A.
Definisi Interprofesional Education
IPE merupakan
metode pembelajaran antar profesi kesehatan
yang berbeda dan terjadi ketika dua atau lebih
disiplin ilmu dalam proses belajar bersama untuk meningkatkan kolaborasi serta memahami peran masing-masing. Interprofesional
education (IPE) merupakan
pendidikan antarprofesi yang terjadi ketika dua atau lebih profesional
kesehatan belajar dengan, dari dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan
kolaborasi dan kualitas perawatan. Menurut definisi, IPE didasarkan pada teori
pendidikan, termasuk teori pembelajaran orang dewasa, pembelajaran berbasis
kasus, pembelajaran pengalaman, pembelajaran kelompok kecil, dan pembelajaran
kooperatif (Anwar, 2019).
Standar kompetensi profesi bidan
dalam KEPMENKES RI Nomor HK.01.07/MENKES/320/2020 tentang standar profesi bidan menjelaskan
bahwa bidan harus mampu menjalin kerjasama dengan tim kesehatan dalam
meningkatkan derajat kesehatan perempuan dan masyarakat yang bertujuan untuk
menganalisis penerapan pendidikan interprofesi dalam kurikulum pendidikan profesi
bidan. Sehingga penting untuk mengkaji kembali penerapan interprofesional
education dalam pendidikan profesi Bidan di Indonesia.
IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar
bersama, saling belajar, dan bekerja sama dalam mempelajari peran masing-masing
profesi kesehatan untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan
kesehatan (Randita et al, 2019).
B.
Tujuan Interprofesional Education
Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk lebih
mengenal peran profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan
mampu untuk berkolaborasi dengan baik saat proses perawatan pasien. Proses
perawatan pasien secara interprofessional akan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan pelaksanaan IPE antara lain:
1.
Meningkatkan
pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama;
2.
Membina
kerjasama yang kompeten;
3.
Membuat
penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien;
4.
Meningkatkan
kualitas perawatan pasien yang komprehensif.
WHO (2010) juga menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan hasil perawatan pasien. Gambar berikut menunjukkan bahwa IPE merupakan langkah yang sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang efektif antar tenaga kesehatan profesional sehingga dapat meningkatkan hasil perawatan pasien (Emilia, dkk, 2014).
IPE memegang peranan penting yaitu sebagai jembatan agar di suatu negara collaborative practice dapat dilaksanakan. IPE berdampak pada peningkatan pemahaman tentang peran, tanggung jawab, dan untuk mengarahkan siswa agar dapat berpikir kritis dan menumbuhkan sikap profesional (Emilia, dkk, 2014).
Kompetensi IPE terdiri atas empat bagian yaitu (Shakhman et al, 2020):
No |
Kompetensi IPE |
Komponen Kompetensi IPE |
1 |
Kompetensi pengetahuan |
Strategi koordinasi Model berbagi tugas/pengkajian situasi Kebiasaan karakter bekerja dalam tim Pengetahuan terhadap tujuan tim Tanggung
jawab tugas spesifik |
2 |
Kompetensi keterampilan |
Pemantauan kinerja secara
bersama-sama Fleksibilitas/penyesuaian Dukungan/prilaku saling mendukung Kepemimpinan tim Pemecahan konflik Umpan balik Komunikasi/pertukaran
informasi |
3 |
Kompetensi sikap |
Orientasi tim (moral) Kemajuan bersama Berbagi
pandangan/tujuan |
4 |
Kompetensi kemampuan tim |
Kepaduan tim Saling percaya Orientasi bersama Kepentingan
bekerja tim |
C.
Model Pembelajaran Interprofesional
Education
1. Kuliah
klasikal
IPE dapat diterapkan pada mahasiswa menggunakan metode
pembelajaran berupa kuliah klasikal. Setting perkuliahan melibatkan beberapa
pengajar dari berbagai disiplin ilmu (team teaching) dan melibatkan mahasiswa
dari berbagai profesi kesehatan. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
terintegrasi dari berbagai profesi kesehatan. Kuliah dapat berupa sharing
keilmuan terhadap suatu masalah atau materi yang sedang dibahas.
2. Kuliah
Tutorial (PBL)
Setting kuliah tutorial dapat dilakukan dengan diskusi kelompok
kecil yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan.
Mereka membahas suatu masalah suatu masalah dan mencoba mengindentifikasi dan
mencari penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Modul yang digunakan adalah
modul terintegrasi. Dosen berupa team teaching dari berbagai profesi dan
bertugas sebagai fasilitator dalam diskusi tersebut.
3.
Kuliah
Laboratorium
Kuliah
laboratorium dilaksanakan pada tatanan laboratorium. Modul yang digunakan
adalah modul terintegrasi yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai
profesi kesehatan.
4.
Kuliah
Skills Laboratorium
Skills
Laboratorium merupakan metode yang baik bagi IPE karena dapat mensimulasikan
bagaimana penerapan IPE secara lebih nyata. Dalam pembelajaran skills
laboratorium, mahasiswa dapat mempraktekkan cara berkolaborasi dengan mahasiswa
dari berbagai profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien.
5.
Kuliah
Profesi/Klinis-Lapangan
Pendidikan
profesi merupakan pendidikan yang dilakukan di rumah sakit dan di komunitas.
Pada pendidikan profesi mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata di lapangan
untuk memberikan pelayanan kepada pasien nyata. Melalui pendidikan profesi,
mahasiswa dapat dilatih untuk berkolaborasi dengan mahasiswa profesi lain dalam
kurikulum IPE (Emilia, dkk, 2014).
D.
Strategi Pembelajaran Interprofesional Education
Menurut Barr (2017) terdapat
beberapa strategi pembelajaran interprofesional education yang
juga dikenal dengan istilah interprofessional learning (IPL) yaitu sebagai
berikut:
1. Merencanakan
bersama
IPL paling baik direncanakan bersama di setiap tingkat yang
melibatkan pendidik dari semua profesi terkait dengan perwakilan dari lembaga
praktik dan pemberi kerja, asosiasi profesional, serikat pekerja, pelajar,
pengguna layanan, pengasuh, dan pemangku kepentingan lainnya. Beberapa akan
memiliki pengalaman interprofesional untuk dihubungi. Orang lain mungkin
berharap untuk belajar dari mereka yang telah menempuh jalan interprofesional.
Banyak yang dapat dipelajari dengan membandingkan dan membedakan intervensi dan
strategi IPL, tetapi tidak ada dua situasi yang sama. Satu ukuran tidak cocok untuk
semua. Setiap kelompok harus menyusun strateginya sendiri dengan memberikan
waktu dan kesempatan untuk menyesuaikan harapan yang berbeda.
2.
Merancang
strategi
Menyepakati
kapan, di mana, dan bagaimana memperkenalkan IPL di antara dua atau lebih
kursus profesional adalah proses yang kompleks. Kursus berbeda dalam panjang,
struktur dan jadwal. Pendidik berbeda dalam latar belakang praktik, orientasi
teoretis, dan metode pembelajaran pilihan mereka. Memperkenalkan intervensi IPL
ad hoc mungkin tampak sebagai cara yang realistis untuk memulai, tetapi dapat
menyulitkan di kemudian hari untuk menggabungkannya menjadi rangkaian yang
koheren dan progresif. Merumuskan dan menyetujui strategi IPL di awal menghemat
waktu dalam jangka panjang.
3.
Mendasari
teori
IPL direncanakan
dengan lebih koheren, disampaikan secara konsisten, dievaluasi secara ketat,
dan dilaporkan secara efektif jika secara eksplisit didukung oleh teori.
Pendidik perlu mendamaikan dan menyelaraskan perspektif teoritis dari
pendidikan dan praktik dari profesi masing-masing. Perspektif psikodinamik
menginformasikan beberapa inisiatif IPL awal, memberi jalan kepada perspektif
psiko-sosial dan, baru-baru ini, perspektif sosiologis (Barr, Koppel, Reeves et
al., 2005). Tanggung jawab terletak pada perencana untuk membangun perspektif
mereka sendiri, mensintesis perspektif antropologis, pendidikan, organisasi,
psikologis dan / atau sosiologis menjadi alasan yang koheren dan teoritis yang
mendukung program IPE.
4.
Merumuskan
hasil
Tolok ukur
komposit, seperti yang disepakati antara asosiasi Inggris untuk profesi
kesehatan, menetapkan standar keseluruhan sebelum merumuskan hasil berbasis
kompetensi. Kerangka kerja yang paling otoritatif berasal dari Kanada
(Kolaborasi Kesehatan Interprofessional Kanada, 2010) dan Amerika Serikat
(Panel Pakar Kolaborasi Pendidikan Antar Profesional, 2011). Keduanya mengacu
pada kerangka kerja Inggris (Combined Universities Interprofessional Learning
Unit, 2010) di mana pendidik merumuskan kemampuan daripada kompetensi untuk
menyampaikan proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kurikulum yang
dipimpin hasil mendorong pendidik dan siswa untuk mengembangkan pengajaran dan
pembelajaran secara responsif dan fleksibel.
5.
Mengadaptasi
metode belajar mengajar
Berbagai metode
pembelajaran, dari mana pendidik memilih, telah diadopsi dan diadaptasi dari
profesional untuk pendidikan interprofesional. Ini termasuk: pembelajaran
berbasis kasus; pembelajaran berbasis masalah; penyelidikan kolaboratif;
pertanyaan apresiatif; pembelajaran berbasis observasi; pembelajaran
berdasarkan pengalaman; pembelajaran reflektif; pembelajaran simulasi;
peningkatan kualitas berkelanjutan; dan lainnya.
6.
Memperkuat
pembelajaran praktik interprofesional
Pembelajaran
praktik antarprofesional (IPPL) lebih kuat ketika universitas dan lembaga
praktik mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan untuk memastikan, di
satu sisi, bahwa pengalaman penempatan IPE tersedia dalam jumlah yang
diperlukan untuk standar yang disyaratkan dan, di sisi lain, bahwa pengajar
praktik dipersiapkan, didukung, dan dihargai. Mengajar dan belajar di kelas dan
penempatan kemudian bisa menjadi dua sisi dari mata uang yang sama.
E.
Penerapan IPE dalam kurikulum pendidikan
kesehatan
IPE yang juga dikenal dengan istilah interprofessional learning, merupakan suatu konsep Pendidikan yang
direkomendasikan oleh World Health
Organisation (WHO) sebagai Pendidikan terintegrasi untuk membangun kolaborasi antara tenaga
kesehatan. Implementasi IPE dalam
kurikulum Pendidikan kesehatan memiliki tiga fokus.
Pertama, peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mahasiswa dalam praktik kolaborasi antar
profesi kesehatan. Kedua, berfokus pada
pembelajaran tentang bagaimana menciptakan kolaborasi yang efektif dalam sebuah tim. Ketiga, menciptakan
kerjasama yang efektif untuk meningkatkan
kualitas pelayanan terhadap pasien.
Berdasarkan penelitian Lapkin, et al. (2013), penerapan IPE harus dimulai pada tahap awal akademik
mahasiswa, sebelum mereka menjadi seorang
professional kesehatan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Thibault (2013), bahwa IPE harus
dilaksanakan baik pada tahap akademik maupun
praktik klinik dengan tujuan menghubungkan antara teori yang didapatkan mahasiswa selama pembelajaran
di kampus dan praktik yang dijalani
di lapangan, ini terbukti memberikan banyak manfaat bagi mahasiswa (Sulistyowato, 2019).
Persiapan untuk pelaksanaan IPE adalah diawali dengan komitmen
antarinstitusi pendidikan profesi kesehatan. Selain itu tersedianya sumber daya
fasilitator yang kompeten dan paham IPE, fasilitas fisik, bagian khusus untuk
mengkoordinir program IPE, standar pelaksanaan program IPE, modul pembelajaran
dan standar evaluasi program. Hal ini diperkuat dengan adanya kekuatan regulasi
dan kekuatan hukum (Juaeriah dkk, 2017).
Pelaksanaan IPE dapat dilakukan melalui berbagai strategi yang
didasarkan pada sifat mata pelajaran, kesiapan siswa, dan kompetensi
guru. Berbagai kursus dapat mengintegrasikan IPE sebagai bagian dari
strategi pembelajaran dan pengajaran mereka. Ini termasuk, tetapi tidak
terbatas pada, bioetika, pengenalan atau dasar dari praktik profesional
perawatan kesehatan, kepemimpinan dan manajemen, penelitian, peningkatan
kualitas, mata pelajaran komunikasi, kursus berpikir kritis, manajemen kasus,
dan musyawarah (Shakhman et al, 2020).
IPE dapat disampaikan melalui debat tentang masalah kesehatan
tertentu. Misalnya, simulasi manajemen darurat komprehensif pasien
diabetes mellitus, putaran besar tentang menangani kasus di mana kompetensi
pasien interprofessional diperlukan, sesi refleksi, studi kasus, penelitian,
kerja komunitas, pembelajaran layanan, atau bahkan melalui kelas sederhana atau
diskusi online di mana keahlian interprofesional diperlukan untuk memfasilitasi
diskusi komprehensif tentang konsep tertentu. Misalnya, di Universitas Arab
Beirut, kursus IPE ditawarkan kepada siswa senior dari semua fakultas
kedokteran (kecuali siswa dari College of Medicine) pada semester musim semi
tahun kelulusan mereka. Kursus ini ditawarkan dalam empat fase: lokakarya
dasar, klarifikasi peran, perencanaan perawatan pasien, dan
proyek. Pertama, siswa bekerja secara individu, kemudian sebagai tim
profesional khusus disiplin, dan terakhir sebagai tim interprofesional untuk
menyelesaikan tugas. Dampaknya dinilai mengenai kesadaran pelajar tentang
peran profesi lain, perencanaan perawatan pasien, dan kesiapan untuk praktik
kolaboratif interprofesional. Para siswa mencapai nilai yang lebih tinggi
dalam tim interprofesional daripada sebagai siswa individu dan tim
intraprofesional. Secara klinis, siswa dapat belajar melalui IPE dengan
memaparkan mereka pada berbagai kasus yang dapat dinilai, didiagnosis, dirawat,
dan dievaluasi secara interprofesional. Diskusi sketsa kasus melalui
konferensi kasus dapat dimanfaatkan untuk memanfaatkan diskusi dan refleksi
antarprofesional. Masalah manajemen mutu di rumah sakit juga dapat
didiskusikan dan dikritik sebagai sebuah tim. Pelaksanaan penelitian
melalui kepenulisan kolaboratif juga merupakan strategi yang layak untuk
mahasiswa kesehatan. Klub jurnal dan diskusi tentang praktik berbasis
bukti juga merupakan kesempatan belajar yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kolaborasi di antara anggota tim perawatan kesehatan. Tim kesehatan sekutu
juga dapat mengembangkan program untuk menangani masalah kesehatan tertentu (Shakhman et al, 2020).
IPE memberikan para pelajar pelatihan yang mereka butuhkan untuk
menjadi bagian dari tenaga kesehatan kolaboratif yang siap praktik. Namun,
itu tidak dimulai dan berakhir di kelas atau sampai kelulusan. Mekanisme
tambahan harus tersedia untuk membantu lulusan membagikan praktik mereka
setelah mereka menjadi praktisi yang memenuhi syarat. Oleh karena itu,
perencana sistem kesehatan dan pendidik kesehatan harus terlibat dalam diskusi
tentang bagaimana mereka dapat membantu transisi pelajar dari pendidikan ke
tempat kerja. Program pembelajaran dalam layanan dan pendidikan
berkelanjutan harus dikembangkan dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan
dinamika dan kompleksitas menjadi anggota tim perawatan kesehatan (Shakhman et al, 2020).
Sumber :
Anwar, Haerul dan Elsye Maria Rosa, 2019, Meningkatkan Komunikasi dan Kolaborasi
dengan Interprofessional Education (IPE): literature Review, Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah Edisi Khusus 2019.
Barr, Hugh, et
al, 2017, Interprofessional Education
Guidelines, Centre for the Advancement of Interprofessional Education
(CAIPE), ISBN 978-0-9571382-6-1.
Emilia, dkk, 2014, Buku
Acuan Umum CFHC-IPE, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Juaeriah,
Ryka., Dewi, S.P., & Prwara, B.H. 2017. Metode Pembelajaran
Interprofessional Education Bagi Mahasiswa Tenaga Kesehatan. Jurnal Kesehatan Budi Luhur p-ISSN
1978-8479 e-ISSN 2581-0111
Menkes
RI. 2020. Kepmenkes RI Nomor
HK.01.07/MENKES/320/2020 tentang Standar Profesi Bidan. Jakarta diakses
melalui https://www.ibi.or.id/download/?id=D20200724001&lang=id
Randita, A., Widyandana, W.,
& Claramita, M. (2019). IPE-COM: a
pilot study on interprofessional learning design for medical and midwifery
students. Journal of multidisciplinary healthcare, 12, 767–775. https://doi.org/10.2147/JMDH.S202522
Shakhman,
L. M., Al Omari, O., Arulappan, J., & Wynaden, D. (2020). Interprofessional Education and
Collaboration: Strategies for Implementation. Oman medical journal, 35(4),
e160. https://doi.org/10.5001/omj.2020.83
Sulistyowati, Endah, 2019, Interprofessional
Education (IPE) dalam Kurikulum Pendidikan Kesehatan Sebagai Strategi Peningkatan
Kualitas Pelayanan Maternitas, Jurnal Kebidanan, 8 (2).
Thomas J Birk, 2017, Principles for Developing an Interprofessional Education Curriculum in
a Healthcare Program, Journal of Healthcare Communications, Vol. 2 No. 1.
No comments:
Post a Comment