Tuesday 23 March 2021

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU HAMIL DENGAN GANGGUAN MENTAL

 

A.    Pengertian

Mental merupakan hubungan antara fungsi-fungsi psikologis yang memiliki kemampuan menghadapi segala bentuk permasalahan psikologis yang dapat menimpa seseorang, yang pada akhir berdampak terhadap emosi, maka dari emosi itulah bahwa kondisi mental seseoang dapat terpangaruh (Lail, 2019).

Kesehatan mental yaitu dimana perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang menjadi salah satu kondisi yang harus berkembang secara optimal dari diri seseorang. Perkembangan itu diselaraskan dengan adanya hubungan sosial dengan orang lain. Oleh karena itu makna kesehatan mental mempunyai sifat - sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi - segi dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain (Lail, 2019).

Gangguan mental dapat diartikan sebagai gangguan yang dapat menyebabkan tekanan psikologis, gangguan fungsi dan gangguan pada kualitas hidup individu. Pola perilaku atau mental yang menyebabkan tekanan yang signifikan atau gangguan fungsi pribadi (Guimarães et al, 2019).

Tujuan asuhan kehamilan yang harus di upayakan oleh bidan melalui asuhan antenatal yang efektif; adalah mempromosikan dan menjaga kesehatan fisik mental sosial ibu dan bayi dengan pendidikan kesehatan, gizi, kebersihan diri, dan proses kelahiran bayi. Di dalamnya juga harus dilakukan deteksi abnormalitas atau komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi medis, bedah, atau obstetri selama kehamilan (Tyastuti & Wahyuningsih, 2016).

Tipe pelayanan kebidanan, meliputi 3 ruang lingkup yaitu pelayanan kebidanan primer atau mandiri, kolaborasi dan rujukan (Tyastuti & Wahyuningsih, 2016):

1.      Pelayanan kebidanan primer merupakan pelayanan bidan yan sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.

2.      Pelayanan kebidanan kolaborasi merupakan layanan bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersama atau sebagai salah satu urutan prose kegiatan layanan.

3.      Pelayanan kebidanan rujukan adalah layanan bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya bidan menerima rujukan dari dukun, juga layanan horisontal maupun vertikal ke profesi kesehatan lain.

Menurut UU No. 18 Tahun 2014 yang dijadikan sebagai landasan utama mengenai aturan kesehatan jiwa di Indonesia. Pada pasal satu dijelaskan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. UU No. 18 Tahun 2014 ditujukan untuk menjamin  setiap orang agar  dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Menurut UU No. 18 tahun 2014, upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayan kesehatan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Sedangkan upaya rehabilitatif merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi operasional, serta mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat.

Ada beberapa gejala yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada mental emosional, diantaranya (Lail, 2019):

1.      Perubahan mood pada diri

2.      Pemikiran yang tidak menentu

3.      Kecemasan kronis

4.      Rasa harga diri yang berlebihan atau tinggi

5.      Tindakan impulsif

6.      Disorientasi waktu dan ruang

7.      Sering atau terus berhalusinasi

Ada beberapa gejala yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada mental fisik, seperti contohnya Depresi, bagaimanapun, secara tidak langsung dapat menyebabkan (Lail, 2019):

1.      Penurunan berat badan

2.      Kelelahan

3.      Kehilangan libido (gairah seksual).

Gangguan makan, bagian yang terpisah dari gangguan kesehatan mental, dapat menyebabkan (Lail, 2019):

1.      Kekurangan gizi

2.      Penurunan berat badan

3.      Amenore (kondisi di mana wanita yang seharusnya mendapat menstruasi tetapi tidak mengalami menstruasi) pada wanita

4.      Ketidakseimbangan elektrolit yang disebabkan muntah oleh diri sendiri.

B.     Kesehatan Mental pada Ibu Hamil

Kesehatan mental yang baik seperti merasa tenang dan bahagia, sangat diperlukan saat masa kehamilan, karena sangat mempengaruhi kesehatan seorang ibu hamil dan bayi dalam kandungannya. Munculnya gangguan kesehatan mental saat hamil dapat memicu perilaku berisiko bagi kehamilan seperti merokok, konsumsi alkohol, asupan nutrisi yang tidak sesuai, menghindari pemeriksaan kehamilan, atau memicu perilaku berbahaya bagi ibu dan kandungannya. Tapi sangat disayangkan sekali banyak dari kita yang mengabaikan dan tidak ditangani dengan benar gejala perasaan depresi dan sumber stress saat hamil (Lail, 2019).

Merasa cemas dan bingung merupakan hal yang wajar bagi seseorang yang menjalani kehamilan atau ketika segera akan melahirkan. Namun sumber stress tersebut dapat meningkatan risiko seseorang untuk mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan psikosis. Risiko tersebut juga jauh lebih tinggi jika ibu hamil memiliki riwayat gangguan kesehatan mental serius sebelumnya (Lail, 2019)

Masalah kesehatan mental pada ibu hamil juga dapat bertahan hingga beberapa waktu setelah melahirkan. Tidak hanya itu, masalah kesehatan mental yang lebih ringan seperti gangguan mood dan merasa cemas, bisa menjadi lebih serius pada waktu tersebut. Akibatnya, hal tersebut tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seorang ibu pasca melahirkan, namun juga dapat mengganggu kedekatan antara ibu dan bayi yang baru lahir (Lail, 2019).

Masalah kesehatan mental ibu hamil (yaitu yang berlanjut atau berulang dalam periode yang mencakup kehamilan hingga tahun pertama setelah melahirkan) dikaitkan dengan hasil yang merugikan bagi wanita dan bayinya.

C.    Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Mental Ibu Hamil

Faktor-faktor penyebab gangguan mental perinatal (Kassada et al, 2015; Pundir & Coomarasamy, 2015; Alipour et al, 2018) :

1.      Usia

Usia lebih dari 35 tahun dikaitkan dengan skor pengetahuan tentang konsekuensi masalah kesehatan mental ibu (Patabendige et al 2020). Karakteristik kelompok usia terkait tentang yang memiliki kematangan emosional dan psikososial dan stabilitas keuangan yang lebih besar; di sisi lain, mereka juga menyarankan bahwa status sosial ekonomi dan kondisi kehidupan yang tidak menguntungkan tidak serta merta menimbulkan risiko gangguan dan disagregasi. Dukungan keluarga adalah sumber utama dukungan ibu, yang merupakan dasar untuk perawatan sebelum dan sesudah melahirkan yang diterima ibu dan bahkan dapat mengurangi kejadian stres  (Costa et al, 2018). Usia ibu dini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan depresi (Rondó et al, 2016).

2.      Status pernikahan

Wanita yang memiliki pasangan memiliki peluang 33% lebih kecil untuk mengalami gangguan mental dibandingkan wanita yang tidak memiliki pasangan (Kassada et al, 2015).

Peran penting suami dalam meningkatkan atau memperburuk kecemasan selama kehamilan. Hubungan perkawinan yang buruk merupakan variabel yang paling konsisten dalam memprediksi kecemasan selama kehamilan dan salah satu faktor terpenting untuk mengelola gejolak emosional dengan merekrut dukungan suami untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perselisihan perkawinan mengakibatkan kurangnya keterikatan ibu pada janin dan unit keluarga: wanita hamil mengalami tingkat kecemasan yang tinggi dan menunjukkan rasa jijik terhadap kehamilan (Alipour et al, 2018).

3.      Trimester kehamilan

Ibu hamil yang berada pada trimester ketiga kehamilan memiliki peluang 41% lebih kecil untuk mengalami gangguan jiwa jika dibandingkan dengan mereka yang berada pada trimester pertama atau kedua (Kassada et al, 2015).

Paling banyak kecemasan antenatal terjadi pada usia kehamilan trimester III. Tingkat kecemasan antenatal paling tinggi terjadi pada kehamilan trimester III menjelang persalinan. Kecemasan Antenatal merupakan gejala ketakutan terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan diantaranya ketakutan terhadap kesehatan dan kesejahteraan bayinya, ketakutan terhadap perawatan kesehatan selama kehamilan dan pelayanan kesehatan di rumah sakit, ketakutan pada proses persalinan dan setelah persalinan, serta ketakutan terhadap pola asuh atau peran ibu (Hanifah & Shinta, 2019).

4.      Sosial Ekonomi

Faktor sosial seperti wanita yang membesarkan anak sendirian, dalam kemiskinan atau dalam akomodasi yang kurang optimal mungkin memainkan peran penting dalam pemeliharaan gangguan mental pada orang dewasa. Faktor penyebab masalah kesehatan mental antenatal, termasuk kurangnya dukungan sosial (Pundir & Coomarasamy, 2015). Beban ekonomi selama kehamilan memengaruhi kesehatan mental, wanita yang lebih berpendidikan dan bekerja menerima layanan kesehatan yang memadai cenderung memiliki kondisi mental yang lebih sehat. Wanita yang lebih berpendidikan dan bekerja menunjukkan risiko yang lebih rendah untuk masalah kesehatan mental selama kehamilan. Pekerjaan dan kemandirian finansial meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial dan meningkatkan keterampilan mengatasi kesehatan mental (Alipour et al, 2018).

5.       Kekerasan dalam rumah tangga

Kualitas hubungan dengan suami dan kepuasan perkawinan dikaitkan dengan masalah kesehatan mental. Wanita yang suaminya menyambut kehamilan mereka mengalami lebih banyak dukungan emosional dan kondisi kesehatan mental yang lebih baik. Kondisi mental yang lebih sehat untuk wanita hamil yang mendapatkan penerimaan dan dukungan suaminya selama kehamilan. Kualitas perkawinan sebagai faktor terkuat terkait kecemasan antenatal, dan ini secara langsung terkait dengan masalah mental selama kehamilan, dengan jelas menunjukkan peran penting suami dalam meningkatkan atau memperburuk kecemasan selama kehamilan. Hubungan perkawinan yang buruk merupakan variabel yang paling konsisten dalam memprediksi kecemasan selama kehamilan dan salah satu faktor terpenting untuk mengelola gejolak emosional dengan merekrut dukungan suami untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perselisihan perkawinan mengakibatkan kurangnya keterikatan ibu pada janin dan unit keluarga: wanita hamil mengalami tingkat kecemasan yang tinggi dan menunjukkan rasa jijik terhadap kehamilan (Alipour et al, 2018)

D.    Gejala-Gejala yang dapat Memicu Gangguan Mental pada Ibu Hamil

Selain riwayat masalah kesehatan mental, beberapa hal juga dapat memicu ibu hamil mengalami gangguan mental, di antaranya (Lail, 2019):

1.      Kehamilan pada usia remaja

2.      Pengalaman mengalami trauma fisik, emosi ataupun kekerasan seksual

3.      Riwayat ketergantungan obat, termasuk perilaku merokok

4.      Kurangnya dukungan sosial

5.      Menjadi orang tua tunggal saat hamil

6.      Memiliki tingkat sosio-ekonomi rendah

7.      Pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga

8.      Pengobatan depresi yang tidak tuntas

9.      Mengalami kesulitan finansial

10.  Memiliki pemikiran yang bertentangan akan kehamilannya.

E.     Gangguan Mental yang Terjadi pada Ibu Hamil

Masalah kesehatan mental yang dapat timbul pada masa kehamilan (Lail, 2019):

1.      Depresi

Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjanganyang mewarnai seluruh proses mental (berfikir, perasaan, aktivitas) seseorang yang ditandai dengan fikiran negative pada diri, suasana hati menurun kehilangan minat atau motivasi, fikiran lambat serta aktifitas menurun (Idris dkk, 2019).

Depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang paling umum pada masa kehamilan. Hal ini sering menjadi pemicu, dan muncul bersamaan dengan gejala gangguan kesehatan mental lainnya seperti gangguan kecemasan, obsessive compulsive disorder, dan gangguan pola makan (Lail, 2019). Satu dari lima wanita hamil akan mengalami depresi antenatal, dan juga, wanita yang mengalami depresi antenatal ini memiliki risiko enam kali lipat untuk mengembangkan depresi postpartum (Patabendige et al, 2020).

Depresi pada ibu hamil memiliki pola yang bervariasi. Pada trimester pertama dan ketiga, biasanya depresi akan terasa makin berat, namun cenderung lebih rendah atau menurun pada trimester kedua. Depresi saat hamil ditangani sama seperti depresi pada umumnya dengan pilihan penanganan utama yang aman bagi janin, seperti terapi perilaku kognitif dan terapi kejiwaan interpersonal (Lail, 2019).

Prevalensi depresi berat di antara usia 16 hingga 65 tahun di Inggris adalah 21/1000, tetapi jika kategori yang lebih luas dari 'depresi dan kecemasan campuran' disertakan, angka ini adalah 98/1000. Peningkatan prevalensi di antara perempuan dan pasangan yang berpisah dan bercerai dengan anak-anak. Prevalensi titik depresi berat - 4% pada akhir trimester pertama, 5% pada akhir trimester kedua, dan 3% pada akhir trimester ketiga; 1–6% dalam 12 bulan pertama postnatal. Prevalensi menstruasi - 13% selama kehamilan, 6% sejak lahir sampai 2 bulan setelah melahirkan, 7% pada 6 bulan, dan 22% pada 12 bulan (Pundir et al, 2016).

Wanita lebih berisiko mengalami depresi selama kehamilan dan setelahnya jika mereka memiliki (RANZCOG, 2017):

·         Mengalami depresi di masa lalu

·         Riwayat keluarga depresi

·         Dukungan yang tidak memadai

·         Masalah dengan alkohol dan obat-obatan

·         Tekanan besar dalam hidup mereka

·         Hubungan yang buruk dengan ibu mereka sendiri

·         Mengalami pelecehan masa kecil (fisik, seksual)

·         Terkena kekerasan keluarga / pasangan

Depresi pada kehamilan dan setelah melahirkan meliputi (RANZCOG, 2017):

·         Kehilangan minat dan kesenangan dalam aktivitas

·         Perasaan sedih dan putus asa

·         Lekas marah, tangis

·         Kesulitan berkonsentrasi dan merawat diri sendiri

·         Motivasi rendah dan perasaan tidak mampu mengatasinya

·         Energi rendah

·         Meningkat atau kehilangan nafsu makan

·         Kurang tidur atau peningkatan kualitas tidur dan hilangnya gairah seks

2.      Panic Disorder (kepanikan/ kecemasan berlebih)

Gangguan panik adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan kambuhnya serangan panik yang tidak terduga, di mana rasa takut yang intens disertai dengan serangkaian gejala tubuh dan/ atau kognitif berkembang secara tiba-tiba, tanpa penyebab eksternal yang jelas (Pompoli et al, 2018).

Gangguan yang dapat muncul saat masa kehamilan meskipun wanita tersebut tidak memiliki riwayat pernah menderita panic disorder. Hal ini dapat muncul dari rasa cemas dan stress yang ditandai dengan peningkatan hormon kortisol (hormon yang keluar ketika merasa cemas) (lail, 2019).

Jika tidak ditangani, peningkatan kortisol dapat mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan. Penanganan tanpa obat dapat dilakukan dengan cara terapi perilaku kognitif dan supportif, menerapkan teknik relaksasi, penerapan sleep hygiene, serta pengaturan pola makan (Lail, 2019).

Tidak ada indikasi peningkatan prevalensi gangguan panik selama kehamilan. Gejala dapat membaik pada 40% kehamilan dan 38% mungkin terjadi setelah melahirkan (Pundir et al, 2016).

3.      Obssesive-Compulsive Disorder (OCD)

OCD adalah gangguan berupa obsesi dan kebiasaan berulang yang sulit dikendalikan, yang dapat muncul di periode awal masa kehamilan, dan meningkat seiring masa kehamilan hingga pasca melahirkan. OCD saat hamil dapat sangat mengganggu aktivitas ibu hamil dan perlu ditangani dengan terapi perilaku atau dengan konsumsi obat (Lail, 2019). Gejala OCD jauh lebih umum di antara wanita yang mengalami depresi postnatal dibandingkan mereka yang tidak (41% berbanding 6%) (Pundir et al, 2016).

4.      Gangguan Makan

Gangguan makan merupakan gangguan mental yang menyebabkan gangguan perilaku makan sehingga terjadi gangguan konsumsi dan penyerapan nutrisi makanan (Julian & Kurniawan, 2020).

Meskipun hal ini cenderung membaik saat masa kehamilan, namun gangguan pola masih dapat terjadi saat masa kehamilan. Gangguan pola makan bukan hanya dapat mempengaruhi kesiapan ibu hamil untuk melahirkan normal, tapi juga dapat meningkatan risiko depresi pascamelahirkan serta dapat berdampak melahirkan bayi berat lahir rendah (Lail, 2019).

Gangguan makan utama adalah anoreksia nervosa dan bulimia. Yang paling parah, anoreksia nervosa adalah kondisi medis yang mengancam jiwa. Gejala-gejalanya termasuk penurunan berat badan berlebihan yang disengaja dan seringkali diet kompulsif. Anoreksia dimanifestasikan dengan malnutrisi, penurunan berat badan yang cepat, pertumbuhan rambut lanugo, penurunan denyut nadi dan tekanan darah, pengeroposan tulang yang menyebabkan risiko patah tulang dan gangguan pada saat menstruasi. Penderita mungkin dengan sengaja muntah, menyalahgunakan obat pencahar dan diuretik untuk menurunkan berat badan dan melakukan olah raga berlebihan dan sebaliknya, makan secara diam-diam (Lakaniemi & Valtokari, 2017)

Anoreksia nervosa pada wanita hamil lebih jarang terjadi dibandingkan pada populasi umum, karena penurunan kesuburan dan fekunditas yang berhubungan dengan kelainan ini dan awitannya yang biasa pada masa remaja. Kehamilan pada wanita dengan bulimia nervosa jarang terjadi karena kelainan ini cenderung tidak menyebabkan kemandulan, meskipun sebanyak 50% mungkin menderita amenorea atau oligoamenorrhoea di beberapa titik selama perjalanan penyakit. Oligoamenorrhoea atau muntah kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita dengan bulimia nervosa. Faktor-faktor yang terkait dengan insiden kehamilan yang lebih tinggi termasuk usia yang lebih muda (<29 tahun), gejala sebelumnya, tingkat pendidikan yang lebih rendah, perumahan yang lebih buruk, status pekerjaan, dan keguguran sebelumnya. Wanita dengan gangguan makan selama kehamilan lebih cenderung memiliki masalah kebidanan, seperti keguguran, persalinan dengan CS, dan bayi prematur atau bayi kecil (Pundir et al, 2016).

Pasien membutuhkan psikoterapi kognitif, psikoedukasi tentang kebiasaan makan yang melekat padanya. Pengobatan farmakologis lebih efektif dalam pengobatan bulimia, dan antidepresan dapat diterapkan. Namun, sering kali pasien bulimia memiliki beberapa penyakit kejiwaan lain yang membutuhkan perhatian lebih dan lebih sulit daripada bulimia itu sendiri (Lakaniemi & Valtokari, 2017).

5.      Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronik yang ditandai dengan adanya episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau bercampur dengan episode depresi (Zannah dkk, 2020).

Bipolar disorder merupakan gangguan yang terjadi secara kambuhan pada ibu hamil, namun kejadiannya lebih sering terjadi pasca melahirkan. Seperti gangguan bipolar pada umumnya, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan obat mood stabilizer, namun memerlukan pemeriksaan serta pertimbangan risiko beserta manfaat. Meskipun demikian, pengawasan kondisi kejiwaan dan perilaku dari ibu hamil dengan bipolar adalah hal yang paling penting (Lail, 2019).

6.      Skizofrenia

Skizofenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku. Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan sang pancaindra) (Tim Smart Genesis, 2016)

Skizofrenia adalah gangguan psikosis yang dapat meningkat ataupun menurun pada masa kehamilan. Ibu hamil dengan gangguan ini membutuhkan pengawasan dan penanganan oleh dokter. Skizofrenia berdampak pada kesehatan ibu dan bayi akibat mendapat perawatan yang tidak sesuai, bisa memicu lahir prematur dan berat lahir rendah, hingga kematian janin dan ibu hamil. Penanganan gejala psikosis akut pada masa kehamilan sangat diharuskan, untuk mengurangi intensitas dan dampak skizofrenia. Hal ini mencakup dukungan, pengobatan, dan penanganan intensif di rumah sakit. Terapi elektroconvulsive juga diperlukan untuk menangani gejala depresi pada penderita (Lail, 2019).

F.     Asuhan Kebidanan pada Ibu Hamil dengan Gangguan Mental

Hasil penelitian Lavender et al (2016) menyatakan bahwa Terapi Perilaku Kognitif, Aktivasi Perilaku, dan intervensi berbasis kesadaran, yang secara khusus disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan wanita dalam periode perinatal, menunjukkan peningkatan kesehatan mental secara keseluruhan. Wanita yang terlibat dalam intervensi mengalami perbaikan gejala kecemasan dan depresi serta manfaat sekunder dari partisipasi dalam penelitian. Untuk meningkatkan hasil kesehatan mental perinatal, diperlukan mode inovatif dalam menyediakan intervensi kesehatan mental perinatal yang efektif yang memenuhi kebutuhan unik wanita dalam periode perinatal. Pengembangan intervensi kesehatan mental perinatal di masa depan memerlukan adaptasi dari Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy = CBT), Aktivasi Perilaku (Behavioral Activation = BA) dan / atau metode berbasis Perhatian (Mindfulness Based) untuk mengatasi hasil kesehatan mental bagi wanita dalam periode perinatal.

(1) Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengurangi timbulnya pemikiran negatif otomatis, mengidentifikasi bagaimana emosi memengaruhi perilaku, yang pada akhirnya menghasilkan perilaku yang lebih positif dan hasil yang produktif; (2) Aktivasi perilaku memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi alasan di balik perilaku mereka dan menemukan cara untuk mengubah perilaku untuk mencapai tujuan tertentu; (3) Praktik Mindfulness memungkinkan individu untuk secara sadar mengalihkan perhatian mereka ke 'di sini dan sekarang' dengan sikap penerimaan. Mindfulness mengajarkan kesadaran kognitif dan perubahan pola pikir untuk memberdayakan individu untuk mengelola pengalaman negatif dengan lebih tenang dan cara positif. Intervensi Mindfulness yang difokuskan pada pengurangan gejala kecemasan, depresi dan stres selama kehamilan dan bagaimana pikiran memengaruhi wanita dan bayinya (Lavender et al, 2016).

Mekanisme koping. Mengembangkan mekanisme koping terbukti menjadi manfaat tambahan dari partisipasi intervensi bagi beberapa wanita. Pernapasan, berlatih yoga, atau menggunakan teknik pemindaian tubuh terbukti membantu gejala kecemasan (Lavender et al, 2016).

Wanita yang berisiko mengalami masalah kesehatan mental dalam kehamilan harus diidentifikasi di awal kehamilan dan dikelola dengan tepat. Gangguan mental yang parah (depresi berat, skizofrenia, gangguan bipolar, psikosis pada periode postnatal) adalah tanggung jawab layanan spesialis sedangkan pencegahan dan pengobatan gangguan ringan-sedang dikelola sebagian besar dalam perawatan primer. Pedoman National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) di Inggris dan Wales merekomendasikan bahwa wanita yang memenuhi kriteria untuk diagnosis gangguan ringan-sedang menerima bantuan sendiri, kunjungan mendengarkan, atau perawatan psikologis singkat (Darwin et al, 2015).

Wanita dengan masalah kesehatan mental perinatal sering tidak mencari bantuan. Manfaat dari pemeriksaan kesehatan mental perinatal termasuk deteksi dini dan manajemen yang dapat mengurangi gejala dan tingkat keparahannya. Organisasi profesional mengenali risiko kesehatan mental yang buruk selama periode perinatal dan potensi manfaat skrining. Pedoman klinis National Institute for Health and Care Excellence (NICE) tentang kesehatan mental antenatal dan postnatal merekomendasikan skrining untuk kecemasan dan depresi selama kehamilan. American College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan bahwa dokter memeriksa wanita setidaknya sekali selama periode perinatal untuk gejala depresi dan kecemasan (Bayrampour et al, 2017).

Dalam studi Fonseca et al (2015) menemukan bahwa hambatan yang paling sering diidentifikasi bagi perempuan yang mencari bantuan profesional terkait dengan tingkat melek kesehatan mental, diikuti oleh hambatan praktis dan struktural, seperti kendala waktu dan biaya, dan hambatan sikap, seperti rasa malu dan stigma. Mereka melaporkan bahwa lebih dari separuh wanita yang diskrining positif untuk depresi selama periode perinatal tidak dapat mengenali adanya masalah emosional atau psikologis. Meningkatkan tingkat literasi kesehatan mental masyarakat dapat berkontribusi pada pengenalan dini dan perilaku pencarian intervensi yang sesuai.

Deteksi dini dan intervensi yang efektif jika diperlukan penting untuk mencegah konsekuensi yang berbahaya bagi perempuan itu sendiri, anak-anaknya, dan keluarga (Patabendige et al, 2020). Salah satu tolok ukur kesehatan mental ibu hamil adalah pregnancy specific distress (PSD). PSD berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek fisik dan mental bayi, baik selama kehamilan maupun setelah lahir. Terdapat sejumlah faktor risiko PSD yang relevan di Indonesia, di antaranya usia ibu yang muda, tekanan ekonomi selama kehamilan, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Revised Prenatal Distress Questionnaire (NuPDQ) adalah alat ukur PSD yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (Santoso, 2018).

Asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan gangguan mental menurut (Pundir & Coomarasamy, 2016):

1.      Pada setiap kunjungan klinik antenatal - tanyakan wanita tentang kesehatan mental mereka saat ini. Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi depresi meliputi:

·         Selama sebulan terakhir, apakah Anda sering merasa sedih, tertekan, atau putus asa?

·         Selama sebulan terakhir, apakah Anda sering direpotkan karena kurang berminat atau senang melakukan sesuatu?

2.      Jika ya untuk salah satu pertanyaan, buat pertanyaan lebih lanjut: apakah ini sesuatu yang Anda rasa Anda butuhkan atau butuh bantuan?

3.      Untuk penilaian selanjutnya dan untuk pemantauan rutin hasil, pertimbangkan untuk menggunakan pengukuran laporan diri seperti Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) atau Patient Health Questionnaire 9 (PHQ9).

Asuhan awal (Pundir & Coomarasamy, 2016):

1.      Jika wanita tersebut memiliki gangguan mental atau riwayat penyakit mental yang parah :

·         Tanyakan tentang kesehatan mentalnya di semua kontak berikutnya.

·         Kembangkan rencana perawatan, biasanya pada trimester pertama, mencakup kehamilan, persalinan, dan periode setelah melahirkan bersama dengan wanita, anggota keluarga / pengasuhnya, dan Layanan Kesehatan Mental Sekunder dan Layanan Kesehatan Mental Perinatal. Catat di semua versi catatan wanita tersebut dan komunikasikan dengan wanita tersebut dan semua Profesi Kesehatan yang relevan.

2.      Untuk wanita yang mengalami depresi atau kecemasan ringan / sedang selama kehamilan, pertimbangkan strategi bantuan mandiri (bantuan mandiri terpandu, CBT (Cognitive Behavioural Therapy) atau olahraga).

3.      Untuk meminimalkan risiko bahaya pada janin atau anak, berikan resep obat dengan hati-hati. Akibatnya, ambang batas untuk perawatan non-narkoba, terutama perawatan psikologis, cenderung lebih rendah.

Asuhan virtual (Virtual Care) - didefinisikan sebagai interaksi apa pun yang terjadi dari jarak jauh antara pasien atau anggota lingkaran asuhan mereka yang menggunakan teknologi komunikasi atau informasi untuk memfasilitasi atau memaksimalkan kualitas dan efektivitas asuhan pasien merupakan solusi yang sangat menarik untuk penghalang penting dan lama untuk pengobatan gangguan mental perinatal. Dengan adanya fleksibilitas teknologi digital dalam sistem kesehatan modern, perawatan virtual adalah bidang yang menjanjikan dan menarik untuk diperiksa guna mengatasi kurangnya perawatan wanita dengan gangguan mental perinatal dan meningkatkan akses, penyerapan, dan jangkauan (Vigod & Dennis, 2020).

 

Sumber :

Alipour, Zahra., Kheirabadi, Gholam.R., Kazemi, Ashraf.,  & Fooladi, Marjaneh. (2018). The most important risk factors affecting mental health during pregnancy: a systematic review. Eastern Mediterranean health journal, 24(6);549-559 DOI: 10.26719/2018.24.6.549

Bayrampour, H., McNeil, D.A., Benzies, K., Salmon, C., Gelb, K., & Tough, S. (2017). A Qualitative Inquiry on Pregnant Women’s Preferences for Mental Health Screening. BMC Pregnancy and Childbirth, 17:339 DOI 10.1186/s12884-017-1512-4

Costa, D.O., Souza, F.I.S., Pedroso, G.C., Strufaldi, M.W.L. (2018). Mental disorders in pregnancy and newborn conditions: longitudinal study with pregnant women attended in primary care. Cien Saude Colet; 23(3):691-700. Portuguese, English. doi: 10.1590/1413-81232018233.27772015. PMID: 29538550

Darwin, Z., McGowan, L., & Edozien, L.C. (2015). Antenatal Mental Health Referrals: Review of Local Clinical Practice and Pregnant Women's Experiences in England. Midwifery, 31; e17-e22 http://dx.doi.org/10.1016/j.midw.2014.11.004

Fonseca, A., Gorayeb, R., & Canavarro, M.C. (2015). Womens help-seeking behaviours for depressive symptoms during the perinatal period: socio-demographic and clinical correlates and perceived barriers to seeking professional help. Midwifery. 31(12):1177–85

Guimarães, F.J., Santos, F.J.D.S., Leite, A.F.B., Holanda, V.R.D., Sousa, G.S.D., & Perrelli, J.G.A. (2019). Mental disorders in pregnant. Enfermería Global, http://dx.doi.org/10.6018/eglobal.18.1.328331

Hanifah, Dewi & Utami, Shinta. (2019). Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Antenatal. Jurnal Kebidanan 5(1): 16-23

Idris, B.N.A., Istinah., & Hadi, I. (2019). Penanganan Depresi Melalui Pendekatan Motivasional Interviewing Berdasarkan Hasil Penelitian pada Pasien Post Stroke dan Pasca Gempa Lombok NTB. Mataram-NTB: Pustaka Bangsa (Anggota IKAPI) Hal. 1-2

Julian, M & Kurniawan, F. (2020). Kualitas Tidur yang Buruk Akibat Gangguan Makan pada Pelajar Sekolah Menengah di Jakarta. Damianus: Journal of Medicine  19(1); 56-61. DOI: https://doi.org/10.25170/djm.v19i1.1184

Kassada, D. S., Waidman, M. A. P., Miasso, A. I., & Marcon, S. S. (2015). Prevalence of mental disorders and associated factors in pregnant women. Acta Paul Enferm., 28(6), 495-502

Lail, Nurul Husna. (2019). Asuhan Kebidanan Komprehensif. Jakarta Selatan : LPU-UNAS

Lakaniemi, Sonja & Valtokari, Siiri. (2017). Managing Mental Disorders During Pregnancy in the Field of Nursing Care. Lahti University of Applied Sciences, pg: 7-13

Lavender, T.J., Ebert, L., & Jones, D. (2016). An Evaluation of Perinatal Mental Health Interventions: an Integrative Literature Review. Women and Birth, 8; 1871-5192 http://dx.doi.org/10.1016/j.wombi.2016.04.004

Patabendige, M., Athulathmudali, S. R., & Chandrasinghe, S. K. (2020). Mental Health Problems during Pregnancy and the Postpartum Period: A Multicenter Knowledge Assessment Survey among Healthcare Providers. Journal of pregnancy, 4926702. https://doi.org/10.1155/2020/4926702

Pompoli, A., Furukawa, T., Efthimiou, O., Imai, H., Tajika, A., & Salanti, G. (2018). Dismantling cognitive-behaviour therapy for panic disorder: A systematic review and component network meta-analysis. Psychological Medicine, 48(12), 1945-1953. doi:10.1017/S0033291717003919

Pundir, J., & Coomarasamy, A. (2016). Antenatal and postnatal mental health. In Obstetrics: Evidence-based Algorithms (pp. 215-225). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781107338876.046

Rondó, P. H. C., Ferreira1, R. F., Lemos, J. O., & Pereira-Freire, J. A. (2016). Mental Disorders in Pregnancy and 5–8 Years After Delivery. Global Mental Health ), 3(31); 1- 8. doi:10.1017/gmh.2016.26

Santoso, J.B. (2018). Pengembangan Skala Revised Prenatal Distress Questionnaire (NuPDQ) Versi Bahasa Indonesia. Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA, 7(1); 62-71

The Royal Australian and New Zealand Collage of Obstetricians and Gynaecologists (RANZCOG). (2017).  Depressions and Anxiety during Pregnancy and Following Birth.  Australia: College House

Tim Smart Genesis. (2016). Modul Resmi Tes TPA Solusi Pasti Raih Skor Tinggi. Yogyakarta: Penerbit Genesis, Hal 184

Tyastuti, S., & Wahyuningsih, H.P. (2016). Asuhan Kebidanan Kehamilan. Jakarta : Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Undang-Undang  Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Vigod, Simone.N., & Dennis, Cindy-Lee. (2020). Advances in Virtual Care for Perinatal Mental Disorders. World Psychiatry 19:3

Zannah, Uzlifatul., Puspitasari, Irma Melyani., & Sinuraya, Rano Kurnia. (2018). Farmakoterapi Gangguan Bipolar. Farmaka, 16(1), p. 263-277, ISSN 2716-3075. doi:https://doi.org/10.24198/jf.v16i1.17466

No comments:

Post a Comment