A.
Pengertian
Mental merupakan hubungan antara
fungsi-fungsi psikologis yang memiliki kemampuan menghadapi segala bentuk
permasalahan psikologis yang dapat menimpa seseorang, yang pada akhir berdampak
terhadap emosi, maka dari emosi itulah bahwa kondisi mental seseoang dapat
terpangaruh (Lail, 2019).
Kesehatan mental yaitu dimana perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang menjadi salah satu kondisi yang harus
berkembang secara optimal dari diri seseorang. Perkembangan itu diselaraskan
dengan adanya hubungan sosial dengan orang lain. Oleh karena itu makna
kesehatan mental mempunyai sifat - sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi - segi dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan
manusia lain (Lail, 2019).
Gangguan mental dapat diartikan
sebagai gangguan yang dapat menyebabkan tekanan psikologis, gangguan fungsi dan
gangguan pada kualitas hidup individu. Pola perilaku atau mental yang
menyebabkan tekanan yang signifikan atau gangguan fungsi pribadi (Guimarães et
al, 2019).
Tujuan asuhan kehamilan yang harus di
upayakan oleh bidan melalui asuhan antenatal yang efektif; adalah mempromosikan
dan menjaga kesehatan fisik mental sosial ibu dan bayi dengan pendidikan
kesehatan, gizi, kebersihan diri, dan proses kelahiran bayi. Di dalamnya juga
harus dilakukan deteksi abnormalitas atau komplikasi dan penatalaksanaan
komplikasi medis, bedah, atau obstetri selama kehamilan (Tyastuti &
Wahyuningsih, 2016).
Tipe pelayanan kebidanan, meliputi 3
ruang lingkup yaitu pelayanan kebidanan primer atau mandiri, kolaborasi dan
rujukan (Tyastuti & Wahyuningsih, 2016):
1.
Pelayanan
kebidanan primer merupakan pelayanan bidan yan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab bidan.
2.
Pelayanan
kebidanan kolaborasi merupakan layanan bidan sebagai anggota tim yang
kegiatannya dilakukan secara bersama atau sebagai salah satu urutan prose kegiatan
layanan.
3.
Pelayanan
kebidanan rujukan adalah layanan bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan
yang lebih tinggi atau sebaliknya bidan menerima rujukan dari dukun, juga
layanan horisontal maupun vertikal ke profesi kesehatan lain.
Menurut UU No. 18
Tahun 2014 yang dijadikan sebagai landasan utama mengenai aturan kesehatan jiwa
di Indonesia. Pada pasal satu dijelaskan bahwa kesehatan
jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. UU No. 18 Tahun 2014 ditujukan
untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik,
serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Menurut UU No.
18 tahun 2014, upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayan kesehatan
terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang mencakup proses diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar
di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Sedangkan upaya rehabilitatif
merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang
ditujukan untuk mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi
sosial, memulihkan fungsi operasional, serta mempersiapkan dan memberi
kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat.
Ada beberapa gejala
yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada mental emosional, diantaranya
(Lail, 2019):
1.
Perubahan
mood pada diri
2.
Pemikiran
yang tidak menentu
3.
Kecemasan
kronis
4.
Rasa
harga diri yang berlebihan atau tinggi
5.
Tindakan
impulsif
6.
Disorientasi
waktu dan ruang
7.
Sering
atau terus berhalusinasi
Ada beberapa
gejala yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada mental fisik, seperti
contohnya Depresi, bagaimanapun, secara tidak langsung dapat menyebabkan (Lail,
2019):
1.
Penurunan
berat badan
2.
Kelelahan
3.
Kehilangan
libido (gairah seksual).
Gangguan makan,
bagian yang terpisah dari gangguan kesehatan mental, dapat menyebabkan (Lail,
2019):
1.
Kekurangan
gizi
2.
Penurunan
berat badan
3.
Amenore
(kondisi di mana wanita yang seharusnya mendapat menstruasi tetapi tidak mengalami
menstruasi) pada wanita
4.
Ketidakseimbangan
elektrolit yang disebabkan muntah oleh diri sendiri.
B.
Kesehatan Mental
pada Ibu Hamil
Kesehatan mental yang baik seperti merasa
tenang dan bahagia, sangat diperlukan saat masa kehamilan, karena sangat mempengaruhi
kesehatan seorang ibu hamil dan bayi dalam kandungannya. Munculnya gangguan
kesehatan mental saat hamil dapat memicu perilaku berisiko bagi kehamilan
seperti merokok, konsumsi alkohol, asupan nutrisi yang tidak sesuai,
menghindari pemeriksaan kehamilan, atau memicu perilaku berbahaya bagi ibu dan
kandungannya. Tapi sangat disayangkan sekali banyak dari kita yang mengabaikan
dan tidak ditangani dengan benar gejala perasaan depresi dan sumber stress saat
hamil (Lail, 2019).
Merasa
cemas dan bingung merupakan hal yang wajar bagi seseorang yang menjalani
kehamilan atau ketika segera akan melahirkan. Namun sumber stress tersebut
dapat meningkatan risiko seseorang untuk mengalami masalah kesehatan mental,
seperti depresi dan gangguan psikosis. Risiko tersebut juga jauh lebih tinggi
jika ibu hamil memiliki riwayat gangguan kesehatan mental serius sebelumnya
(Lail, 2019)
Masalah
kesehatan mental pada ibu hamil juga dapat bertahan hingga beberapa waktu
setelah melahirkan. Tidak hanya itu, masalah kesehatan mental yang lebih ringan
seperti gangguan mood dan merasa cemas, bisa menjadi lebih serius pada waktu
tersebut. Akibatnya, hal tersebut tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental dan
fisik seorang ibu pasca melahirkan, namun juga dapat mengganggu kedekatan antara
ibu dan bayi yang baru lahir (Lail, 2019).
Masalah
kesehatan mental ibu hamil (yaitu yang berlanjut atau berulang dalam periode
yang mencakup kehamilan hingga tahun pertama setelah melahirkan) dikaitkan
dengan hasil yang merugikan bagi wanita dan bayinya.
C.
Faktor-Faktor
Penyebab Gangguan Mental Ibu Hamil
Faktor-faktor
penyebab gangguan mental perinatal (Kassada et al, 2015; Pundir &
Coomarasamy, 2015; Alipour et al, 2018) :
1. Usia
Usia
lebih dari 35 tahun dikaitkan dengan skor pengetahuan tentang konsekuensi masalah
kesehatan mental ibu (Patabendige et al 2020). Karakteristik kelompok usia
terkait tentang yang memiliki kematangan emosional dan psikososial dan
stabilitas keuangan yang lebih besar; di sisi lain, mereka juga menyarankan
bahwa status sosial ekonomi dan kondisi kehidupan yang tidak menguntungkan
tidak serta merta menimbulkan risiko gangguan dan disagregasi. Dukungan
keluarga adalah sumber utama dukungan ibu, yang merupakan dasar untuk perawatan
sebelum dan sesudah melahirkan yang diterima ibu dan bahkan dapat mengurangi
kejadian stres (Costa et al, 2018). Usia
ibu dini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan depresi (Rondó
et al, 2016).
2. Status pernikahan
Wanita
yang memiliki pasangan memiliki peluang 33% lebih kecil untuk mengalami gangguan
mental dibandingkan wanita yang tidak memiliki pasangan (Kassada et al, 2015).
Peran
penting suami dalam meningkatkan atau memperburuk kecemasan selama kehamilan.
Hubungan perkawinan yang buruk merupakan variabel yang paling konsisten dalam
memprediksi kecemasan selama kehamilan dan salah satu faktor terpenting untuk
mengelola gejolak emosional dengan merekrut dukungan suami untuk mencapai hasil
yang diinginkan. Perselisihan perkawinan mengakibatkan kurangnya keterikatan
ibu pada janin dan unit keluarga: wanita hamil mengalami tingkat kecemasan yang
tinggi dan menunjukkan rasa jijik terhadap kehamilan (Alipour et al, 2018).
3. Trimester kehamilan
Ibu
hamil yang berada pada trimester ketiga kehamilan memiliki peluang 41% lebih
kecil untuk mengalami gangguan jiwa jika dibandingkan dengan mereka yang berada
pada trimester pertama atau kedua (Kassada et al, 2015).
Paling
banyak kecemasan antenatal terjadi pada usia kehamilan trimester III. Tingkat
kecemasan antenatal paling tinggi terjadi pada kehamilan trimester III menjelang
persalinan. Kecemasan Antenatal merupakan gejala ketakutan terhadap beberapa
hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan diantaranya ketakutan
terhadap kesehatan dan kesejahteraan bayinya, ketakutan terhadap perawatan
kesehatan selama kehamilan dan pelayanan kesehatan di rumah sakit, ketakutan
pada proses persalinan dan setelah persalinan, serta ketakutan terhadap pola
asuh atau peran ibu (Hanifah & Shinta, 2019).
4. Sosial Ekonomi
Faktor
sosial seperti wanita yang membesarkan anak sendirian, dalam kemiskinan atau
dalam akomodasi yang kurang optimal mungkin memainkan peran penting dalam
pemeliharaan gangguan mental pada orang dewasa. Faktor penyebab masalah kesehatan
mental antenatal, termasuk kurangnya dukungan sosial (Pundir & Coomarasamy,
2015). Beban ekonomi selama kehamilan memengaruhi kesehatan mental, wanita yang
lebih berpendidikan dan bekerja menerima layanan kesehatan yang memadai
cenderung memiliki kondisi mental yang lebih sehat. Wanita yang lebih
berpendidikan dan bekerja menunjukkan risiko yang lebih rendah untuk masalah
kesehatan mental selama kehamilan. Pekerjaan dan kemandirian finansial
meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial dan meningkatkan
keterampilan mengatasi kesehatan mental (Alipour et al, 2018).
5. Kekerasan dalam
rumah tangga
Kualitas
hubungan dengan suami dan kepuasan perkawinan dikaitkan dengan masalah kesehatan
mental. Wanita yang suaminya menyambut kehamilan mereka mengalami lebih banyak
dukungan emosional dan kondisi kesehatan mental yang lebih baik. Kondisi mental
yang lebih sehat untuk wanita hamil yang mendapatkan penerimaan dan dukungan suaminya
selama kehamilan. Kualitas perkawinan sebagai faktor terkuat terkait kecemasan
antenatal, dan ini secara langsung terkait dengan masalah mental selama
kehamilan, dengan jelas menunjukkan peran penting suami dalam meningkatkan atau
memperburuk kecemasan selama kehamilan. Hubungan perkawinan yang buruk
merupakan variabel yang paling konsisten dalam memprediksi kecemasan selama
kehamilan dan salah satu faktor terpenting untuk mengelola gejolak emosional
dengan merekrut dukungan suami untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perselisihan
perkawinan mengakibatkan kurangnya keterikatan ibu pada janin dan unit
keluarga: wanita hamil mengalami tingkat kecemasan yang tinggi dan menunjukkan
rasa jijik terhadap kehamilan (Alipour et al, 2018)
D.
Gejala-Gejala
yang dapat Memicu Gangguan Mental pada Ibu Hamil
Selain
riwayat masalah kesehatan mental, beberapa hal juga dapat memicu ibu hamil
mengalami gangguan mental, di antaranya (Lail, 2019):
1.
Kehamilan
pada usia remaja
2.
Pengalaman
mengalami trauma fisik, emosi ataupun kekerasan seksual
3.
Riwayat
ketergantungan obat, termasuk perilaku merokok
4.
Kurangnya
dukungan sosial
5.
Menjadi
orang tua tunggal saat hamil
6.
Memiliki
tingkat sosio-ekonomi rendah
7.
Pernah
mengalami kekerasan dalam rumah tangga
8.
Pengobatan
depresi yang tidak tuntas
9.
Mengalami
kesulitan finansial
10.
Memiliki
pemikiran yang bertentangan akan kehamilannya.
E.
Gangguan Mental
yang Terjadi pada Ibu Hamil
Masalah
kesehatan mental yang dapat timbul pada masa kehamilan (Lail, 2019):
1.
Depresi
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional
berkepanjanganyang mewarnai seluruh proses mental (berfikir, perasaan,
aktivitas) seseorang yang ditandai dengan fikiran negative pada diri, suasana
hati menurun kehilangan minat atau motivasi, fikiran lambat serta aktifitas
menurun (Idris dkk, 2019).
Depresi
merupakan gangguan kesehatan mental yang paling umum pada masa kehamilan. Hal
ini sering menjadi pemicu, dan muncul bersamaan dengan gejala gangguan
kesehatan mental lainnya seperti gangguan kecemasan, obsessive compulsive
disorder, dan gangguan pola makan (Lail, 2019). Satu dari lima wanita hamil
akan mengalami depresi antenatal, dan juga, wanita yang mengalami depresi
antenatal ini memiliki risiko enam kali lipat untuk mengembangkan depresi
postpartum (Patabendige et al, 2020).
Depresi pada ibu hamil memiliki pola yang bervariasi. Pada trimester pertama dan ketiga, biasanya depresi akan terasa makin berat, namun cenderung lebih rendah atau menurun pada trimester kedua. Depresi saat hamil ditangani sama seperti depresi pada umumnya dengan pilihan penanganan utama yang aman bagi janin, seperti terapi perilaku kognitif dan terapi kejiwaan interpersonal (Lail, 2019).
Prevalensi
depresi berat di antara usia 16 hingga 65 tahun di Inggris adalah 21/1000,
tetapi jika kategori yang lebih luas dari 'depresi dan kecemasan campuran' disertakan,
angka ini adalah 98/1000. Peningkatan prevalensi di antara perempuan dan
pasangan yang berpisah dan bercerai dengan anak-anak. Prevalensi titik depresi
berat - 4% pada akhir trimester pertama, 5% pada akhir trimester kedua, dan 3%
pada akhir trimester ketiga; 1–6% dalam 12 bulan pertama postnatal. Prevalensi
menstruasi - 13% selama kehamilan, 6% sejak lahir sampai 2 bulan setelah
melahirkan, 7% pada 6 bulan, dan 22% pada 12 bulan (Pundir et al, 2016).
Wanita
lebih berisiko mengalami depresi selama kehamilan dan setelahnya jika mereka
memiliki (RANZCOG, 2017):
·
Mengalami
depresi di masa lalu
·
Riwayat
keluarga depresi
·
Dukungan
yang tidak memadai
·
Masalah
dengan alkohol dan obat-obatan
·
Tekanan
besar dalam hidup mereka
·
Hubungan
yang buruk dengan ibu mereka sendiri
·
Mengalami
pelecehan masa kecil (fisik, seksual)
·
Terkena
kekerasan keluarga / pasangan
Depresi
pada kehamilan dan setelah melahirkan meliputi (RANZCOG, 2017):
·
Kehilangan
minat dan kesenangan dalam aktivitas
·
Perasaan
sedih dan putus asa
·
Lekas
marah, tangis
·
Kesulitan
berkonsentrasi dan merawat diri sendiri
·
Motivasi
rendah dan perasaan tidak mampu mengatasinya
·
Energi
rendah
·
Meningkat
atau kehilangan nafsu makan
·
Kurang
tidur atau peningkatan kualitas tidur dan hilangnya gairah seks
2.
Panic
Disorder (kepanikan/ kecemasan berlebih)
Gangguan panik adalah gangguan kecemasan yang ditandai
dengan kambuhnya serangan panik yang tidak terduga, di mana rasa takut yang
intens disertai dengan serangkaian gejala tubuh dan/ atau kognitif berkembang
secara tiba-tiba, tanpa penyebab eksternal yang jelas (Pompoli et al, 2018).
Gangguan yang dapat muncul saat masa kehamilan meskipun wanita tersebut tidak memiliki riwayat pernah menderita panic disorder. Hal ini dapat muncul dari rasa cemas dan stress yang ditandai dengan peningkatan hormon kortisol (hormon yang keluar ketika merasa cemas) (lail, 2019).
Jika
tidak ditangani, peningkatan kortisol dapat mempengaruhi perkembangan janin
dalam kandungan. Penanganan tanpa obat dapat dilakukan dengan cara terapi
perilaku kognitif dan supportif, menerapkan teknik relaksasi, penerapan sleep
hygiene, serta pengaturan pola makan (Lail, 2019).
Tidak
ada indikasi peningkatan prevalensi gangguan panik selama kehamilan. Gejala
dapat membaik pada 40% kehamilan dan 38% mungkin terjadi setelah melahirkan
(Pundir et al, 2016).
3.
Obssesive-Compulsive
Disorder (OCD)
OCD adalah gangguan berupa obsesi dan kebiasaan berulang
yang sulit dikendalikan, yang dapat muncul di periode awal masa kehamilan, dan meningkat
seiring masa kehamilan hingga pasca melahirkan. OCD saat hamil dapat sangat
mengganggu aktivitas ibu hamil dan perlu ditangani dengan terapi perilaku atau
dengan konsumsi obat (Lail, 2019). Gejala OCD jauh lebih umum di antara wanita
yang mengalami depresi postnatal dibandingkan mereka yang tidak (41% berbanding
6%) (Pundir et al, 2016).
4.
Gangguan
Makan
Gangguan makan merupakan gangguan mental yang
menyebabkan gangguan perilaku makan sehingga terjadi gangguan konsumsi dan
penyerapan nutrisi makanan (Julian & Kurniawan, 2020).
Meskipun
hal ini cenderung membaik saat masa kehamilan, namun gangguan pola masih dapat
terjadi saat masa kehamilan. Gangguan pola makan bukan hanya dapat mempengaruhi
kesiapan ibu hamil untuk melahirkan normal, tapi juga dapat meningkatan risiko
depresi pascamelahirkan serta dapat berdampak melahirkan bayi berat lahir
rendah (Lail, 2019).
Gangguan
makan utama adalah anoreksia nervosa dan bulimia. Yang paling parah, anoreksia
nervosa adalah kondisi medis yang mengancam jiwa. Gejala-gejalanya termasuk
penurunan berat badan berlebihan yang disengaja dan seringkali diet kompulsif.
Anoreksia dimanifestasikan dengan malnutrisi, penurunan berat badan yang cepat,
pertumbuhan rambut lanugo, penurunan denyut nadi dan tekanan darah,
pengeroposan tulang yang menyebabkan risiko patah tulang dan gangguan pada saat
menstruasi. Penderita mungkin dengan sengaja muntah, menyalahgunakan obat
pencahar dan diuretik untuk menurunkan berat badan dan melakukan olah raga
berlebihan dan sebaliknya, makan secara diam-diam (Lakaniemi & Valtokari,
2017)
Anoreksia
nervosa pada wanita hamil lebih jarang terjadi dibandingkan pada populasi umum,
karena penurunan kesuburan dan fekunditas yang berhubungan dengan kelainan ini
dan awitannya yang biasa pada masa remaja. Kehamilan pada wanita dengan bulimia
nervosa jarang terjadi karena kelainan ini cenderung tidak menyebabkan
kemandulan, meskipun sebanyak 50% mungkin menderita amenorea atau
oligoamenorrhoea di beberapa titik selama perjalanan penyakit. Oligoamenorrhoea
atau muntah kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko kehamilan yang tidak
direncanakan pada wanita dengan bulimia nervosa. Faktor-faktor yang terkait
dengan insiden kehamilan yang lebih tinggi termasuk usia yang lebih muda
(<29 tahun), gejala sebelumnya, tingkat pendidikan yang lebih rendah, perumahan
yang lebih buruk, status pekerjaan, dan keguguran sebelumnya. Wanita dengan
gangguan makan selama kehamilan lebih cenderung memiliki masalah kebidanan,
seperti keguguran, persalinan dengan CS, dan bayi prematur atau bayi kecil
(Pundir et al, 2016).
Pasien
membutuhkan psikoterapi kognitif, psikoedukasi tentang kebiasaan makan yang
melekat padanya. Pengobatan farmakologis lebih efektif dalam pengobatan
bulimia, dan antidepresan dapat diterapkan. Namun, sering kali pasien bulimia
memiliki beberapa penyakit kejiwaan lain yang membutuhkan perhatian lebih dan
lebih sulit daripada bulimia itu sendiri (Lakaniemi & Valtokari, 2017).
5.
Gangguan
Bipolar
Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronik yang
ditandai dengan adanya episode mania atau hipomania yang muncul secara
bergantian atau bercampur dengan episode depresi (Zannah dkk, 2020).
Bipolar
disorder merupakan gangguan yang terjadi secara kambuhan pada ibu hamil, namun
kejadiannya lebih sering terjadi pasca melahirkan. Seperti gangguan bipolar
pada umumnya, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan obat mood stabilizer,
namun memerlukan pemeriksaan serta pertimbangan risiko beserta manfaat. Meskipun
demikian, pengawasan kondisi kejiwaan dan perilaku dari ibu hamil dengan bipolar
adalah hal yang paling penting (Lail, 2019).
6.
Skizofrenia
Skizofenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi
medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal
kognitif, emosional dan tingkah laku. Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik
paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan
menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan
delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan
sang pancaindra) (Tim Smart Genesis, 2016)
Skizofrenia adalah gangguan psikosis yang dapat
meningkat ataupun menurun pada masa kehamilan. Ibu hamil dengan gangguan ini
membutuhkan pengawasan dan penanganan oleh dokter. Skizofrenia berdampak pada
kesehatan ibu dan bayi akibat mendapat perawatan yang tidak sesuai, bisa memicu
lahir prematur dan berat lahir rendah, hingga kematian janin dan ibu hamil.
Penanganan gejala psikosis akut pada masa kehamilan sangat diharuskan, untuk
mengurangi intensitas dan dampak skizofrenia. Hal ini mencakup dukungan, pengobatan,
dan penanganan intensif di rumah sakit. Terapi elektroconvulsive juga
diperlukan untuk menangani gejala depresi pada penderita (Lail, 2019).
F.
Asuhan Kebidanan
pada Ibu Hamil dengan Gangguan Mental
Hasil
penelitian Lavender et al (2016) menyatakan bahwa Terapi
Perilaku Kognitif, Aktivasi Perilaku, dan intervensi berbasis kesadaran, yang
secara khusus disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan wanita dalam periode
perinatal, menunjukkan peningkatan kesehatan mental secara keseluruhan. Wanita
yang terlibat dalam intervensi mengalami perbaikan gejala kecemasan dan depresi
serta manfaat sekunder dari partisipasi dalam penelitian. Untuk meningkatkan
hasil kesehatan mental perinatal, diperlukan mode inovatif dalam menyediakan
intervensi kesehatan mental perinatal yang efektif yang memenuhi kebutuhan unik
wanita dalam periode perinatal. Pengembangan intervensi kesehatan mental
perinatal di masa depan memerlukan adaptasi dari Terapi Perilaku Kognitif
(Cognitive Behavioral Therapy = CBT), Aktivasi Perilaku (Behavioral Activation
= BA) dan / atau metode berbasis Perhatian (Mindfulness Based) untuk mengatasi
hasil kesehatan mental bagi wanita dalam periode perinatal.
(1)
Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengurangi timbulnya pemikiran negatif
otomatis, mengidentifikasi bagaimana emosi memengaruhi perilaku, yang pada
akhirnya menghasilkan perilaku yang lebih positif dan hasil yang produktif; (2)
Aktivasi perilaku memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi alasan di balik
perilaku mereka dan menemukan cara untuk mengubah perilaku untuk mencapai
tujuan tertentu; (3) Praktik Mindfulness memungkinkan individu untuk secara
sadar mengalihkan perhatian mereka ke 'di sini dan sekarang' dengan sikap
penerimaan. Mindfulness mengajarkan kesadaran kognitif dan perubahan pola pikir
untuk memberdayakan individu untuk mengelola pengalaman negatif dengan lebih
tenang dan cara positif. Intervensi Mindfulness yang difokuskan pada
pengurangan gejala kecemasan, depresi dan stres selama kehamilan dan bagaimana
pikiran memengaruhi wanita dan bayinya (Lavender et al, 2016).
Mekanisme
koping. Mengembangkan mekanisme koping terbukti menjadi manfaat tambahan dari
partisipasi intervensi bagi beberapa wanita. Pernapasan, berlatih yoga, atau
menggunakan teknik pemindaian tubuh terbukti membantu gejala kecemasan
(Lavender et al, 2016).
Wanita
yang berisiko mengalami masalah kesehatan mental dalam kehamilan harus
diidentifikasi di awal kehamilan dan dikelola dengan tepat. Gangguan mental
yang parah (depresi berat, skizofrenia, gangguan bipolar, psikosis pada periode
postnatal) adalah tanggung jawab layanan spesialis sedangkan pencegahan dan
pengobatan gangguan ringan-sedang dikelola sebagian besar dalam perawatan
primer. Pedoman National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) di
Inggris dan Wales merekomendasikan bahwa wanita yang memenuhi kriteria untuk
diagnosis gangguan ringan-sedang menerima bantuan sendiri, kunjungan
mendengarkan, atau perawatan psikologis singkat (Darwin et al, 2015).
Wanita
dengan masalah kesehatan mental perinatal sering tidak mencari bantuan. Manfaat
dari pemeriksaan kesehatan mental perinatal termasuk deteksi dini dan manajemen
yang dapat mengurangi gejala dan tingkat keparahannya. Organisasi profesional
mengenali risiko kesehatan mental yang buruk selama periode perinatal dan potensi
manfaat skrining. Pedoman klinis National Institute for Health and Care
Excellence (NICE) tentang kesehatan mental antenatal dan postnatal
merekomendasikan skrining untuk kecemasan dan depresi selama kehamilan.
American College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan bahwa
dokter memeriksa wanita setidaknya sekali selama periode perinatal untuk gejala
depresi dan kecemasan (Bayrampour et al, 2017).
Dalam
studi Fonseca et al (2015) menemukan bahwa hambatan yang paling sering
diidentifikasi bagi perempuan yang mencari bantuan profesional terkait dengan
tingkat melek kesehatan mental, diikuti oleh hambatan praktis dan struktural,
seperti kendala waktu dan biaya, dan hambatan sikap, seperti rasa malu dan
stigma. Mereka melaporkan bahwa lebih dari separuh wanita yang diskrining
positif untuk depresi selama periode perinatal tidak dapat mengenali adanya
masalah emosional atau psikologis. Meningkatkan tingkat literasi kesehatan
mental masyarakat dapat berkontribusi pada pengenalan dini dan perilaku
pencarian intervensi yang sesuai.
Deteksi
dini dan intervensi yang efektif jika diperlukan penting untuk mencegah
konsekuensi yang berbahaya bagi perempuan itu sendiri, anak-anaknya, dan
keluarga (Patabendige et al, 2020). Salah satu tolok ukur kesehatan mental ibu hamil
adalah pregnancy specific distress (PSD). PSD berdampak secara langsung maupun tidak
langsung terhadap aspek fisik dan mental bayi, baik selama kehamilan maupun
setelah lahir. Terdapat sejumlah faktor risiko PSD yang relevan di Indonesia,
di antaranya usia ibu yang muda, tekanan ekonomi selama kehamilan, dan
kehamilan yang tidak diinginkan. Revised Prenatal Distress Questionnaire (NuPDQ)
adalah alat ukur PSD yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (Santoso,
2018).
Asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan
gangguan mental
menurut (Pundir & Coomarasamy, 2016):
1.
Pada
setiap kunjungan klinik antenatal - tanyakan wanita tentang kesehatan mental
mereka saat ini. Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi depresi
meliputi:
·
Selama
sebulan terakhir, apakah Anda sering merasa sedih, tertekan, atau putus asa?
·
Selama
sebulan terakhir, apakah Anda sering direpotkan karena kurang berminat atau
senang melakukan sesuatu?
2.
Jika
ya untuk salah satu pertanyaan, buat pertanyaan lebih lanjut: apakah ini
sesuatu yang Anda rasa Anda butuhkan atau butuh bantuan?
3.
Untuk
penilaian selanjutnya dan untuk pemantauan rutin hasil, pertimbangkan untuk
menggunakan pengukuran laporan diri seperti Edinburgh Postnatal Depression
Scale (EPDS), Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) atau Patient Health
Questionnaire 9 (PHQ9).
Asuhan awal (Pundir &
Coomarasamy, 2016):
1.
Jika
wanita tersebut memiliki gangguan mental atau riwayat penyakit mental yang
parah :
·
Tanyakan
tentang kesehatan mentalnya di semua kontak berikutnya.
·
Kembangkan
rencana perawatan, biasanya pada trimester pertama, mencakup kehamilan,
persalinan, dan periode setelah melahirkan bersama dengan wanita, anggota
keluarga / pengasuhnya, dan Layanan Kesehatan Mental Sekunder dan Layanan Kesehatan
Mental Perinatal. Catat di semua versi catatan wanita tersebut dan
komunikasikan dengan wanita tersebut dan semua Profesi Kesehatan yang relevan.
2.
Untuk
wanita yang mengalami depresi atau kecemasan ringan / sedang selama kehamilan, pertimbangkan
strategi bantuan mandiri (bantuan mandiri terpandu, CBT (Cognitive Behavioural
Therapy) atau olahraga).
3.
Untuk
meminimalkan risiko bahaya pada janin atau anak, berikan resep obat dengan
hati-hati. Akibatnya, ambang batas untuk perawatan non-narkoba, terutama perawatan
psikologis, cenderung lebih rendah.
Asuhan virtual (Virtual Care) - didefinisikan sebagai interaksi apa
pun yang terjadi dari jarak jauh antara pasien atau anggota lingkaran asuhan
mereka yang menggunakan teknologi komunikasi atau informasi untuk memfasilitasi
atau memaksimalkan kualitas dan efektivitas asuhan pasien merupakan solusi yang
sangat menarik untuk penghalang penting dan lama untuk pengobatan gangguan
mental perinatal. Dengan adanya fleksibilitas teknologi digital dalam sistem
kesehatan modern, perawatan virtual adalah bidang yang menjanjikan dan menarik
untuk diperiksa guna mengatasi kurangnya perawatan wanita dengan gangguan
mental perinatal dan meningkatkan akses, penyerapan, dan jangkauan (Vigod &
Dennis, 2020).
Sumber
:
Alipour, Zahra.,
Kheirabadi, Gholam.R., Kazemi, Ashraf.,
& Fooladi, Marjaneh. (2018). The most important risk factors
affecting mental health during pregnancy: a systematic review. Eastern Mediterranean
health journal, 24(6);549-559 DOI: 10.26719/2018.24.6.549
Bayrampour, H., McNeil,
D.A., Benzies, K., Salmon, C., Gelb, K., & Tough, S. (2017). A Qualitative
Inquiry on Pregnant Women’s Preferences for Mental Health Screening. BMC Pregnancy and Childbirth, 17:339 DOI
10.1186/s12884-017-1512-4
Costa, D.O.,
Souza, F.I.S., Pedroso, G.C., Strufaldi, M.W.L. (2018). Mental disorders in
pregnancy and newborn conditions: longitudinal study with pregnant women
attended in primary care. Cien Saude Colet;
23(3):691-700. Portuguese, English. doi: 10.1590/1413-81232018233.27772015.
PMID: 29538550
Darwin, Z., McGowan,
L., & Edozien, L.C. (2015). Antenatal Mental Health Referrals: Review of
Local Clinical Practice and Pregnant Women's Experiences in England. Midwifery, 31; e17-e22 http://dx.doi.org/10.1016/j.midw.2014.11.004
Fonseca, A.,
Gorayeb, R., & Canavarro, M.C. (2015). Womens help-seeking behaviours for depressive
symptoms during the perinatal period: socio-demographic and clinical correlates
and perceived barriers to seeking professional help. Midwifery. 31(12):1177–85
Guimarães, F.J.,
Santos, F.J.D.S., Leite, A.F.B., Holanda, V.R.D., Sousa, G.S.D., & Perrelli,
J.G.A. (2019). Mental disorders in pregnant. Enfermería Global, http://dx.doi.org/10.6018/eglobal.18.1.328331
Hanifah, Dewi
& Utami, Shinta. (2019). Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Antenatal. Jurnal Kebidanan 5(1):
16-23
Idris, B.N.A.,
Istinah., & Hadi, I. (2019). Penanganan
Depresi Melalui Pendekatan Motivasional Interviewing Berdasarkan Hasil
Penelitian pada Pasien Post Stroke dan Pasca Gempa Lombok NTB. Mataram-NTB:
Pustaka Bangsa (Anggota IKAPI) Hal. 1-2
Julian, M &
Kurniawan, F. (2020). Kualitas Tidur yang Buruk Akibat Gangguan Makan pada
Pelajar Sekolah Menengah di Jakarta. Damianus:
Journal of Medicine 19(1); 56-61.
DOI: https://doi.org/10.25170/djm.v19i1.1184
Kassada, D. S.,
Waidman, M. A. P., Miasso, A. I., & Marcon, S. S. (2015). Prevalence of
mental disorders and associated factors in pregnant women. Acta Paul Enferm., 28(6), 495-502
Lail, Nurul
Husna. (2019). Asuhan Kebidanan
Komprehensif. Jakarta Selatan : LPU-UNAS
Lakaniemi, Sonja
& Valtokari, Siiri. (2017). Managing Mental Disorders During Pregnancy in
the Field of Nursing Care. Lahti University of Applied Sciences, pg: 7-13
Lavender, T.J.,
Ebert, L., & Jones, D. (2016). An Evaluation of Perinatal Mental Health
Interventions: an Integrative Literature Review. Women and Birth, 8; 1871-5192 http://dx.doi.org/10.1016/j.wombi.2016.04.004
Patabendige, M.,
Athulathmudali, S. R., & Chandrasinghe, S. K. (2020). Mental Health
Problems during Pregnancy and the Postpartum Period: A Multicenter Knowledge
Assessment Survey among Healthcare Providers. Journal of pregnancy, 4926702. https://doi.org/10.1155/2020/4926702
Pompoli, A.,
Furukawa, T., Efthimiou, O., Imai, H., Tajika, A., & Salanti, G. (2018).
Dismantling cognitive-behaviour therapy for panic disorder: A systematic review
and component network meta-analysis. Psychological
Medicine, 48(12), 1945-1953. doi:10.1017/S0033291717003919
Pundir, J.,
& Coomarasamy, A. (2016). Antenatal and postnatal mental health. In
Obstetrics: Evidence-based Algorithms (pp. 215-225). Cambridge: Cambridge University Press.
doi:10.1017/CBO9781107338876.046
Rondó, P. H. C.,
Ferreira1, R. F., Lemos, J. O., & Pereira-Freire, J. A. (2016). Mental
Disorders in Pregnancy and 5–8 Years After Delivery. Global Mental Health ), 3(31); 1- 8. doi:10.1017/gmh.2016.26
Santoso, J.B.
(2018). Pengembangan Skala Revised Prenatal Distress Questionnaire (NuPDQ)
Versi Bahasa Indonesia. Jurnal Ilmiah
Psikologi MANASA, 7(1); 62-71
The Royal
Australian and New Zealand Collage of Obstetricians and Gynaecologists
(RANZCOG). (2017). Depressions and
Anxiety during Pregnancy and Following Birth.
Australia: College House
Tim Smart
Genesis. (2016). Modul Resmi Tes TPA
Solusi Pasti Raih Skor Tinggi. Yogyakarta: Penerbit Genesis, Hal 184
Tyastuti, S.,
& Wahyuningsih, H.P. (2016). Asuhan
Kebidanan Kehamilan. Jakarta : Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa
Vigod,
Simone.N., & Dennis, Cindy-Lee. (2020). Advances in Virtual Care for
Perinatal Mental Disorders. World
Psychiatry 19:3
Zannah,
Uzlifatul., Puspitasari, Irma Melyani., & Sinuraya, Rano Kurnia. (2018).
Farmakoterapi Gangguan Bipolar. Farmaka, 16(1), p. 263-277, ISSN 2716-3075.
doi:https://doi.org/10.24198/jf.v16i1.17466
No comments:
Post a Comment