ANALISIS JURNAL
DISTOSIA BAHU
According to the American College of
Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) menyatakan distosia bahu adalah ketidakmampuan melahirkan bahu setelah kepala dilahirkan pada persalinan
normal. Kondisi ini merupakan
kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika tidak segera dilahirkan. Definisinya
subyektif, suatu keadaan diperlukannya tambahan manuver obstetrik oleh karena
dengan tarikan biasa kearah belakang
pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan bayi. Definisi obyektif
distosia bahu adalah jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari 60 detik.
Diagnosis
Distosia bahu dapat dikenali apabila
didapatkan adanya:
a. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan
b. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang atau bahkan tertarik kembali ( turtle sign)
c. Dagu tertarik dan menekan perineum
d. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di kranial simfisis pubis
Faktor Risiko
Bayi cukup
bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih
lebar dari kepalanya, sehingga mempunyai risiko terjadi distosia bahu. Risiko akan meningkat dengan
bertambahnya perbedaan anatara ukuran badan
dan bahu dengan ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran tersebut lebih besar dibanding bayi tanpa
makrosomia, sehingga bayi makrosomia
lebih berisiko. Dengan demikian, kewaspadaan terhadap
terjadinya distosia bahu diperlukan pada setiap pertolongan persalinan dan
semakin penting bila terdapat faktor- faktor yang meningkatkan risiko makrosomia seperti diabetes, obesity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size
or maternal weight gain. Selain itu faktor risiko
terjadinya distosia adalah riwayat distosia sebelumnya, diabetes pregestational atau gestasional, multiparitas,
induksi persalinan, kala I dan kala II
persalinan memanjang, dan persalinan pervaginam yang di tolong.
Terlepas dari
beberapa faktor risiko yang diketahui ini, perlu dicatat bahwa sebagian besar distosia bahu secara umum, tidak
dapat diprediksi, dan tidak dapat
dipungkiri. Gross dan rekannya melaporkan sebuah model matematis yang menunjukkan bahwa hanya 16% dari semua distosia bahu dengan trauma neonatal bersamaan bisa
diprediksi. Meskipun ini beberapa faktor
risiko yang di ketahui perlu dicatat bahwa sebagian distosia bahu jarang tak terduga.
Pencegahan
Belum ada cara untuk memastikan akan
terjadinya distosia bahu pada suatu
persalinan. Meskipun sebagian besar distosia bahu dapat di tolong tanpa morbiditas, tetapi
apabila menjadi komplikasi dapat menimbulkan
kekecewaan dan berpotensi terjadi tuntutan terhadap penolong persalinannya. Untuk itu perlu mengetahui faktor-
faktor terjadinya distosia bahu dan
mengkomunikasikan akibat yang akan terjadi pada
ibu serta keluarganya. Upaya pencegahan distosia bahu dan cidera yang dapat ditimbulkannya dapat dilakukan
dengan cara:
1. Menawarkan
pada ibu dan keluarga untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan vaginal
berisiko tinggi seperti janin besar > 5 kg, janin besar > 4.5 kg dengan
ibu diabetes, janin besar > 4 kg dengan riwayat distosia bahu sebelumnya,
kala II yang memanjang dengan janin besar.
2. Identifikasi
dan mengobati diabetes pada ibu
3. Selalu
siap bila sewaktu- waktu terjadi
4. Kenali
adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan suprapubis atau fundus,
dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cidera pada janin.
5. Perhatikan
waktu dan segera meminta tolong begitu distosia diketahui. Bantuan diperlukan
untuk membantu posisi McRobert, pertolongan persalinan, resusitasi bayi, dan
tindakan anestesi (bila perlu).
Penatalaksanaan
Langkah pertama menurut RCOG, adalah
untuk minta bantuan tambahan Tim
pendukung mungkin termasuk perawat tambahan, bidan, dokter kandungan, subspesial obat maternal-janin, tim
resusitasi neonatal, dan ahli anestesi.
Ketika asisten tambahan tiba, mereka harus diberi tahu dengan jelas bahwa ini adalah situasi distosia bahu.
1. Lakukan
manuver McRobert. Dalam posisi ibu berbaring terlentang, mintalah ia untuk menekuk kedua
tungkainya dan mendekatkan lututnya
sejauh mungkin ke arah dadanya.
2. Mintalah
bantuan asisten untuk melakukan tekanan secara simultan kearah lateral bawah pada daerah suprasimpisis untuk
membantu persalinan bahu.
3. Jika
bahu masih belum dapat dilahirkan. Lakukan episiotomi untuk memberi ruang yang cukup untuk
memudahkan manuver internal.
4. Melakukan
penekanan disisi posterior pada bahu posterior untuk mengadduksikan bahu dan mengecilkan diameter bahu. Rotasikan bahu kediameter roblik untuk membebaskan
distosia bahu. Jika diperlukan
lakukan pula penekanan pada sisi posterior bahu anterior dan rotasikan bahu ke diameter oblik
5. Jika
bahu masih belum dapat dilahirkan masukkan tangan kedalam vagina, kemudian temukan humerus dari lengan
posterior lalu sembari menjaga lengan
tetap fleksi pada siku, pindahkan lengan kearah dada. Raih pergelangan tangan bayi dan tarik lurus kearah
vagina. Manuver ini memberi ruang
pada bahu anterior agar dapat melewati bawah simfisis
pubis.
6. Jika
semua tindakan diatas tidak dapat melahirkan bahu, terdapat manuver- manuver laing yang dapat dilakukan,
misalnya klediotomi, simfisiotomi,
metode sling atau manuver zavanelli. Namun manuver- manuver ini hanya boleh dilakukan oleh tenaga yang
terlatih dan ahli.
Beberapa cara dalam mengatasi distosia
bahu yaitu dengan manajeman ALARMER dan
4P antara lain:
1. Ask
for help / Meminta bantuan
Diperlukan penolong tambahan
untuk melakukan manuver McRoberts dan
penekanan suprapubik. Menyiapkan penolong untuk resusitasi neonatus.
2. Lift
hyperflexed (McRoberts maneuvre)
Disiapkan masing-masing satu
penolong di setiap sisi kaki ibu untuk membantu hyperfleksi kaki dan sekaligus
mengabduksi panggul Memposisikan sakrum ibu lurus terhadap lumbal.
3. Anterior
shoulder disimpaction (suprapubic pressure)
Bahu bayi yang terjepit didorong
menjauh dari midline ibu, ditekan pada
atas simfisis pubis ibu (Massanti maneuver). Tekanan suprapubik ini dilakukan untuk mendorong bahu posterior
bayi agar dapat dikeluarkan
dari jalan lahir dengan mendorong bahu depan kearah dada dan menghasilkan diameter terkecil (Rubin maneuver)
4. Rotation
of the posterior shoulder (Wood’s screw maneuver)
Digunakan 2 jari untuk menekan
sisi anterior bahu dan memutarnya hingga
1800 atau oblique, dapat diulang jika diperlukan.
5. Manual
removal of the posterior arm (Schwartz maneuver)
Ditentukan siku lengan posterior
bayi, difleksikan dengan tekanan pada
fossa antecubital sehingga tangan bayi dapat dipegang. Tangan tersebut kemudian ditarik hingga melewati dada
bayi sehingga keseluruhan lengan
dapat dilahirkan.
6. Episiotomy
Prosedur ini secara tidak
langsung membantu penanganan distosia bahu,dengan
memungkinkan penolong untuk meletakkan tangan penolong
ke dalam vagina untuk melakukan manuver lainnya.
7. Roll
over onto all fours
Langkah ini memungkinkan posisi
bayi bisa bergeser dan terjadi disimpaksi
bahu anterior. Hal ini juga memungkinkan akses yang lebih mudah untuk memutar bahu posterior atau
bahkan melahirkannya langsung.
Jika
manuver tersebut tidak ada yang berhasil, bisa disarankan untuk mematahkan
klavikula bayi, simpisiotomi, manuver Zavanelli. Bila distosia bahu telah
berhasil ditangani, maka dilakukan: penilaian bayi untuk mengetahui adanya
trauma, analisa gas darah tali pusat, penilaian ibu untuk tears pada saluran
genital, manajemen aktif kala III untuk mencegah perdarahan postpartum,
mencatat manuver yang telah dilakukan, dan menjelaskan semua langkah yang telah
dilakukan kepada ibu dan keluarg yang mungkin ada pada saat dilakukan
penanganan.
Dalam pertolongan persalinan dengan
distosia bahu ada 4 P yang perlu di hindari:
1. Panic
2. Pulling
(menarik kepala)
3. Pushing
(mendorong pada fundus)
4. Pivoting
(memutar kepala secara tajam dengan koksigis sebagai tumpuan)
Komplikasi
Komplikasi
distosia bahu pada janin adalah fraktur tulang (klavikula dan humerus), cidera
pleksus brakhialis, dan hipoksia yang menyebabkan kerusakan permanen di otak. Dislokasi tulang servikalis yang
fatal juga dapat terjadi
akibat melakukan tarikan dan putaran pada kepala dan leher. Fraktur tulang pada
umumnya dapat sembuh sempurna tanpa sekuele, apabila didiagnosis dan dan
diterapi dengan memadai. Cedera pleksus brakhialis dapat membaik dengan
berjalannya waktu. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan
akibat laserasi jalan lahir, episiotomi, ataupun atonia uteri.
PERDARAHAN
PASCAPERSALINAN
Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang
masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir,
dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu.
Perdarahan pascapersalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah
persalinan, sementara perdarahan pascapersalinan sekunder adalah perdarahan
pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga 12 minggu setelah
persalinan. Diagnosis dari perdarahan pascapersalinan apabila perdarahan ≥ 500
ml setelah bayi lahir atau berpotensi mempengaruhi hemodinamik ibu.
Faktor Predisposisi
1. Kelainan
implantasi dan pembekuan plasenta: plasenta previa, solutio plasenta, plasenta
akreta/inkreta/perkreta, kehamilan ektopik, mola hidatidosa.
2. Trauma
pada saat kehamilan dan persalinan: episiotomi, persalinan pervaginam dengan
isntrumen forsep, bekas seksio sesar atau histerektomi.
3. Volume
darah ibu yang kurang terutama pada ibu dengan berat badan kurang, preeklamsia/eklamsia, sepsis atau
gagal ginjal,
4. Gangguan
koagulasi
5. Pada
atonia uteri, penyebabnya antara lain uterus overdistensi (makrosomia, kehamilan kembar,
hidramnion, atau bekuan darah), induksi persalinan, persalinan lama, persalinan
terlalu cepat, dan riwayat atonia uteri sebelumnya.
Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan perdarahan
dilakukan sesuai dengan penyebab perdarahan, namun untuk penatalaksanaan awal
antara lain:
1. Meminta
tolong tim untuk melakukan tatalaksana secara simultan
2. Nilai
sirkulasi, jalan nafas, dan pernafasan pasien
3. Bila
terjadi syok lakukan penanganan syok
4. Memberikan
oksigen
5. Memasang
infus dengan carian kristaloid
6. Jika
fasilitas tersedia, lakukan pengambilan sampel darah
7. Lakukan
observasi (Tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan ibu, kontraksi uterus, nyeri tekan, tinggi fundus uteri, cek jumlah
perdarahan, dan pengeluaran urin)
REKOMENDASI
Distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan merupakan dua yang paling umum keadaan darurat yang dihadapi dalam praktik klinis kebidanan, keduanya membutuhkan penatalaksanaan segera dan manajemen untuk menghindari morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Meskipun pasti risiko distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan ada, banyak kasus terjadi pada tidak adanya faktor-faktor ini identifikasi dini, komunikasi, dan ketepatan dengan pilihan pengelolaan untuk kedua kondisi tersebut dapat secara signifikan meminimalkan morbiditas terkait dengan komplikasi ini.
Dalam artikel review tentang definisi dan kejadian distosia bahu di antara 28 publikasi dengan lebih dari 16 juta kelahiran total, presentasi distosia bahu adalah 0,4%. Sejak tahun 2000, dari semua kelahiran, tingkat distosia bahu mendekati 1.4% jika publikasi bergantung pada International Classification of Diseases (ICD). Perdarahan pascapersalinan terjadi pada sekitar 4% sampai 6% dari semua kehamilan. Royal College of Obstetricians and Gynecologists (RCOG) memperkirakan 3 dari 1000 mengalami pendarahan parah, yang didefinisikan sebagai penerimaan transfusi darah, histerektomi atau perbaikan bedah rahim. Pendarahan pascapersalinan, sejauh ini penyebab paling umum adalah atonia uteri atau ketidakmampuan uterus berkontraksi secara efektif, yang menyumbang lebih dari 80% kasus. Penyebab umum lainnya termasuk jaringan plasenta yang tertahan, trauma vagina atau serviks, dan diketahui atau berkembangnya koagulopati.
Dalam kasus distosia bahu dan perdarahan pascapersalinan, bidan harus mampu meningkatkan kemampuan dalam skreening kehamilan untuk mengetahui lebih awal kemungkinan terjadinya distosia bahu yang nantinya akan menjadi faktor predisposisi terjadinya perdarahan pascapersalinan. Dengan pemeriksaan rutin di bidan dan melakukan pemeriksaan USG dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi, terutama pada wanita yang memilki kehamilan dengan riwayat distosia bahu sebelumnya atau penyulit lainnya, untuk mengurangi insidens perdarahan pascapersalinan pendekatan yang berbeda dapat diterapkan, bergantung pada lingkungan dan ketersediaan dari pendamping persalinan yang terlatih dan persediaan yang ada. Manajemen aktif dari kala tiga persalinan (AMTSL) dengan seluruh pendamping persalinan terlatih. Komponen yang biasa terdapat pada AMTSL termasuk pemasukan oxytosin atau obat uterotonik lainnya dalam 1 menit setelah persalinan, traksi tali pusat terkendali, pemijatan uterus setelah pengeluaran plasenta. AMTSL merupakan salah satu cara yang efektif dan sederhana serta masih diterapkan sampai sekarang untuk pencegahan perdarahan pascapersalinan. Semakin tingginya angka kematian ibu dengan salah satu penyebabnya adalah perdarahan, diharapkan tenaga kesehatan mampu mengembangankan lagi ilmu- ilmu kesehatan.
Sumber:
Dahlke,
Joshua D. Bhalwal, Asha. Chauhan, Suneet P. 2017. Obstetric Emergencies Shoulder Dystocia And Postpartum
Hemorrhage.Obstetrics and Gynecology Clinics
of North America, Volume
44, Issue 2, June 2017, Pages 231-243[diakses
tanggal 15 Oktober 2017 pukul 20.45 WIB
dalam Elsevier]
Medical
Mini Notes Production. 2014. Obstetric Make It Easy with Medical Mini Notes. Jakarta: Medical Mini Notes Production
Prawirohadjo,
Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
ReplyDeletemampir di website ternama I O N Q Q
paling diminati di Indonesia,
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
~bandar poker
~bandar-Q
~domino99
~poker
~bandar66
~sakong
~aduQ
~capsa susun
~perang baccarat (new game)
segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
Whatshapp : +85515373217