaya Preventif
Melakukan skrining
secara rutin pada ibu nifas dirasakan efektif, sederhana dan mudah digunakan untuk
mengidentifikasi wanita yang berisiko terhadap depresi postpartum, skrining ini
bisa dilakukan pada saat kunjungan nifas di tenaga kesehatan setempat. Edinburgh
Postnatal Depression Scale (EPDS) ialah salah satu metode untuk mendeteksi
risiko depresi postpartum pada ibu nifas. Walaupun tidak umum, EPDS dapat dengan
mudah digunakan selama 6 minggu pascapersalinan. EPDS dikembangkan pada tahun
1987 untuk membantu menentukan apakah seorang ibu mungkin menderita depresi
postpartum (Ririn dkk, 2016).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Depresi
postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai
gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan.
B.
Saran
Konsep
solusi alternatif yang ditawarkan bagian
KIA untuk menambahkan
penyuluhan mengenai pencegahan
dan penanganan depresi setelah
melahirkan pada kelas antenatal ibu
hamil dan melakukan skrining.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Y. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta: Pustaka Rihama
Dewi, V.N.L., dan Sunarsih, T. 2013. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas.
Jakarta: Salemba Medika
Elizabeh, S.W., dan Endang, P. 2015. Asuhan Kebidanan Masa Nifas dan Menyusui. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press
Maryunani, A. 2009. Asuhan Pada Ibu dalam Masa Nifas (Pospartum). Jakarta: Trans Info
Media
Ririn, Ariyanti., Detti, S.N., dan
Dhesi, A.A. 2016. Pengaruh Jenis Persalinan Terhadap Risiko Depresi Postpartum. Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu 7(2)
Sacher, Julia., Rekkas, P.V., Alan,
A.W., Sylvain, H., Leslie, R., Jinous, H., Pablo, R., Ian, F., Donna, E.S., dan
Jeffrey, H.M. 2014. Relation of Monoamine Oxidase-A Distribution Volume to
Postpartum Depresson and Postpartum Crying. Neuropsychopharmacology
40; 429-435
Saleha, S. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika
Sisilia, I.W. 2017. Tingkat Depresi pada
Ibu Postpartum di Puskesmas Morokrembangan Surabaya. Dunia Keperawatan 5(1); 43-49
No comments:
Post a Comment